"Keindahan yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang memiliki keindahan. Kebijaksanaan yang membenarkan."
Inilah semboyan yang selalu dibaca oleh pembaca Wederopbouw,sebuah media bulanan milik Comité voor het Javaans Nationalisme. Pimpinan redaksinya adalah Soetatmo Soeriokoesoemo, pimpinan Comité voor het Javaans Nationalisme . Wederopbouw tentunya membawa misiComité voor het Javaans Nationalisme yang ingin membangkitkan kembali budaya Jawa untuk Jawa dimasa depan. Yang pasti, keindahan; kekuasaan; dan kebijaksanaan yang dimaksud itu adalah Jawa. Segala hal yang berakar dari tradisi Jawa.
Nama Soetatmo nyaris tidak disebut dalam sejarah kecuali dalam perdebatannya dengan Tjipto Mangoenkoesoemo mengenai nasionalisme mana yang harus diusung orang-orang Jawa: Nasionalisme Hindia (Indonesia) atau nasionalisme Jawa.
Soetatmo seolah satu-satunya orang yang mengusung nasionalisme Jawa yang paling gigih dari pada priyayi yang lainnya.Soetatmo tentunya tokoh pergerakan nasional bernasib malang dalam sejarah lantaran tidak ada negara Jawa, hanya ada Republik Indonesia yang nasionalis. Bila negara Jawa ada, Soetatmo adalah Bapak Nasional-nya. Sejarah telah memenangkan Tjipto Mangunkoesoemo.
Wederopbouw Jawa
Bulan Januari 1918, terbit majalah bulanan Wederopbouw(Kembangunan Kembali) edisi pertama. Soetatmo sering menulis beberapa pamflet tentang budaya Jawa. Keberadaan Wederopbouw setiap bulan sekali, maka Comité tersebut memiliki corongnya sendiri. Dalam subjudul majalah tersebut dipersembahkan: "gerakan pemuda Jawa dan kehidupan rohani orang-orang Jawa" . Kendati Perhimpunan pelajar macam Jong Java sering tampil dengan tokoh-tokohnya yang menyumbangkan karangannya, bukan berarti Wederopbouw juga organ milik Jong Java. Jong yang dimaksud disini bukan sekedar anak-anak sekolah, melainkan pemuda Jawa ningrat yang berpendidikan. Jong Java ini juga mendukung kebangkitan budaya Jawa yang telah digoncang oleh kolonialisasi Belanda di Nusantara. [1]
Orang besar dibalik usaha membangkitkan kembali budaya Jawa ini: Pangeran Prangwedana, seorang kepala pura kedua di Surakarta—Mangkunegara—yang lebih maju dari pura yang pertama. Prangwedana tak lain adalah Mangkunegaran VII alias Raden Mas Ario Soerjosoeparto yang sejak 1913-1915 belajar di Leiden dan sempat menjadi Letnan Dua Cadangan dalam Ketentaraan Belanda. Dalam Comité voor het Javaans Nationalisme, dirinya adalah penyandang dana sekaligus penyumbang tulisan dengan nama samaran, Daha. [2]
Soetatmo adalah seorang pengarang yang paling produktif diWederopbouw, sejak majalah itu baru berdiri sampai tahun 1923, yang juga menjadi tahun bubarnya Comité voor het Javaans Nationalisme.Soetatmo lahir tahun 1888 dari keluarga pura Pakualaman, masih kerabat Soewardi Soerianingrat dan Dwijosewojo yang terlibat di dunia pergerakan. Soetatmo termasuk dalam anggota Habdi Dalem Wargo Pakualaman (Abdi Pakualaman), sebuah klub pangeran dan kerabat istana pura Pakualaman. [3]
Soetatmo mulai aktif berpolitik sejak muda, pada tahun 1912, dirinya sudah aktif di Indische Partij . Setahun kemudian Soetatmo sudah menjadi wakil ketua Comité Boemiputra yang bernama: "Inlands Comité ter Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid" (Komite Bumiputra Untuk Memperingati Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda). [4]
Soetatmo kemudian mendekati Boedi Oetomo. Sekitar tahun 1916,Soetatmo menjadi Pengurus Besar Boedi Oetomo, setelah melalui beberapa jenjang karir dalam organisasi. Karir Soetatmo di Boedi Oetomo cukup cemerlang, dia pernah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Bali yang berkedudukan di Denpasar, salah satu cabang Boedi Oetomo yang besar. Selama dirinya menjadi ketua cabang Bali di Denpasar, kedudukan pimpinan redaksi Wederopbouw jatuh ke tangan Abdoel Rachman. Keterlibatannya di Boedi Oetomo inilah, Soetatmo maju sebagai anggotaVolksraad di tahun 1921. [5]
Soetatmo adalah seorang teosof yang bersemangat, namun diatas segalanya dirinya adalah seorang Nasionalis Jawa sejati. Dirinya akrab dengan tradisi Jawa, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya sekalipun bagi kebangkitan kembali kejayaan Majapahit; pulihnya kekuasaan raja di Jawa. Seperti suratnya yang tidak bertanggal diakhir tahun 1920, yang ditulisnya di Bali semasa menjadi ketua cabang Denpasar, kepada Pangeran Prangwedana:
"suatu saat, dan saya akan bersumpah demi leluhur, saya pastikan bangsa Jawa akan diperintah oleh raja yang diberkahi Allah. Apabila orang-orang bijak berkuasa, maka raja pun akan menduduki tahta." [6]
Tujuan Comité voor het Javaans Nationalisme, seperti yang tercermin dalam judul majalahnya (Wederopbouw): "gerakan pemuda Jawa dan kehidupan rohani orang-orang Jawa", menurut pandangan para anggotanya; budaya Jawa yang pernah menjadi menduduki tempat paling luhur di Asia Tenggara harus dipulihkan kehormatannya. Para anggota dan simpatisan ingin menunjukkan kepada orang-orang banyak: tradisi (Jawa) yang dihinakan itu masih memiliki hak hidup, selain itu juga menunjukan sebuah percaya diri yang berlebih: satu-satunya dasar yang benar adalah Jawa Baru di zaman baru. Cabang kesenian organ ini bergerak lebih dulu dengan mengadakan latihan-latihan kesenian untuk memberikan penyadaran pada orang-orang Jawa akan tingginya budaya mereka serta menyingkirkan unsur-unsur yang tidak murni dari budaya Jawa, ini menjadi butir-butir atas program Soetatmo dan kawan-kawan Nasionalis Jawa-nya. Berbeda dengan banyak orang-orang Belanda dan sebagian orang-orang Jawa dengan pendidikan Eropa, mereka percaya bahwa budaya Jawa dan norma-norma sertaa peraturan-peraturan kerajaan (kraton) zaman dahulu dapat memainkan peranan penting ketika Jawa diambang pintu Modernisme. [7]
Hal ini bertentangan dengan kaum nasionalis Hindia radikal yang menentang dominasi kraton, yang dipandang sebagai dikatator dan penindasan dimasa prakolonial.
Nasionalis Hindia radikal tadi mengecam otokrasi para raja Jawa yang cenderung sewenang-wenang, kehidupan istana yang hedonis dan penghisapan atas penduduk diluar kraton. Nilai-nilai moral Jawa kuno lebih mengarah pada perbudakan yang menghambakan diri pada kraton. Hal ini adalah penghambat kemajuan rakyat Hindia. Kaum kiri, diluar istana mengumandangkan semboyan—yang dikutip dari sajak Marco Kertodikromo yang ditulis di penjara—berbunyi: sama rasa sama rata.[8]
Wederopbouw kejayaan Jawa adalah sebuah mimpi kebangunan kembali kerajaan yang pernah dijayakan oleh Gajah Mada beberapa abad lalu itu. Majapahit adalah mimpi dari Soetatmo cs beserta Wederopbouwdan Comité voor het Javaans Nationalisme-nya yang tida pernah tercapai.
Nasionalisme Jawa Versus Nasionalisme Hindia
Nasinalisme Jawa, tidak sepenuhnya didukung oleh para priyayi berpikiran maju. Seorang dokter populis, Tjipto Mangunkoesoemo sangat menentangnya. Takeshi Siraishi, seorang Sejarahwan Jepang berpendapat; dunia pergerakan nasional ditahun 1918 itu sedang dalam titik menentukan. Soetatmo berpendapat: sebuah bangsa hendaknya dibangun atas landasan bahasa serta kebudayaan. Nasionalisme Jawa—yang mapan dimata Soetatmo—telah memiliki landasan kebudayaan, bahasa, serta sejarah yang sama dari suku Jawa. [9] Karenanya nasionalisme Jawa telah memiliki landasan kuat bagi pembangunan masyarakat politiknya dimasa depan. Soetatmo mencela gagasan Nasionalisme Hindia-nya Tjipto lantaran tidak memiliki landasan budaya yang mapan dan tidak lebih dari produk pemerintah kolonial Belanda saja. Lebih lanjut Soetatmo menyatakan nasinalisme Jawa adalah alat ekspresi diri bagi orang Jawa, sedangkan Nasionalisme Hindia yang diusung oleh Indische Partij maupun Sarekat Islam tidak lebih dari reaksi atas kolonialisme pemerintah Hindia Belanda semata. [10] Antara Tjipto dengan Soetatmo lebih berkutat pada masalah orientasi budaya dan identitas kebangsaan saja. [11]
Nasionalisme Hindia ditanggapi Soetatmo dalam brosurnya: kalau untuk kerjasama ini memakai ukuran ras, maka suku-suku Melayu didaerah semenanjung dan Filipina harus dimasukan juga dalam lingkungan Hindia. [12] Dalam hal ini Soetatmo telah berpikir terlalu jauh dan melupakan batasan daerah kolonialisasi Belanda. Soetatmo tidak berpikir bahwa seluruh Hindia memiliki satu Common Enemy: Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia.
Nasionalisme Hindia yang diserang oleh Soetatmo dengan Nasinalis Jawa-nya, secara tidak langsung juga menyerang nasionalis Hindia dari daerah non Jawa dari penjuru Hindia yang merindukan perjuangan bersama melawan dominasi kolonial di nusantara. DalamGewijd aan mijn Kameraden in Insulinde Soetatmo menulis:
"Dan tinggallah kalian di Sumatra. Dan tinggallah kalian di Ambon sana. Hanya dengan cara ini persahabatan kita lestarikan. Apabila kita tinggal dalam rumah yang sama dan menyelenggarakan urusan rumah-tangga kita bersama-sama, tidak akan ada yang bisa diharapkan dari sana. Selera kita masing-masing berbeda; kebudayaan kita sama sekali berbeda. Kami juga punya sejarah kami sendiri, kami memiliki pula orang-orang besar; kami punya Pajajaran serta Majapahit yang tua, yang terakhir ini menghubungkan kalian dengan kenangan yang kurang menyenangkan.... Kewajiban kami sekarang ditentukan oleh kelahiran kami, jalan kami oleh masa lampau, dan tujuan kami tentukan oleh pengetahuan tentang Kawulo Gusti-Gusti, yaitu kenyataan kami sekarang diperintah (kawulo) tetapi pernah memerintah (Gusti). [13]
Nasionalisme Hindia, bagi Tjipto lebih masuk akal untuk diperjuangkan ujudnya, ketimbang nasionalisme Jawa. Menurut Tjipto, Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan menjadi bagian dari Hindia Belanda. Tanah air orang Jawa bukan saja pulau Jawa saja, tetapi juga pulau-pulau lain yang menjadi bagian dari Hindia Belanda. Selain itu Tjipto melihat sisa-sisa tradisi Jawa (Hinduisme) dengan pandangan hidupnya bersentuhan dengan para dewa, sistem kasta dan wayang; memang ada sisi estetisnya, namun bagi Tjipto itu juga menghambat kemajuan orang-orang Jawa. Sistem kasta menafikan peri kemanusiaan, telah menjadi penyangga kekuasaan kolonial dan telah mematikan kreatifitas orang-orang jawa. [14]
Bagi Soetatmo, pikiran populis Tjipto yang lebih menekankan pada demokrasi tanpa pemerintahan kaum aristokrat feodalis adalah mustahil. Menurut Soetatmo:
"ide persamaan dan pemerintahan rakyat merupakan khayalan belaka. Didalam demokrasi, tidak akan ada persatuan, hanya perpecahan, tidak ada ketertiban, hanya kekacauan." [15]
Soetatmo menelusuri sejarah kejayaan Majapahit untuk mencari model kebudayaan Jawa yang murni dan ideal guna kebangkitan kembali pergerakan nasionalis Jawa. Bagi Tjipto, romantisme budaya Majapahit tidak akan dapat dibangun lagi dimasa depan karena zaman telah berubah demikian pula kita semua. [16] Soetatmo memandang Jawa yang luhur, halus sedangkan Tjipto melihat barat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi-nya. [17]
Reaksi atas pemikiran Soetatmo yang datang dari sekelompok mahasiswa Sumatra yang belajar di STOVIA—School tot Opleiding voor Indische Artsen: sekolah dokter pribumi—adalah berdirinya: Java Sumatranen Bond pada tahun 1917; untuk mempersatukan semua mahasiswa Sumatra untuk menyebarkan kebudayaan, bahasa dan kesadaran orang-orang Sumatra. Sekilas, Java Sumatranen Bond tidak berbeda dengan Comité voor het Javaans Nationalisme. Slogan mereka: "hanya Sumatra yang bersatu dapat kebesaran Sumatra". Soetatmojelas menyesatkan pemuda Sumatra tadi dengan nasinalisme Jawa-nya.[18]
Soetatmo, dimasa itu berpikiran sebuah negara kesatuan yang didalamnya berdampingan orang-orang Jawa dengan non Jawa di Nusantara jelas tidaklah mungkin.
Sang Nasionalis Jawa
Soetatmo adalah seorang pegawai urusan Pekerjaan umum. Dia berasal dari keluarga pura Pakualaman. Dia menjadi orang kepercayaan Prangwedana. [19] Kemudian menjadi anggota Volksraad mewakili Boedi Oetomo. Soetatmo begitu gigih mengusung konsep Nasionalisme Jawa-nya hingga terlibat perang pena dengan Tjipto, seorang Nasionalis Hindia yang populis. Debat ini dimulai pada sidang Volksraad.
Cita-cita terbesar Soetatmo adalah pulihnya kedaulatan Jawa seperti masa-masa prakolonial dahulu. Soetatmo telah berusaha menggali nilai-nilai sejarah kejayaan masa lalu itu, jauh sebelum Muhamad Yamin menggali semangat Gajah Mada yang dilebih-lebihkan dimasa Soekarno. Sampai ajalnya—Oktober 1924—dia tetap pada cita-citanya itu, mengembalikan kejayaan raja-raja Jawa. [20]
Boedi Oetomo setelah keluarnya Soetomo sang pendiri, lebih banyak menjadi tempat berkumpulnya para priyayi—termasuk priyayi Jawa sebagai mayoritas—yang menginginkan kembalinya kejayaan nenek moyang mereka, raja-raja Jawa. Boedi Oetomo pasca keluarnya Soetomo inilah tempat yang potensial bagi nasionalisme Jawa untuk berkembang dan mengembalikan feodalisme yang telah diguncang oleh kolonialisme Belanda.
Kendati Soetatmo dan pendukungnya, yang sebagian berpendidikan barat dan bekerja di kantor-kantor pemerintah kolonial Belanda, tidaklah membuat mereka tunduk sepenuhnya pada dominasi pemerintah kolonial itu. [21] Tentu saja cita-cita mereka dicapai dengan cara halus model Jawa dan tidak radikal seperti SI Merah-nya Semaun cs di Semarang.
Soetatmo, orang paling berpengaruh dalam Comité voor het Javaans Nationalisme (Komisi untuk Nasinalisme Jawa), kendati ada orang dibalik layar dalam oraganisai itu, Pangeran Prangwedana.Soetatmo telah banyak mempengaruhi visi Comité voor het Javaans Nationalisme.
Sebagai seorang Jawa yang juga menjunjung tinggi ketimuran,Soetatmo ikut memberikan sumbangannya dalam pendidikan Nasional Taman Siswa-nya Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa bermula dari sebuah perkumpulan Selasa Kliwonan yang diadakan beberapa bangsawan Yogyakarta, baik dari Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman. [22]
Taman Siswa berdiri 2 Juli 1922, ketika Soetatmo menjadi anggotaVolksraad mewakili Boedi Oetomo. Soetatmo ketika diangkat sebagai anggota Volksraad sangat jengkel ketika harus bersumpah setia kepada Ratu Belanda. Kendati dia sebagai orang yang kurang bersemangat dalamVolksraad, dirinya pernah berucap dalam sidang:
"Adalah mengganggu untuk seorang nasionalis yang memiliki aspirasi-aspirasi seperti saya, Tuan Ketua, harus bersumpah setia kepada suatu kekuasaan yang menurut tanggapannya hanya bersifat sementara." [23]
Dalam sidang Volksraad, Soetatmo mengambil tempat dikiri seperti seorang pembela rakyat. Dirinya merasa sebagai seorang yang merakyat dibalik dandanan parlente priyayi Jawa-nya:
"...saya merasa terpanggil untuk berjuang demi kebebasan rakyat kami, untuk memerdekakan rakyat kami baik dalam arti kenegaraan maupun dalam arti ekonomi." [24]
Bagaimanapun, arah ucapan Soetatmo tak lain dari pada: demi Jawa yang pernah jaya, bukan sepenuhnya untuk suatu kemakmuran rakyat jelata diluar ruang sidang Volksraad yang seharusnya dia bela.Soetatmo meninggal dunia karena sakit pada 29 Oktober 1924, saat dia sibuk di Volksraad dan Boedi Oetomo , saat itu Comité voor het Javaans Nationalisme-nya sudah bubar. [25]
Kasus Jong Sumatranen Bond, menunjuk Soetatmo sebagai akar perpecahan kaum pergerakan dimasa-masa awal pergerakan. Dengan Nasionalisme Jawa-nya Soetatmo membawa akibat negatif dalam pergerakan nasional. Nasionalisme Jawa tidak jauh berbeda denganChauvinisme yang cenderung primordialis.
[1] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930), Jakarta, Hasta Mitra & KITLV, 2003. h.118.
[2] Ibid., h.119-120.
[3] Ibid., h.122.
[4] Ibid., h.122
[5] Ibid., h.123
[6] Ibid., h.123.
[7] Ibid., h.128
[8] Ibid., h. 128.
[9] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92.
[10] Ibid., h. 92.
[11] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 82.
[12] M. Balfas, Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati, Jakarta, Djambatan, tanpa tahun. H. 89.
[13] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92.
[14] Ibid., h. 93.
[16] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 93.
[17] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 82.
[18] Manuel Kaisepo, "Sang Pembangkang Tjipto" Majalah Prisma edisi 8 tahun 1987. h. 92-93.
[19] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930),. h. 17
[20] Ibid., h.123
[21] Ibid., h.129
[22] Abdurrahman Surjomihardjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1986. h. 139.
[23] Hans van Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Indonesia(1918-1930), h. 282.
[24] Ibid.
[25] Ibid., h. 175.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar