Jumat, Mei 18, 2012

Soegondo Djojopoespito: Romantisme Sumpah Pemuda

 
Nama Soegondo Djojopoepito dalam sejarah pergerakan nasional hanya dikaitkan dengan Sumpah Pemuda saja. Kendati dunia pergerakan dia geluti dengan berbagai resiko.


Kehidupan sebagai mahasiswa telah membawa masuk Soegondo Djojopoespito dalam dunia pergerakan. Sebuah dunia yang akan di jauhi oleh sebagian besar pegawai-pegawai kolonial. Mereka selalu memperingatkan anak-anak mereka yang dalam masa sekolah agar tidak terlibat didalamnya. Tidak jarang dunia pergerakan dilingkungan kampus menjadi alasan atas gagalnya kuliah sang aktivis pergerakan. 
Soegondo Djojopoespito dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1905 di kota pesisir di Jawa Timur yang tersohor sejak zaman Majapahit,Tuban. Soegondo pernah kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta walau hanya sampai tingkat candidat II.[1]   Dari sini dapat ditarik kesimpulan, Soegondo jelas telah menikmati pendidikan modern di sekolah-sekolah dasar dan menengah sekuler berkualitas  milik pemerintah kolonial. Sekolah Tinggi pada masa Soegondo muda, yang menjadi mahasiswa, baik kedokteran, tehnik, atau hukum hanya menerima lulusan sekolah menengah Belanda model Hogare Burgere School (HBS) maupun Algemene Middlebare School (AMS). Untuk  menikmati pendidikan modern dari tingkat dasar, menengah apalagi sampai tingkat tinggi pasti membutuhkan banyak biaya. Sudah pasti Soegondo anak orang terpandang dengan penghasilan tinggi.


Yang Muda Yang Bergerak
Kaum  muda adalah elemen pembaharuan. Dengan gejolaknya, kaum muda mudah terbakar. Kaum muda hampir selalu ingin bebas dari kungkungan generasi sebelumnya. Tidak jarang kaum muda melabeli generasi tua sebagai generasi kolot. Kelak jika tua nanti mereka berubah juga menjadi generasi tua kolot juga. Setiap zaman punya jiwanya sendiri. Setiap zaman juga punya pemudanya sendiri-sendiri.
Pemuda bukan lagi anak-anak. Mereka mulai melihat dunia menjelang usia dewasanya. Mereka cenderung bereaksi terhadap hal-hal yang mereka anggap tidak cocok. Pemuda mulai berpikir apa yang terbai bagi dirinya, generasinya dan zamannya. Karenanya banyak pemuda bergabung dalam organisasi politik. Begitupun pemuda di tanah Hindia, khususnya pemuda pribumi terpelajar.
Pemuda-pemuda Hindia yang terpelajar banyak yang terjun ke masyarakat maupun belajar lagi di sekolah tinggi. Tidak sedikit pemuda yang berstatus mahsiswa sekolah tinggi tergabung dalam sebuah organisasi politik tertentu. Syarat  aktif berorganisasi politik menurut hukum kolonial pada dekade 1920an haruslah sudah menginjak usia 18 tahun. Pada umumnya mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi di Jakarta pastilah sudah lebih 18 tahun, jadi berhak menjadi anggota organisasi politik. [2]
Sekelompok mahasiswa tua (tingkat atas) School tot Opleiding van Indische Artssen (Stovia: Sekolah dokter pribumi) dan Recht Hoge School (RHS) mendirikan  Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia (PPPI) bulan September 1926. [3] Perhimpunan ini mendukung nasionalisme sekuler Indonesia, seperti halnya Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda.
Keanggotaan PPPI terdiri dari perhimpunan pelajar kesukuan yang nama depannya memakai embel-embel "Jong" didepan nama daerah asal mereka seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks, Jong Ambon, Jong Celebes dan Jong-jong lainnya. Tidak jarang masih aktif  perhimpunan pelajar kesukuan-nya. Contohnya Muhamad Yamin dari Jong Sumatran Bond atau Amir Sjarifoedin dari Jong Bataks.  Perhimpunan ini biasa berkumpul di Indonesische Clubgebouw di jalan Kramat nomor 106 di Waltevreden (Jakarta Kota sekarang). Soegondo Djojopoespito adalah ketua PPPI ini. Indonesische Clubgebouw juga menjadi tempat tinggal  tempat tinggal Soegondo Djojopuspito dan kawan-kawan lainnya. Ditempat ini mereka diskusi masalah politik diatas rumput.hubungan antar anggota sangat akrab dan jauh dari kesan formal.
 Setelah tahun 1927 usaha membentuk "badan kontak" mengalami kegagalan. Jong Java yang sebelumnya menonjol kehilangan  dominasinya dalam dunia gerakan pemuda. Usaha pemersatuan pemuda kemudian di ambil alih perhimpunan baru macam: PPPI dan Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia). [4]
Pada kongres pemuda tanggal 27-28 Oktober 1928, belum semua organisasi pemuda kedaerahan yang bergabung dengan perhimpunan oraganisasi pemuda semacam PPPI. Karenanya beberapa oraganisasi pemuda kemudian mengadakan perdiapan untuk melakukan fusi. Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar lantaran banyaknya pemuda terpelajar Jawa di Hindia. Organinsasi pemuda  tertua di Hindia ini dalam Kongres ke-XI pada tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta memyetujui ide fusi yang sedang digulirkan itu. [5]
            Sebelum ada organisasi fusi harus ada sebuah komisi persiapan. Sebagai tindak lanjut dari Kongres-nya Jong Java, di Semarang  tahun 1929, membubarkan diri dan bergabung dengan Perkoempoelan Indonesia Moeda. Dalam persiapan fusi itu, tanggal 23 April dan 25 Mei 1929 di Gedung Indonesische Clubgebouw nomor 106, Waltevreden diadakan rapat yang dihari wakil-wakil perkumpulan yang siap melakukan fusi. [6]
            Hasil pertemuan antara perwakilan Jong Java, Jong Indonesia dan Pemuda Sumatra akan berganti nama dan menjadi perserikatan baru yang bedarkan kebangsaan bukan lagi kedaerahan atau kesukuan. [7]
            Soegondo Djojopoespito, selain di PPPI  kemudian juga bergabung  dengan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia-nya Hatta dan Syahrir.  Partai Sosialis Indonesia juga menjadi tempatnya berpolitik. [8]  
Sumpah Pemuda 1928
            Banyak tulisan yang menyebut PPPI ikut ambil dalam Kongres Pemuda I 1926 sebagai Panitia Kongres Pemuda I. Tulisan itu jelas tidak benar menurut Soegondo Djojopuspito. Dalam tulisannya yang berjudul Beberapa Peristiwa Yang Kurang Tepat Dalam Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda yang dimuat dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, menyebutkan bahwa panitia Kongres Pemuda Indonesia I dibentuk pada bulan April 1926, sedangkan PPPI baru dibentuk pada bulan September 1926. [9]
Sebagai perhimpunan yang baru dibentuk, peran PPPI sebagai Panitia Kongres Pemuda II. PPPI adalah penggerak dibelakang Kongres Pemuda Indonesia II dibulan Oktober 1928 itu. Tiga  pemuda berpengaruh PPPI, sesuai dengan rapat pembentukan panitia Juni 1928 berperan sebagai pimpinan komite, termasuk Soegondo yang menjadi ketua Kongres. Yamin sebagai sekretaris. Amir sebagai bendahara. [10]
Banyak pemuda yang hadir dalam kongres itu. Mereka menganakan "palmbeach licin dan distrika" juga "peci" khas Indonesia. Tidak lupa agen-agen  bahkan komisaris polisi juga hadir. Para polisi ini menjadi bahan tertawaan dalam kongres yang dikemas dalam bentuk halus oleh pengoloknya. [11]
            Banyak yang mengira Kongres Pemuda Indonesia II adalah sebuah rapat besar dengan peserta dari seluruh Hindia Belanda datang mewakili daerahnya masing-masing. Soegondo memiliki kesaksiannya sendiri mengenai lahirnya Sumpah Pemuda yang sakral itu. Soegondo menulis:
Banyak orang mengira bahwa pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu para pemuda dari seluruh Indonesia datang ke jakarta untuk mengadakan Kongres, yang dinamakan kongres Pemuda Indonesia II (Bahasa Belandanya: Tweede Indonesische Jeugd Congres). Sebetulnya tanggal tersebut  oleh panitia Kongres Pemuda II (Bahasa Belandanya: Tweede Indonesisische Congres Commite) diadakan tiga rapat umum. (terbuka untuk semua orang yang suka datang mengahadirinya). [12]
Rapat umum lebih bersikap terbuka dan tidak eksklusif dimana yang hadir hanya anggota saja. Kongres mempersilahkan siapa saja hadir menyaksi pemuda-pemuda terpelajar merumuskan eksistensi pemuda di tanah Hindia kala itu. Ramainya Kongres Pemuda Indonesia II ini pastinya terus dipantau oleh aparat pemerintah kolonial. Hindia Belanda menjadi rumah kaca bagi kaum pergerakan, sehingga dengan leluasa pemeritah dapat mengawasi tiap gerak orang pergerakan. Soegondo juga menggambarkan ramainya Kongres-nya:
Sebagian hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga undangan, yaitu: wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol, ormas,, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: PID (Politieke Intelichtingen dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandsche Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada gubernur jenderal; laporannya sering membelaorang indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr Hazeu, Gobee, van der Plas). [13]
            Menurut hukum kolonial masa itu, polisi berhak untuk menghadiri semua rapat umum tanpa terkecuali. Tujuan pemerintah kolonial adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Mereka juga memiliki wewenang untuk menegur bahkan menbubarkan suatu rapat umum bila rapat umum dinilai memprovokasi masa kearah sikap anti pemerintah. [14]  

           
Lagu Indonesia Raya
Wage Rudolf Supratman yang wartawan sering mengunjungi Indonesische Clubgebouw tiga kali seminggu sebelum kongres Pemuda II diadakan. Soegondo dapat kabar dari Thabrani bahwa W.R. Supratman memiliki konsep lagu kebangsaan. Di rerumputan halaman Gedung Komedi depan Stasiun Gambir, Soegondo meyarankan kepada kawan-kawannya yang sedang berkumpul agar lagu itu nantinya dinyanyikan di Indonesische Clubgebouw. Sekumpulan pemuda ini termasuk Soegondo lalu sepakat untuk menjadikan lagu ciptaan Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia raya. [15]
            Pada malam penutupan Kongres Pemuda Supratman berangkat lebih awal. Setelannya jas putih-putih, peci dan sepatu putih mengkilap. Biolanya tidak lupa dibawa. Soegondo menjanjikan lagu itu akan dibawakan saat istirahat. Ketika secarik kertas berisi naskah lagu dari Supratman diberikan kepada Soegondo, timbul keraguan karena lirinya yang mengindikasikan tuntutan kemerdekaan. Soegondo takut bila dinyanyikan maka acara malam penutupan kongres terancam bubar, padahal hasil kongres akan dibacakan saat penutupan. [16]
 Soegondo lalu mendatangi Kepala Kantoor Inlands Zaken (urusan pribumi) van der Plas. Van der Plas kemudian bilang: " Tuan jangan bertanya kepada saya, tapi kepada tuan yang disana itu." Maksud van der Plas tuan yang disana itu adalah Komisaris Polisi. Soegondo yang takut bicara dengan polisi itu kemudian berinisiatif  dengan  meminta kepada Supratman agar lagu tersebut dibawakan instrumennya saja, tanpa lirik. [17]
Waktu jeda rapat kongres tiba. Terlebih dahulu Soegondo memperkenalkan Supratman yang akan memainkan sebuah lagu. [18] Supratman maju ketempat yang disediakan dan semua hadirin diam sejenak. Didepan khalayak ramai lagu Indonesia Raya tanpa lirik diperdengarkan dengan gesekan biola Supratman. Hadirin terpaku. Rupanya panitia meminta Supratman memperdengarkan lagi. Kali ini hadirin berdiri ketika lagu diperdengarkan. [19] Saat itu ada 1.000 orang yang memadati gedung Kongres Pemuda itu. Supratman telah membuat 1.000 orang itu terharu. [20]
Seperti tradisi yang masih dianut bangsa Indonesia saat ini, ketika lagu Indonesia Raya semua orang diminta berdiri seperti pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 tersebut.
            Sudah biasa dalam karangan-karangan tantang sumpah pemuda selau ada cerita tentang diperdengarkannya lagu Indonesia Raya kepada khalayak untuk pertama kalinya.  Ada orang yang menulis, bahwa WR Supratman menyanyikan lagunya sambil memetik gitar dan diiringi permainan biola serta ukulele seperti keroncong. Ada juga Supratman mengiringi dengan biolanya anak kecil yang bernyanyi.  Soegondo tidak menyalahkan semuanya.  Bagi Soegondo semua itu benar tetapi konteks waktu dan tempatnya tidak sama.

 Lagu Indonesia raya telah dimainkan berkali-kali dan dimana-mana, dengan iringan biola, dinyanyikan bersama-sama., dalam koor dan orkes. Saya ingat rapat rapat penutupan Kongres Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928.....di Kramat 106, diruangan yang sama waktu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kalinya. Pada rapat penutupan itu dinyanyikan bersama-sam oleh hadirin. Para penyanyi kelihatan sedikit tersenyum, oleh karena seorang utusan dari Solo terdengar terang suaranya dengan nada "pelok." [21]

Sumpah Pemuda menjadi awal diperkenalkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya setelah diciptakan W.R. Supratman. Lagu ini menjadi lagu  sakral bagi bangsa Indonesia sampai sekarang. Keberadaannya sebagai lagu kebangsaan benar-benar tidak bisa digugat atau digantikan lagu-lagu lainnya.

Hidup Untuk Pergerakan
Masa muda Soegondo jelas dihabiskan dalam dunia pergerakan kaum muda yang juga menentang kolonialisasi dengan caranya sendiri. Tahun  1929 dia keluar dari kampusnya. Setahun sebelumnya dia telah memimpin sebuah Kongres yang akan selalu dikenang dalam sejarah bangsa Indonesia. Tidak diketahui mengapa dirinya tidak menamatkan kuliahnya. Bisa jadi riwayat Soegondo mirip Arnold Mononutu, pemuda Sulawesi Utara yang gagal kuliahnya lantaran terlibat dalam dunia pergerakan. Selama kuliah di Negeri Belanda, Arnold Mononutu alias Om No pernah distop biaya hidupnya di Eropa atas paksaan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang tuanya yang pegawai pemerintah. Antara Arnold Mononutu dengan Soegondo pernah mengajar bahkan memimpin di Perguruan Rakyat di Jakarta. Arnold Mononutu manjabat terlebih dahulu. Setelah Arnold pulang ke Sulawesi Utara, jabatan itu dipegang Soegondo.[22]
Pekerjaan yang dijalani Soegondo sekeluarnya dari RHS nyatanya tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya di RHS. Bukan kantor pokrol (pengacara) yang ditempati, tetapi ruang kelas. Soegondo menjadi guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta sebelum mengajar di Perguruan Rakyat di Jakarta.  Di Taman Siswa Bandung Soegondo pernah mengajar. Dunia jurnalistik juga pernah di geluti oleh Soegondo sebagai wartawan setelah terkena larangan mengajar pada tahun 1934. Soegondo juga ikut membantu penerbitan koran Batavia Nieuwsblad dan Indische Courant di Surabaya.[23]
Anggota Jong Java, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Partai politik Partai Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia. Hidup Soegondo Djojopoespito dalam pergerakan juga membuatnya menikah dengan Suwarsih Djojopoespito, seorang wanita yang juga dekat dengan kaum pergerakan. Bagi Soegondo dunia pergerakan untuk merubah Hindia Belanda menjadi tanah yang merdeka adalah hidupnya.
Jelas Soegondo adalah salah satu tokoh yang ikut memperkenalkan lagu Indonesai Raya sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia. Soegondo yang merasa terjepit oleh janjinya kepada Supratman untuk memperdengarkan lagu itu disatu sisi dan reaksi yang akan timbul jika lagu tersebut dinyanyikan dengan liriknya yang revolusioner pasti akan menyeret kongresnya dalam bahaya karena dibubarkan padahal hasil kongres harus dibacakan diakhir kongres. Akhirnya Soegondo berinisiatif  dengan meminta Supratkan memainkan musiknya saja tanpa lirik. Walau begitu musikalitasnya mampu mengharukan pendengar kanya.
Tindakan Soegondo ini membuktikan bahwa dirinya telah berlaku bijak. Dia telah menjaga jalannya kongres juga membantu Supratman dalam menggugah rasa kebangsaan orang Indonesia masa itu dengan lagu Indonesia Raya.
Setelah Sumpah Pemuda berlalu, walaupun masih bergerak dalam dunia pergerakan popularitas Soegondo Djojopoespito seolah menghilang. Namanya hanya dikaitkan sebagai ketua Kongres Pemuda Indonesia II yang melahirkan Sumpah Pemuda dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.  


[1]45 Tahun Sumpah Pemuda, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta & PT Gunung Agung, 1974. h. 209.
[2] Hans van Miert, Dengang Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta, KITLV-Hasta Mitra-Pustaka Hutan Kayu, 2003. h. 495.
[3] 45 Tahun Sumpah Pemuda, h. 211.
[4] Jong Indonesia ( Jong/Pemuda Indonesia yang didirikan di Bandung, 20 Rebruari 1927 oleh pelajar Algemene Middlebare School (AMS) Bandung. Salah satu dari pelajar itu adalah Soetan Sjahrir. (Hans van Miert, h.495-496)
[5] Restu Gunawan, Muhamad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Yogyakarta: Ombak, 2005. h. 28.
[6] Ibid., h. 29.
[7] Ibid.
[8] 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209.
[9] tiga tokoh itu dibantu panitia lain yakni: Djohan Muhamad Tjai, Senduk, Leimena dan lainnya. ( 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209)
[10] Restu Gunawan,. h. 25-26
[11] Hans van Miert, h.502-503.
[12]  45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 209.
[13] Ibid., h. 209-210.
[14] Ibid., h. 209.
[15] Yanto Bashari &Retno Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta, LKiS, 2004. h.312.
[16] Ibid., h. 317-318.

[17] Hans van Miert, h.500.
[18] Ibid.
[19] Yanto Bashari &Retno Suffatni, h. 317-318.
[20]  Hans van Miert, h.500.
[21] 45 Tahun Sumpah Pemuda.  h. 212.
[22]  Ibid., h. 209-213.
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka, 1989. h. 388.

Tidak ada komentar: