Sabtu, Juli 07, 2012

Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat

Dia tergolong sebagai orang Indonesia yang menuliskan memoarnya. Sudah pasti, Achmad Djajadiningrat bukan orang sembarangan di masa lalu, di awal abad XX lalu.


 Djajadiningrat, dari nama keluarga inilah muncul beberapa orang berpengaruh pada awal pergerakan nasional. Beberapa Djajadiningrat itu menjadi orang berpengaruh dalam pergerakan. Seorang menjadi doktor Indologi di Negeri Belanda, seorang menjadi tokoh berpengaruh gerakan Sarekat Islam di Banten, dan yang tertua mengikuti jejak ayah mereka, menjadi bupati dikemudian hari.
Ayah dari orang-orang yang menyandang nama Djajadiningrat itu, adalah priyayi maju yang nmelahirkan priyayi baru di Jawa. Walau begitu, ayah mereka tetap berusaha tunduk pada tradisi dan selektif dalam menerima pengaruh luar.
 Ayah mereka, yang bupati Banten itu, sebenarnya menolak penggunaan nama Djajadiningrat sebagai nama keturunannya. Namun anak tertuanya, Achmad menggunakan nama belakang Djajadiningrat menjelang ujian akhir di HBS Batavia. Belakangan nama itu dipakai oleh adik-adiknya seperti Husein, Hasan, Lukman dan lainnya. Anak tertua inilah yang paling berpengaruh dalam keluarga (Djajadiningrat) setelah wafatnya ayah mereka.
Achmad si sulung-lah yang pertama kali mendukung perubahan di tanah Banten yang bernajak modern. Gerakan Sarekat Islam masuk di Banten bahkan diberi ruang yang cukup berarti oleh Achmad, walau Achmad tidak aktif dalam organisasi pergerakan itu. Achmad justru aktif dalam organisasi lain yang mengantarkannya sebagai anggota Volksraad. Sebagai bupati dan anggota Volksraad-lah Achmad memainkan peran-nya dalam peregerakan.        

Bupati Moderat
Keluarga priyayi macam Djajadiningrat di Banten, disamping Wiranatakusuma dan Kusumo Utoyo tergolong sebagai keluarga bupati liberal pada awal dilaksanakannya politik etis.[1]
            Posisi sebagai priyayi, memungkinkan anak-anak mereka duduk dalam birokrasi.Setelah lulus dari HBS Batavia, Achmad, anak sulung dari keluarga Djajadiningrat itu—bekerja pegawai kolonial. Karirnya itu dimulai dengan magang pada tahun 1889. Karir Achmad terus meningkat hingga menjadi bupati menggantikan ayahnya. Achmad pernah bertugas di Bodjonegoro sebagai asisten wedana (27 Juli 1900-4 Juli 1901). Setelah itu, sejak 1901, dia menjadi bupati di Banten(Serang) menggantikan ayahnya. Achmad pernah ditunjuk menjadi bupati Batavia—jabatan yang disandangnya sejak 1924 sampai 1929.[2]
            Semasa Achmad menjadi Bupati, Sarekat Islam yang belum lama beerdiri masuk ke Banten, dari Achmad—yang saat itu telah menjadi bupati—SI mendapat sambutan positif. Hal ini sungguh berbeda dengan daerah lain, dimana para pejabat pribumi agak takut dengan perubahan yang akan dibawa oleh SI di daerah mereka. Adik Achmad, Hasan Djajadiningrat, kemudian juga menjadi tokoh SI yang cukup berpengaruh di Banten sampai akhir hayatnya.[3]
            Masa-masa Achmad Djajadiningrat menjadi pegawai kolonial bukan hal biasa penindasan tuan tanah terhadap petani yang menggarap tanah. Hal macam ini adalah warna yang nyaris dominan dipergantian abad XIX ke XX itu.
            Mengenai kekejaman tuan tanah swasta, Ahmad Djajadiningrat, bupati Serang sejak 1901-1927, pernah mengunjungi tanah partikelir di Cikande. Ketika rombongan Ahmad datang, tidak ada yang menyambutnya sama sekali, berbeda dengan sikap penduduk di daerah lain. Hal yang tidak lazim pada masa itu dan sekarang. Bila jumlah cukai dan kontingenten demikian besar sehingga penduduk merasakannya diluar batas, yang sering terjadi adalah ribuan penduduk tanah partikelir akan mendatangi kantor resident, hampir dapat dipastikan mereka datang dari tanah partikelir.[4]
            Banyak para priyayi yang peduli pada penderitaan kaum miskin disekitar dalem (tempat tinggalnya)nya. Kebanyakan mereka tampak tidak peduli, jarang kepedulian priyayi itu ditampakkan. Achmad Djajadiningrat-pun begitu, kondisi mungkin sudah terlampau parah, hingga membuat Achmad Djajadiningrat mengeluh.
            Sebelum terjadi pemebrontakan PKI tahun 1926, Ahmad Djajadiningrat sudah memperingatkan tentang gawatnya keadaan kaum miskin daerah pinggiran Betawi.Orang-orang miskin itu kekurangan makan, tinggal berjubel dipondok-pondok tanpa ventilasi.[5]
Ahamd Djajadiningrat, sejak didirikannya Volksraad tahun 1918 tergolong anggota yang aktif berpolitik. Achmad Djajadiningrat duduk di Volksraad mewakili NIVB—(Nederlandsche Indische Vrijzennige Bond) organisasi yang  berdiri tahun 1916 yang mewakili orang-orang konservatif.[6]
            Achmad begitu tertarik pada NIVB pada tahun 1917, karenanya tahun itu juga dia bergabung.[7] NIVB akhirnya mengantarkannya measuk Volksraad—didukung popularitas Achmad sebagai Bupati terpandang didekat Batavia diawal abad XX itu.
            Azas yang dirancangnya untuk NIVB, seperti juga yang dituntutnya dalam sebuah mosi bersama Cokroaminoto, menjadi dasar pijakan sekaligus agennda kerjanya sebagai anggota Volksraad.
“Didalam tanah Kerajaan Nederlandsche (Nederlandsche Wereldrijk) hendaklah Indonesia berdiri sendiri (politik autonome eenheid) yang sama haknya dengan tanah-tanah lain yangberdiri sendiri didalam kerajaan itu. Segala keperluan kerajaan harus diatur oleh satu Dewan Kerajaan (Rijksraad). Didalam Dewan Kerajaan itu haruslah orang Indonesia mempunyai wakil yang sama haknya dengan wakil tanah-tanah lain yang berdiri sendiri (autonoom) didalam kerajaan itu. Sekalian bangsa Indonesia di dalam wet. Kebebasan didalam bergerak, kemerdekaan didalam berkata-kata, pendeknya pada umum adalah ialah segala hak yang ada pada penduduk yang merdeka, haruslah diberi kepada bangsa Indonesia, kecuali bila kemerdekaan itu mesti dibatasi karena menggangu peri keamanan umum….Rancangan…itu menetapkan pula aturan membagi tanah autonoom menjadi provinsi-provinsi, serta menetapkan pemerintahan provinsi itu; menetapkan pemerintahan local gebeid (regentschaap, gemeente, dan lain-lain).[8]
                          
Bersama Cokroaminoto, Achmad sebagai anggota Volksraad diakhir tahun 1918, mengeluarkan mosi yang menghendaki wewenang penuh parlemen bagi volksraad dengan kontrol anggaran dan tanggung jawab kepala departemen da bukan langsung pada Gubernur Jenderal. Mosi itu juga menghendaki jaminan atas kelanjutan desentralisasi dan dikuranginya peran Raad van Indie sekedar sebagai penasehat Gubernur Jenderal. Lebih lanjut, mosi itu menghendaki hak interpelasi bagi anggota-anggota dewan. Sebuah komisi perubahan dan interpelasi—Herzieningscommissie—dibentuk berdasar surat keputusan pemerintah no. 1 tertanggal 17 Desember 1918. Komisi tersebut lalu menyusun rancangan desentralisasi. Kerja komisi ini berhasil meredakan mosi anggota dewan yang kemudian dicabut dengan tenang oleh Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat.[9]
            Agenda Achmad itu, sangatlah hebat untuk seorang moderat—yang tidak luput disebut konservatif. Apa yang juga  menjadi buah pikirannya itu, adalah langkah yang cukup radikal bagi perubahan  Hindia Belanda. Suara Achmad Djajadiningrat bersama Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan lainnya itu memang terlupakan dalam sejarah Indonesia. Tuntutan macam tadi,nyaris tidak pernah dibicarakan orang, kecuali Petisi Soetardjo 1938—tigapuluh tahun setelah mosi Achmad cs dikeluarkan.  
Achmad Djajdiningrat juga menuntut kesetaraan dari pemerintah kolonial dalam posisi pemerintahan baik sipil maupun militer. “Jabatan Negeri, baik sipil ataupun militer, kata Achamd dalam mosi-nya, akan dilakukan oleh bangsa Indonesia. Jika kekurangan bangsa Indonesia, barulah diambil bangsa-bangsa lain dari tanah autonoom yang lain dalam kerajaan.”[10]
Dikalangan Pergerakan, Achmad tergolong senior. Dirinya tidak dekat dengan Boedi Oetomo—yang sekarang diagung-agungkan sebagai tonggak kebangkitan Nasional itu. Usia dan posisinya dalam struktur birokrasi kolonial—sebagai bupati dan anggota Volksraad—membuat Achmad berpengaruh. Pengaruh besar itu, setidaknya terasa bagi orang pergerakan macam Husni Thamrin—yang ayahnya pernah jadi wedana seperti Achmad sebelum menjadi bupati. Bagi Thamrin, yang masih muda,Achmad Djajadiningrat itu adalah mentor dalam perpolitikan di Hindia Belanda. Setelah berdinas lebih dari tiga dekade, Ahmad Djajadiningrat akhirnya pensiun pada tahun 1933.[11]
Achmad Djajadiningrat pernah menjadi delegasi Belanda dalam konferensi buruh Internasional (Arbeidsconferentie) di Jenewa, Swiss. Posisi Achmad yang matang di Hindia dan mengerti kondisi sosial kaum miskin pribumi mendudukannya sebagai penasehat teknis (technisch adviceur)dalam delegasi Belanda itu.[12]
            Dimata sebagian kaum muda pergerakan, Boedi Oetomo, Achmad dianggap sering memandang sebelah mata pada kaum muda lulusan STOVIA—School tot Opleiding voor Indische Artsen, sekolah dokter pribumi—tiap kali berpapasan. Suatu kali salah satu lulusan STOVIA, yang merasa diremehkan itu, menyindir Achamd secara halus. Achmad-pun lalu minta maaf. Dilain kesempatan, seorang lulusan STOVIA yang lainnya menyindir dengan kasar pada Achmad, “Tuan menjadi Regent (bupati) karena karuania Tuhan, tetapi saya telah menjadi dokter karena kekuatan dan kemauan saya saya sendiri.[13]

Willem van Banten.
            Ahmad Djajadiningrat terlahir pada 16 Agustus 1877, di desa Kabayan, Pandegelang, Banten. Saat itu ayahnya belumlah menjadi seorang bupati. Ketika Ahmad masih kecil ayahnya adalah seorang wedana di Kramatwatu.[14]
            Sebagai putra Banten yang lahir sebelum pergantian abad, Achmad yang baru berusia 6 tahun ikut menjadi saksi letusan Gunung Krakatau (1883)yang dasyat itu. Dalam Memoar-nya, yang dibuat setelah pensiun dari jabatan anggota Dewan, Achmad menceritakan kejadian menyeramkan itu juga. Peristiwa penting lain yang terjadi di Banten saat Achmad masih kecil adalah pemberontakan Petani Banten (1888), saat Achmad sebelas tahun dan duduk di sekolah dasar.[15]
            Ketika masih bocah, Ahmad dimasukan ayahnya ke pesantren. Bocah itu harus mengalami transisi pertama, berpisah dari ibunya di rumah wedana yang sedianya nayaman.
“Upacara itu dimulai. Anak bangsawan Banten itu dicukur rambutnya, sampai gundul. Ibundanya sendiri yang melakukannya.Didekatnya, seorang membacakan kitab Abda’u. Begitu rampung, si bocah diganti pakaiannya. Ia kini harus mengenakan sarung kasar, baju sang-sang putih tanpa kancing—hingga dadanya selalu terbuka—dan dikepalanya dipasang selingkar destar bersahaja. Si Achmad, cucu bupati Pandeglang Raden Adipati Aria Natadiningrat, harus pergi dari rumahnya untuk jadi santri. Ini terjadi sekitar tahun 1880an….Bapaknya, wedana di Kramatwatu, menekankan agar putranya diperlakukan sama dengan para santri lain—anak-anak dusun.”[16]

Banyak hal yang ditemui Achmad di pesantren, hanya kepada Achamd saja para santri lain mengolok kaum priyayi dan pegawai kolonial lainnya, mungkin saja karena dia satu-satunya anak priyayi disitu. Kondisi pesantren dan rumah ayahnya yang berbeda, setidaknya, membuat Achmad tertekan. Pembimbing santri-nya pernah bilang padanya, saat Achmad melafalkan kata-kata Arab,”Kamu tidak akan dapat mempelajari ini! Karena perutmu penuh dengan nasi haram!”. Saat itu, di Banten yang relijius, gaji dari pemerintah kolonial adalah haram. Di Pesantren, yang kala itu masih anak wedana, memperoleh dera atas apa yang dikerjakan orang tuanya—sebagai pegawai kolonial yang umumnya dibenci kaum santri.[17]          
Tidak menutup kemungkinan, kondisi yang dialaminya ketika kecil mempengaruhi langkah-langkah politis dan pembelaannya terhadap kaum miskin kota ketika dirinya menjadi Bupati Batavia. Thamrin sejalan dengan priyayi baru satu ini.
Tekanan Achmad nyaris tanpa akhir dimasa pertumbuhannya dimasa kanak-kanak. Lepas dari pesantren, lepas dari olokan anak dusun sebangsanya, Achmad yang memmulai pendidikan sekulernya ekharus berhadapan dengan anak-anak Eropa yang lebih jago mengejek. Lepas dari perang kelas di pesantren, Achmad harus ditekan bocah-bocah rasis di sekolahnya, saat sekolah di Europe Lager School—SD paling elit sebelum dan sesudah ada Hollandsche Indlandsche School di tanah Hindia.
Untuk bisa diterima di Hogare Burgere School (HBS) Batavia,  Ahmad memakai nama Willem van Banten, agar terkesan Belanda dimata murid-murid lain yang rasis dan memiliki rasa sentimen pada orang-orang pribumi—walaupun orang pribumi itu adalah dari golongan ningrat.[18]
Mengenai rasisme Kolonial Hindia, Achmad menulis dalam memoar-nya,”Kruseman tidak suka bila pecah kabar…disekolahnya ada murid anak bumiputra. Mula-mula saya masuk sekolah…dia berkata ‘mulai hari ini namamu bukan Achmad lagi melainkan Willem van Banten.” Achmad tentu tidak kuasa menerima pembaratan Kruseman itu. Dirinya harus terima nama baru itu, itulah jalan yang harus ditempuhnya untuk terus bisa bersekolah.[19]
Disekolah Achmad menyadari bahwa orang pribumi digolongkan sebagai orang lemah, Sickman Asia. Achmad tergolong sebagai minoritas di sekolah—yang baru sedikit jumlahnya juga murid pribuminya.
Tentang pergaulannya di sekolah, Achmad juga melakukan kenakalan remaja—yang dianggap lumrah bagi remaja seusianya masa itu. Achmad dan kawan-kawan Eropanya dikepung polisi ketika mengganggu gadis-gadis Eropa seusianya. Buntutnya, Achmad dan kawan-kawannya—semuanya Eropa kecuali Achmad—harus berurusan dengan polisi dan asisten residen. Kejadian itu dipicu oleh mitos dikalangan anak-anak Eropa bahwa anak pribumi selalu ketinggalan, termasuk dalam melakukan kenakalan macam tadi. Dihari tuanya Achmad menulis mengapa ia bisa terlibat dalam kenakalan itu.
“Saya telah Insyaf bahwa bangsa Eropa terutama kawan-kawan disekolah saya, agak menghinakan diri saya, karena saya hanya orang bumiputra saja. Oleh karena itu timbullah angan-angan dalam kalbu saya akan menunjukan pada sekalian orang, bahwa saya tidak sekali-kali ketinggalan tentang apapun juga dari mereka itu.”[20]

Achmad berusaha bangkit dari ketertinggalan orang pribumi, seperti mitos kawan-kawan Eropa-nya, dia berhasil ujudkan angan-angannya tadi. Walau dengan kenakalan sekalipun.
Achmad Djajadinningrat menjalani pensiun setelah menjabat anggota Raad van Indie pada tahun 1932, jabatan itu sebelumnya hanya diisi orang Eeropa. Snouck Hurgronje, adalah pembimbing Ahmad dan adik-adiknya dalam berproses menjadi orang modern Hindia. bersama Snouck, Ahmad dan adik-adiknya berhasil melewati prasangka orang-orang pribumi maupun kulit putih.[21]
Balai Pustaka pernah ikut membantu menterjemahkan buku untuk diterbitkan oleh Firma G. Kolff & Co di Batavia. Buku iut adalah  Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—aslinya berbahasa Belanda dengan judul Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat—tahun 1936.[22] Dalam buku ini kita bisa membaca kondisi Banten masa kolonial, menurut kacamata seorang Achmaad Djajadiningrat.
            Bagi para bangsawan tidak merdeka diawal abad XX, termasuk Achmad Djajadiningrat, akar dari keksatrian adalah kepatuhan pada Ratu (Belanda) yang mengusai btanah Hindia Belanda—termasuk juga Banten dimana Achmad menjadi penguasa tradisionalnya. Achmad begitu hormat pada Ratu—kala itu adalah Ratu Wilhelmina—karena hormat Achmad menyebutnya dengan kata Zij—Ia dengan huruf kapital besar pada huruf pertama.[23]
            Bagaimanapun, Achmad adalah orang yang skeptis pada pemerintah kolonial kendati dia tergolong moderat—juga dianggap koperatif sebagai orang pergerakan yang setia dijalurnya—dia tidak sepenuhnya percaya pada pemerintah kolonial dikemudian hari. Dalam sebuah artikel Darmo Kondo edisi tanggal 12 Januari 1934, Achmad berkata

“Saya tidak berharap pertolongan apapun dari negeri Belanda agar Indonesia keluar dari krisis yang dialami dewasa ini. Untuk dukungan semacam itu Belanda terlalu memusatkan pada kepentingannya sendiri, dengan demikian mereka akan melanjutkan apa pun yang dapat diambilnya dari koloni.”[24]

Memang, dimanapun didunia ini, kaum penjajah dalam sejarah hanya mengambil apa saja dari objek yang dieksploitasinya dengan berbagai cara. Di negara koloni, prioritas pertama untuk negara induk dan berikutnya baru untuk pribumi, bila memungkinkan penguasa kolonial itu. Itulah mengapa Achmad Djajadiningrat tidak mau berharap banyak pada pemerintah kolonial di Hindia Belanda.



[1] Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood, ab. Harsono Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 174n.
[2] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, KPG, 2002. h. 60.
[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES, 1996. h. 229.
[4] Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas. 2006. h. 494.
[5] Bob Hering., h.71.
[6] Ibid. h. 83-85.
[7] Achmad Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat,ab Balai Pustaka, Kenang-kenangan Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat, Batavia, Kolff-Bunning-Balai Pustaka, 1936. h. 392.
[8] Ibid. h. 393
[9] Bob Hering., h. 83-85
[10] Achmad Djajadiningrat, h. 393.
[11] Bob Hering., h.232.
[12] Parakitri Simbolon, h. 722.
[13] Achmad Djajadiningrat, h. 304: Parakirti Simbolon, h. 540-541.
[14] Achmad Djajadiningrat, h. 1-2.
[15] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, KPG, 2002. h. 60.
[16] Gunawan Muhamad, Kenangan Pangeran Achmad Djajadiningrat, dalam kumpulan esai  Catatan Pinggi, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997. h. 278-279: Tempo 1 November 1980.
[17] Ibid.
[18] Achmad Djajadiningrat, h. 87.
[19] Ibid.
[20] Ibid., h. 100.
[21] P. Swantoro, h. 62-63.
[22] Ibid., h. 57.
[23] Gunawan Muhamad, loc. cit.
[24] Bob Hering., h. 232.

Tidak ada komentar: