"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Senin, Juni 14, 2010
Joka-joka ke Pancana
Pagi hari, 9 Juni 2010. Saya bangun pagi lagi. Sehari sebelumnya saya susuri kota kecil Barru. Tidak lupa mengunjungi Makam Andi Aziz, seperti rencana saya sebelumnya. Setelah mandi dan berkemas, lalu sarapan pagi, bersama Andi Idris kami menuju rumah Andi Hasanudin—seorang tokoh budaya Bugis di Barru. Seperti saran Andi Irvan di Jakarta. Andi Idris mengendarai mobil. Dia tampak kuat, meski dengan jujur mengaku pada saya soal penyakit dan usia menggerogotinya. Sampai di rumah Andi Hasanudin, tentu saja kami bicara santai soal Barru dan sejarahnya. Meski santai, tetap saja banyak hal baru yang menarik untuk saya pelajari, mungkin ditulis lagi, dilain waktu. Kedua tokoh sepuh Barru itu begitu bersemangat ketika bercerita pada saya.
Saya tidak bisa terlalu lama di Barru. Hanya dua hari saja, meski sebenarnya saya merasa nyaman dengan banyak hal. Selalu ada kawan baru yang mau berbagi dan menyenangkan. Mereka mau bicara apa saja soal Barru. Informasi mereka tidak memungut biaya dan dengan senang hati mereka bercerita. Seperti Bang Kurniawan dan kawan-kawannya. Salah satu kawan Bang Kurniawan adalah Om Bob dari Pancana—yang begitu disegani di Pancana. Om Bob tidak lupa bercerita dengan penuh semangat soal penemuan kuburan raja yang belum lama ditemukan. Mereka terheran mengapa saya mau belajar sejarah mereka? Dan saya hanya bilang, saya hanya tertarik saja. Walau secara kebetulan ada yang menawarkan saya pada awalnya.
Setelah pamit dengan Andi Idris dan Andi Hasanudin—yang beri saya banyak cerita-cerita menarik—saya pun berjalan kaki menuju terminal dengan berjalan kaki layaknya backpacker.
Tepat siang hari saya menuju Pancana, Tanette. Tujuan kali ini adalah Makam We Tenriolle—raja wanita yang sekitar 55 tahun menjadi Datu Tanette (Raja Tanette). Tokoh yang membuat saya belajar lebih soal wanita Bugis. Soal ketangguhan mereka, yang tidak kalah dengan lelaki. Ternyata tidak sulit menemukan makamnya, meski saya harus berjalan sekitar 2 KM dari jalan raya poros Makassar-Barru di daerah Pancana.
Cuaca Pancana cukup cerah. Saya menyusuri jalan aspal yang cukup bagus menyusuri tambak. Penduduk Pancana cukup ramah. Mereka tampak senang disapa dan menunjukan pada saya makam We Tenriolle. Tentu pencarian jadi semakin mudah. Letak makam berada di Barat Masjid. Makam ini boleh difoto. Tidak ada pungutan untuk kamera di situs bersejarah (Pancana) sini, seperti di obyek-obyek wisata Yogyakarta yang menyediakan pungutan khusus macam itu. Jadi saya pun memoto sesuka dan sesopan mungkin Makam We Tenriolle.
Setelah puas memotret, saya pun beristirahat sekaligus buang air kecil di rumah salah satu penduduk. Lagi-lagi ramah dan mengijinkan saya. Pemilik runah bahkan mengajak saya berbincang-bincang dan bertanya asal saya. Setelah saya jawab saya dari Jogja dan baru saja dari Makam We Tenriolle, tuan rumah beri saya informasi ada kursi tinggalan We Tenriolle di rumah Andi Citta. Informasi ini gratis dan pemberi informasi bahkan memberi dengan Ikhlas. Saya pamit lalu saya menuju rumah besar milik Andi Citta.
Andi Citta tidak di rumahnya, tapi anggota keluarga lain menerima saya. Meski belum mengenal saya, tanpa ragu saya diperbolehkan memoto kursi dan foto-foto lama. Kursi warisan We Tenriolle itu begitu terawat dan masih bisa digunakan. Meski ada foto yang hilang dikursi karena ulah Balatentara Jepang. Saya tidak lama dirumah Andi Citta karena kawan-kawan yang akan menampung saya sudah menunggu di Makassar. Saya segera berjalan kaki lagi menuju jalan raya.
Apa yang saya alami dan saya dapat membuat saya girang. Barru dan Pancana menyenangkan. Sebenarnya juga ingin berlama-lama dan belajar lebih banyak, tapi mungkin lain kali. Atas kunjungan saya, hanya bisa bilang Terimakasih pada semua atas segala keramahannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar