Sabtu, Juli 07, 2012

Hasyim Asyhari dan Gerakan Islam Tradisional


"Bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional dimata publik, suatu kelompok elit baru muncul dengan menonjol, yaitu para haji dan kyai". (Bernard Dahn). [1] Hasyim Asyhari adalah salah satu dari hari dan kyai itu. Perannya dalam kemunculan organisasi Islam modern, Nahdatul Ulama terus dikenang hingga kini.


Akhir abad XIX, menurut Bernard Dahm, adalah masa bagi munculnya semangat baru Islam di Hindia Belanda. Hal ini adalah imbas dari semakin meningkatnya jumlah jemaah haji Indonesia yang berangkat ke Mekkah, tempat mereka mendapat pencerahan dan kesadaran baru. Jemaah haji Hindia yang biasanya adalah para guru atau bahkan pemimpin pondok Pesantren yang menyebar di wilayah yang pengaruh Islam-nya begitu kuat. Kesadaran Islam baru ini, akhirnya terserap juga dalam lingkungan pesantren dimana jalinan persatuan antara suku-suku juga tumbuh. Tanpa bisa dihindari, sikap anti kolonialisme juga tumbuh, melihat kondisi sosial ekonomi masyarajkat Indonesia begitu mengenaskan oleh politik kolonial Pemerintah Hindia Belanda. [2]
Kebangkitan Islam juga merupakan benih-benih masinalisme modern Indonesia. Kebangkitan ini bukanlah sesuatu yang homogen, dua arus utama mempengaruhinya antara lain, pertama adalah yang ingin melepaskan diri dari empat mazhab besar yang dipegang oleh mayoritas muslim Hindia; kedua, mereka yang juga berusaha meningkatkan peranan dan pemikiran Islam tanpa harus meninggalkan keterikatannya pada empat mazhab besar tadi. [3] Hasyim Asyhari termasuk kelompok kedua.
Pemerintah kolonial Belanda semakit ketakutan dengan perkembangan Islam memasuki abad XX.  Setidaknya, ditahun 1887, karena kebangkitan Islam tersebut sebanyak 43.000 desa yang tersebar dipenjuru di Indonesia telah memiliki haji sebanyak 49.819 orang. Jumlah ulama juga meningkat mencapai 21.500 orang. Secara perlahan kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan pembantunya—penguasa lokal pribumi—mulai diabaikan oleh mereka. Rupanya sebagian pejabat kolonial sadar akan semakin buruknya kehidupan  rakyat jajahan karena politik koloniaol di Hindia. Ditahun 1899, Ch van Deventer mengkampanyekan politik etis dalam tulisannya "A Debt of Honour."  Sebuah interpretasi tentang politik etis dalam dunia pendidikan, Bernard Dahm mengatakan "kebijakan baru dalam bidang pendidikan bukanlah hadiah yang dilimpahkan oleh penguasa, melainkan sebagai akibat dari aktifitas Islam dan semakin meningkatnya ketidakpuasan sosial serta tuntutan atas perluanya tenaga terdidik."  Jadi politik etis balas budi, mtetapi hanya untuk mencari muka dihadapan rang pribumi. Kepedulian itu hanya topeng kolonial, apa yang tersembunyi adalah mempertahankan kekuasaan dan mencari keuntungan.  Bagi Snouck Hurgronje, pendidikan barat sangat diperlukan dalam menghadapi atau bahkan mengalahkan pengaruh Islam di tanah Hindia Belanda. [4]Usul Snouck Hurgronje iut tentunya ditanggapi dengan serius, akhirnya beberapa sekolah model dengan mutu pendidikan yang baik bermunculan di Hindia Belanda, meski dalam jumlah yang kecil sekali dan hanya diakses sekelompok pribumi saja. Usul ini tergolong melahirkan banyak tokoh intelektual pribumi sekuler.
Gerakan Islam Tradisional
Sebelum mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926, berbagai gerakan keagamaan (Islam) sudah tersebar diberbagai kota besar maupun kecil di Hindia Belanda sejak dekade 1910an. Tahun 1912 sudah ada gerakan Muhammadiyah di Yogyakarta yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Sayangnya gerakan Muhamadiyah pimpinan Ahmad Dahlan ini, sebelum wafatnya sang pemimpin tahun 1923, belum mampu menyentuh akar-akar fundamental Islam tradisional. Karena tekanan awal gerakan Islam modern itu bertumpu pada masalah sosial, ekonomi dan politik mengakibatkan munculnya rasa terancam dari para pimpinan Islam tradisional. Meningkatnya jumlah pengikut Sarekat Islam menjelang dekade 1920an dikarenakan karena peran kyai dalam memobilisasi massa pada tingkat masyarakat luas. Didalam Sarekat Islam sendiri terdapat dua kubu: Islam modern maupun Islam tradisional. Sering terjadi perdebatan antar kyai pimpinan pondok pesantran dan para ulama pasca meninggalkan Ahmad Dahlan. Wadah perdebatan mereka adalah organisasi Tashwirul Afkar di Surabaya. [5]
Februari 1923 di kota Bandung, berdirilah Persatuan Islam (Persis). Para anggota Persis sering melontarkan pandangan-pandangan tidak kompromistis yang ditujukan pada pikiran Islam tradisional.  Ketika Kongres Al-Islam  diselenggarakan di Bandung pada bulan Februari 1926, pemimpin gerakan Islam modern tampil mendominasi forum kongres dan usul-usul pimpinan Islam tradisional diabaikan. Usulan kaum tradisional itu menyangkut terpeliharanya praktek keagamaan tradisional seperti eksistensi empat mazhab dan pemeliharaan kuburan nabi dan empat sahabatnya. Karenanya, Hasyim Asyhari lalu melontarkan kritik pedas pada forum yang dikuasai kaum Islam modern itu. [6]
Permulaan tahun 1926 dengan  kota Surabaya sebagai pusat gerakannya,Hasyim Asyhari membentuk dan memimpin Nahdatul Ulama. Dengan pengaruhnya yang besar, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nahdatul Ulama semakin berkembang dengan banyak pendukung dari dua daerah itu. Dalam anggaran dasar-nya yang dirumuskan tahun 1927, organisasi ini bertujuan memperkuat kesetiaan kaum Muslimin pada salah satu dari empat  mazhab yang ada serta melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan dalam ajaran Islam. Kegiatan Nahdatul Ulama antara lain: pertama, memperkuat persatuan antara sesama ulama  yang masih setia pada empat mazhab; kedua,  memberi bimbingan tentang kitab-kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan Islam; ketiga, menyebarkan ajaran-ajaran Islam; keempat, menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan empat mazhab; kelima, memperluas jumlah madrasah dan membantu organisasinya; keenam, membantu pembangunan masjid, langgar dan pondok pesantran; ketujuh, membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin serta mendirikan badan-badan usaha untuk memajukan kehidupan ekonomi anggota. [7] 
            Sejak berdirinya, Nahdatul Ulama terbilang mampu membendung masuknya ide-ide Islam modern ke desa-desa Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak akhir dekade 1920an terjadi status quo, dimana kaum Islam modern memusatkan gerakannya dilingkungan perkotaan, sedang Islam tradisional cukup puas dengan menarik pengikut dari lingkungan desa saja. Kendati ada persaingan antara Islam tradisional dengan Islam modern, keduanya bersatu dalam Majelis Ulama A'la  Indonesia (MUAI). Kaum Islam modern juga mengakui kharisma dan pengaruh Hasyim Asyhari begitu bagi masyarakat Islam tradisional menimbulkan kesepakatan menunjuk Hasyim Asyhari dan putranya, Wahin Hasyim, duduk sebagai pimpinan MUAI. [8]
            Apa yang dilakukan Hasyim Asyhari selama kurun waktu masa pergerakan nasional adalah membenahi diri dan memperkuat kaum Islam tradisional yang tersebar di pelosok desa dalam gerakan Islam tradisonalnya, Nahdatul Ulama.Hasyim Asyhari berusaha memelihara kekuatan kebangkitan Islam dengan basis kaum Islam tradisonal dimasa pergerakan nasional sebagai kekuatan potensial pergerakan Islam. Kendati tidak tampak, kaum Islam tradisional yang terdiri dari kyai dan santri ini seolah menjadi kekuatan menakutkan bagi pemerintah kolonial dimasa pergerakan dan sebelumnya. Peran kelompok Islam tradisional dalam pergerakan nasional seolah tertutupi dalam lembaran sejarah bangsa ini.
Kyai dari Tebu Ireng
Hasyim Asyhari adalah keturunan kyai dari Demak—pusat perkembangan Islam pertama di Jawa Tengah. Hasyim terlahir pada tanggal 14 Februari 1871. Sejak usia 6 tahun, Hasyim mulai belajar mengaji dari ayahnya. Hasyim sudah terlihst cerdas sejak dini. Ketika baru berumur 12 tahun, dirinya sudah diberikan kesempatan mengajar para santri di pesantren ayahnya. [9]
Sejak usia 15 tahun, dirinya mulai berkelana dari pesantren ke pesantren di Jawa Timur dan Madura. Tahun 1891, Hasyim belajar di pesantren kyai Ja'kub, Sialan Panji, Sidoarjo. Ia mengikuti jejek ayahnya, menikahi putri gurunya di tahun 1892. Ditahun yang sama dirinya juga pergi berhaji ke Mekkah sambil menimba ilmu agama Islam. Salah satu gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau. Malangnya, setelah di Mekkah selama tujuh tahun, istrinya meninggal. [10]
            Selama berada di Mekkah, dirinya juga pernah memberi pelajaran agama Islam, walau sebentar, pada pelajar-pelajar dari Asia Tenggara seperti Burma, Siam, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. [11] Ketika Hasyim belajar di Mekkah, Mohamad Abduh sedang giat mengkampanyekan gerakan pembaruan pemikiran Islam yang kemudian juga ikut mewarnai babak baru sejarah Islam modern di Indonesia. Pembaruan Islam yang dibawa Mohamad Abduh yang berasal dari Mesir, menurut Deliar Noer, cukup mempengaruhi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Mekkah. Syaikh Ahmad Khatib, salah satu guru Hasyim Asyhari, salah orang yang tertarik dengan ajaran Mohamad Abduh. Ide-ide pembaruan Islam yang usung Mohamad Abduh antara lain: memurnikan Islam dari pengaruh non Islam; mereformasi pendidikan Islam ditingkat unversitas; mengkaji dan merumuskan ajaran-ajaran Islam sesuai perkembangan zaman; mempertahankan Islam. [12]
            Apa yang menjadi pandangan gurunya, Syaikh Ahmad Khatib, tidak menjadi pandangan bagi Hasyim Asyhari. Sekembalinya ke Indonesia dua orang itu menempuh arus yang berbeda, Khatib memilih jalan pembaharuan dengan melepaskan diri pada empat mazhab besar. Hasyim  setuju dengan ide Mohamad Abduh dan Syaikh Ahmad Khatib mengenai melepaskan keterikatan umat Islam dari empat mazhab, tetapi Hasyim berpendapat bahwa tidak sepenuh apa yang menjadi praktik yang ada dan berlangsung di Hindia salah. [13]
Sekembalinya dari Mekkah, Hasyim memndirikan pesantren Tebuireng. Pesantren ini dimulai dengan tujuh orang murid lalu bertambah duapuluh orang yang kemudian terus berkembang. Muridnya-pun kelamaan tidak hanya santri biasa, tetapi juga kyai yang haus ilmu. Para kyai itu biasa datang pada bulan Sya'ban. Seorang guru Hasyim juga ada yang ikut belajar padanya di Tebu Ireng pada tahun 1933. Ini adalah tanda, betapa tinggi ilmu Hasyim Asyhari yang pernah belajar banyak Syeik di Mekkah. [14]
 Pengalaman belajar serta mengajar ini kelak bermanfaat baginya untuk mengembangkan metode pengajaran bagi pesantrennya kelak. Kondisi tanah kelahirannya, Hindia, terlihat kaum pribumi telah begitu dihinakan dan diperas oleh bangsa dari benua lain, Belanda. Rakyat pribumi dibodohi agar tidak melawan atas penindasan orang-orang Eropa itu. Pembodohan ini harus dihentikan oleh bngsa pribumi. Hasyim pernah mengatakan: "Bangsa tidak akan jaya apabila warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik." Karenanya Hasyim lebih berkonsentrasi di jalur yang telah dijalani ayah kakek-kaket buyutnya, menjalankan sebuah pesantren. [15]
Usaha pendirian pesantren, rupanya mendapat banyak tantangan dari pemerintah kolonial yang berkeinginan agar umat Islam di Hindia terus terbelakang. Saat itu pemerintah Hindia Belanda melihat adanya ancaman dari gerakan Wahabi yang dibawa oleh orang-orang Islam yang naik haji. Tidak heran bila kuota haji pribumi kemudian dibatasi. Sebuah peristiwa yang memilukan lalu terjadi pada pesantren Tebu Ireng. Setelah mengalami kegagalan menjegal usaha HasyimAsyhari, sebuah pasuskan bersenjata kemudian dikirim untuk menduduki pesantren Tebu Ireng dan menghancurkan apa saja yang ada di dalam pesantren. Ada usaha dari aparat kolonial untuk menculik atau membunuh Hasyim Asyhari. Tidak  salah bila terjadi pertumpahan darah lantaran para santri pasti akan membela kyai-nya sampai mati. Tentu saja pemerintah kolonial, sebagai penyerang, menggunakan berbagai dalih atas tindakannya. Kaum santri dicap sebagtai pemberontak. Pesantren adalah pusat perusuh, pemberontak, atau bahkan tempat bercokol-nya orang-orang Islam Ekstrim. [16]
Setelah peristiwa memilukan itu, Hasyim menyaksikan, pesantrennya rusak berat. Kitab-kitab banyak yang disita. Para guru, santri dan tokoh masyarakat setempat lalu berkumpul. Pada kesempatan itu Hasyim berseru agar semua yang hadir bersabar dan tabah. "Kejadian-kejadian ini tidak boleh menghancurkan cita-cita dan mengendorkan semangat" kata Hasyim. Peristiwa ini justru menjadi pendorong utama mengganda tekat dan kegiatan dalam perjuangan. Hasyim juga mengirimkan utusan ke berbagai kota dan pulau di Hindia. Utusan itu berhasil mengumpulkan berbagai dukungan, baik moral maupun material dari orang-orang Islam yang simpati. Banyak pemuda dengan sukarela datang untuk melindungi pesantren. Banyak orang Islam beranggapan peristiwa ini tidak hanya merusak pesantren Tebu Ireng, tetapi juga menginjak-injak kaum muslim secara umum. [17]
Pada 7 Juli 1936, bertempat dirumahnya, Tebu Ireng, Hasyim ditanyai Mohamad Asad Syihab—seseorang yang kemudian menulis biografi HasyimAsyhari yang berjudul Hadlratussyaikh Haysim Asyhari: Perintis Kemerdekaan Indonesia. Mohamad Asad Syihab bertanya:"mengapa anda tidak menulis atau menyusun risalah tentang sebab-sebab dan motivasi anda memeluk Islam?".Hasyim lalu menjawab dengan agak menyesal; banyak sebab yang membuatnya tidak memulis, yaitu masih banyaknya kaum muslimin terkena trauma yang hampir-hampir merusak akidah. Trauma yang diimaksud Hasyim adalah 'orientasi'—musuh baru yang dating dari barat, Eropa. Ketakutan Hasyim menulis, lebih dikarenakan ketakutan akan dicap sama seperti orientalis Belanda tadi. [18]
Apa yang diberikan oleh hasyim Asyhari pada bangsa ini dengan Nahdatul Ulama-nya adalah dengan diakuinya warisan pendidikan tradisional, pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang diakui oleh bangsa ini. Pesantren selama ini menampung 15% anak didik Indonesia. Keberhasilan pesantren ini jelas karena usaha pelestarian dan moderniasi lembaga pesantren oleh Hasyim Asyhari. Dalam hal politik, Nahdatul Ulama yang sedianya diperuntukan bagi aspirasi kaum Islam tradisional mampu bermain dipentas nasional dengan baik. Terbukti dengan masuknya Nahdatul Ulama dalam empat besar dalam pemilu pertama bangsa Indonesia tahun 1955, delapan tahun setelah kematian Hasyim Asyhari. Dalam pemilu itu, Nahdatul Ulama mendapat tujuh juta suara (18,4%). Ini adalah bukti sejak berdirinya, setidaknya selama tiga dekade pertama NU telah aktif dalam perpolitikan nasional. [19]
Bersama Nahdatul Ulama, Hasyim Asyhari telah membawa masyarakat Islam tradisional yang agak terpinggirkan sejak masa-masa kolonial masuk dalam kancah pergerakan nasional. Mereka, selain tampil sebagai kekuatan yang konsisten dengan apa yang mereka anut dengan empat mazhabnya, juga ikut mewarnai sejarah perjuangan pergerakan bangsa ini untuk menentang dominasi pemerintah kolonial dalam kehidupan dimasa-masa kolonial.  Nahdatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama, sebenarnya memiliki dua hal yang harus dibendung dalam sejarah yakni gerakan pembaharuan dari
kaum Islam modernis dan tentunya pemerintah kolonial yang siap menindas kapan saja dengan berbagai dalih.


[1] Yantho Bashri &  Retno Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta, LKiS, 2004. h. 357.
[2] Ibid., h. 356.
[3] Ibid., h. 358.
[4] Ibid., h. 362-363.
[5] Ibid., h. 367.
[6] Ibid., h. 367-368.
[7] Ibid.
[8] Ibid., h. 369.
[9] Ibid., h. 354.
[10] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia(1900-1942), Jakarta, LP3ES, 1986. h. 249.
[11] Muhamad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Haysim Asyhari: Perintis Kemerdekaan Indonesia.,  Yogykarta, Kurnia Kalam Semesta, 1994. h. 17.
[12] Yantho Bashri &  Retno Suffatni, h. 359-360.
[13] Ibid., h. 361.
[14] Deliar Noer,  h. 249-250.
[15] Muhamad Asad Syihab, h. 17-18.
[16] Ibid., h. 18-19.
[17] Ibid., h. 21-22.
[18] Ibid., h. 62-63.
[19] Yantho Bashri &  Retno Suffatni, h. 372: Deliar Noer, h. 6.

Tidak ada komentar: