Nama Soegondo Djojopoepito dalam sejarah pergerakan
nasional hanya dikaitkan dengan Sumpah Pemuda saja. Kendati dunia pergerakan
dia geluti dengan berbagai resiko.
Kehidupan
sebagai mahasiswa telah membawa masuk Soegondo Djojopoespito dalam dunia
pergerakan. Sebuah dunia yang akan di jauhi oleh sebagian besar pegawai-pegawai
kolonial. Mereka selalu memperingatkan anak-anak mereka yang dalam masa sekolah
agar tidak terlibat didalamnya. Tidak jarang dunia pergerakan dilingkungan
kampus menjadi alasan atas gagalnya kuliah sang aktivis pergerakan.
Soegondo
Djojopoespito dilahirkan pada tanggal 22 Februari 1905 di kota pesisir di Jawa
Timur yang tersohor sejak zaman Majapahit,Tuban. Soegondo pernah kuliah di Recht
Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta walau hanya sampai tingkat candidat
II.[1]
Dari sini dapat ditarik kesimpulan, Soegondo
jelas telah menikmati pendidikan modern di sekolah-sekolah dasar dan menengah
sekuler berkualitas milik pemerintah
kolonial. Sekolah Tinggi pada masa Soegondo muda, yang menjadi mahasiswa, baik
kedokteran, tehnik, atau hukum hanya menerima lulusan sekolah menengah Belanda
model Hogare Burgere School (HBS) maupun Algemene Middlebare School (AMS).
Untuk menikmati pendidikan modern dari
tingkat dasar, menengah apalagi sampai tingkat tinggi pasti membutuhkan banyak
biaya. Sudah pasti Soegondo anak orang terpandang dengan penghasilan tinggi.
Yang Muda Yang Bergerak
Kaum muda adalah elemen pembaharuan. Dengan
gejolaknya, kaum muda mudah terbakar. Kaum muda hampir selalu ingin bebas dari
kungkungan generasi sebelumnya. Tidak jarang kaum muda melabeli generasi tua
sebagai generasi kolot. Kelak jika tua nanti mereka berubah juga menjadi
generasi tua kolot juga. Setiap zaman punya jiwanya sendiri. Setiap zaman juga
punya pemudanya sendiri-sendiri.
Pemuda
bukan lagi anak-anak. Mereka mulai melihat dunia menjelang usia dewasanya.
Mereka cenderung bereaksi terhadap hal-hal yang mereka anggap tidak cocok.
Pemuda mulai berpikir apa yang terbai bagi dirinya, generasinya dan zamannya.
Karenanya banyak pemuda bergabung dalam organisasi politik. Begitupun pemuda di
tanah Hindia, khususnya pemuda pribumi terpelajar.
Pemuda-pemuda
Hindia yang terpelajar banyak yang terjun ke masyarakat maupun belajar lagi di
sekolah tinggi. Tidak sedikit pemuda yang berstatus mahsiswa sekolah tinggi
tergabung dalam sebuah organisasi politik tertentu. Syarat aktif berorganisasi politik menurut hukum
kolonial pada dekade 1920an haruslah sudah menginjak usia 18 tahun. Pada
umumnya mahasiswa-mahasiswa sekolah tinggi di Jakarta pastilah sudah lebih 18
tahun, jadi berhak menjadi anggota organisasi politik.
[2]
Sekelompok
mahasiswa tua (tingkat atas) School tot Opleiding van Indische Artssen (Stovia:
Sekolah dokter pribumi) dan Recht Hoge School (RHS) mendirikan Perhimpoenan Peladjar Peladjar Indonesia
(PPPI) bulan September 1926.
[3]
Perhimpunan ini mendukung nasionalisme sekuler Indonesia, seperti halnya
Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda.
Keanggotaan
PPPI terdiri dari perhimpunan pelajar kesukuan yang nama depannya memakai embel-embel "Jong" didepan nama daerah
asal mereka seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks, Jong Ambon,
Jong Celebes dan Jong-jong lainnya. Tidak jarang masih aktif perhimpunan pelajar kesukuan-nya. Contohnya
Muhamad Yamin dari Jong Sumatran Bond atau Amir Sjarifoedin dari Jong
Bataks. Perhimpunan ini biasa berkumpul
di Indonesische Clubgebouw di jalan Kramat nomor 106 di Waltevreden (Jakarta
Kota sekarang). Soegondo Djojopoespito adalah ketua PPPI ini. Indonesische
Clubgebouw juga menjadi tempat tinggal
tempat tinggal Soegondo Djojopuspito dan kawan-kawan lainnya. Ditempat
ini mereka diskusi masalah politik diatas rumput.hubungan antar anggota sangat
akrab dan jauh dari kesan formal.
Setelah tahun 1927 usaha membentuk "badan
kontak" mengalami kegagalan. Jong Java yang sebelumnya menonjol kehilangan dominasinya dalam dunia gerakan pemuda. Usaha
pemersatuan pemuda kemudian di ambil alih perhimpunan baru macam: PPPI dan Jong
Indonesia (Pemoeda Indonesia).
[4]
Pada
kongres pemuda tanggal 27-28 Oktober 1928, belum semua organisasi pemuda
kedaerahan yang bergabung dengan perhimpunan oraganisasi pemuda semacam PPPI.
Karenanya beberapa oraganisasi pemuda kemudian mengadakan perdiapan untuk melakukan
fusi. Jong Java sebagai organisasi pemuda terbesar lantaran banyaknya pemuda
terpelajar Jawa di Hindia. Organinsasi pemuda
tertua di Hindia ini dalam Kongres ke-XI pada tanggal 25-29 Desember
1928 di Yogyakarta memyetujui ide fusi yang sedang digulirkan itu.
[5]
Sebelum ada organisasi fusi harus ada sebuah komisi
persiapan. Sebagai tindak lanjut dari Kongres-nya Jong Java, di Semarang tahun 1929, membubarkan diri dan bergabung
dengan Perkoempoelan Indonesia Moeda. Dalam persiapan fusi itu, tanggal 23
April dan 25 Mei 1929 di Gedung Indonesische Clubgebouw nomor 106, Waltevreden
diadakan rapat yang dihari wakil-wakil perkumpulan yang siap melakukan fusi.
[6]
Hasil pertemuan antara perwakilan Jong Java, Jong
Indonesia dan Pemuda Sumatra akan berganti nama dan menjadi perserikatan baru
yang bedarkan kebangsaan bukan lagi kedaerahan atau kesukuan.
[7]
Soegondo Djojopoespito, selain di PPPI kemudian juga bergabung dengan Partai Nasional Indonesia-nya
Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia-nya Hatta dan Syahrir. Partai Sosialis Indonesia juga menjadi
tempatnya berpolitik.
[8]
Sumpah Pemuda 1928
Banyak tulisan yang menyebut PPPI ikut ambil dalam
Kongres Pemuda I 1926 sebagai Panitia Kongres Pemuda I. Tulisan itu jelas tidak
benar menurut Soegondo Djojopuspito. Dalam tulisannya yang berjudul Beberapa Peristiwa Yang Kurang Tepat Dalam
Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda yang dimuat dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, menyebutkan
bahwa panitia Kongres Pemuda Indonesia I dibentuk pada bulan April 1926,
sedangkan PPPI baru dibentuk pada bulan September 1926.
[9]
Sebagai
perhimpunan yang baru dibentuk, peran PPPI sebagai Panitia Kongres Pemuda II. PPPI
adalah penggerak dibelakang Kongres Pemuda Indonesia II dibulan Oktober 1928
itu. Tiga pemuda berpengaruh PPPI, sesuai
dengan rapat pembentukan panitia Juni 1928 berperan sebagai pimpinan komite,
termasuk Soegondo yang menjadi ketua Kongres. Yamin sebagai sekretaris. Amir
sebagai bendahara.
[10]
Banyak
pemuda yang hadir dalam kongres itu. Mereka menganakan "palmbeach licin dan
distrika" juga "peci" khas Indonesia. Tidak lupa agen-agen bahkan komisaris polisi juga hadir. Para polisi
ini menjadi bahan tertawaan dalam kongres yang dikemas dalam bentuk halus oleh
pengoloknya.
[11]
Banyak yang mengira Kongres Pemuda Indonesia II adalah
sebuah rapat besar dengan peserta dari seluruh Hindia Belanda datang mewakili
daerahnya masing-masing. Soegondo memiliki kesaksiannya sendiri mengenai
lahirnya Sumpah Pemuda yang sakral itu. Soegondo menulis:
Banyak orang mengira bahwa pada tanggal
27 dan 28 Oktober 1928 itu para pemuda dari seluruh Indonesia datang ke jakarta
untuk mengadakan Kongres, yang dinamakan kongres Pemuda Indonesia II (Bahasa
Belandanya: Tweede Indonesische Jeugd Congres). Sebetulnya tanggal tersebut oleh panitia Kongres Pemuda II (Bahasa
Belandanya: Tweede Indonesisische Congres Commite) diadakan tiga rapat umum.
(terbuka untuk semua orang yang suka datang mengahadirinya).
[12]
Rapat
umum lebih bersikap terbuka dan tidak eksklusif dimana yang hadir hanya anggota
saja. Kongres mempersilahkan siapa saja hadir menyaksi pemuda-pemuda terpelajar
merumuskan eksistensi pemuda di tanah Hindia kala itu. Ramainya Kongres Pemuda
Indonesia II ini pastinya terus dipantau oleh aparat pemerintah kolonial.
Hindia Belanda menjadi rumah kaca bagi kaum pergerakan, sehingga dengan leluasa
pemeritah dapat mengawasi tiap gerak orang pergerakan. Soegondo juga
menggambarkan ramainya Kongres-nya:
Sebagian hadirin adalah khalayak ramai.
Di antara khalayak ramai itu hadir juga undangan, yaitu: wakil perkumpulan-perkumpulan
pemuda, parpol, ormas,, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan
tugas dinas: PID (Politieke Intelichtingen dienst) dan pegawai (Kantoor voor
Inlandsche Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada gubernur jenderal; laporannya
sering membelaorang indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini
antara lain ialah Dr Hazeu, Gobee, van der Plas).
[13]
Menurut hukum kolonial masa itu, polisi berhak untuk
menghadiri semua rapat umum tanpa terkecuali. Tujuan pemerintah kolonial adalah
untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum. Mereka juga memiliki wewenang untuk
menegur bahkan menbubarkan suatu rapat umum bila rapat umum dinilai
memprovokasi masa kearah sikap anti pemerintah.
[14]
Lagu Indonesia Raya
Wage
Rudolf Supratman yang wartawan sering mengunjungi Indonesische Clubgebouw tiga
kali seminggu sebelum kongres Pemuda II diadakan. Soegondo dapat kabar dari
Thabrani bahwa W.R. Supratman memiliki konsep lagu kebangsaan. Di rerumputan
halaman Gedung Komedi depan Stasiun Gambir, Soegondo meyarankan kepada
kawan-kawannya yang sedang berkumpul agar lagu itu nantinya dinyanyikan di
Indonesische Clubgebouw. Sekumpulan pemuda ini termasuk Soegondo lalu sepakat
untuk menjadikan lagu ciptaan Supratman sebagai lagu kebangsaan Indonesia raya.
[15]
Pada malam penutupan Kongres Pemuda Supratman berangkat
lebih awal. Setelannya jas putih-putih, peci dan sepatu putih mengkilap.
Biolanya tidak lupa dibawa. Soegondo menjanjikan lagu itu akan dibawakan saat
istirahat. Ketika secarik kertas berisi naskah lagu dari Supratman diberikan
kepada Soegondo, timbul keraguan karena lirinya yang mengindikasikan tuntutan
kemerdekaan. Soegondo takut bila dinyanyikan maka acara malam penutupan kongres
terancam bubar, padahal hasil kongres akan dibacakan saat penutupan.
[16]
Soegondo lalu mendatangi Kepala Kantoor
Inlands Zaken (urusan pribumi) van der Plas. Van der Plas kemudian bilang: " Tuan jangan bertanya kepada saya, tapi
kepada tuan yang disana itu." Maksud van der Plas tuan yang disana itu
adalah Komisaris Polisi. Soegondo yang takut bicara dengan polisi itu kemudian
berinisiatif dengan meminta kepada Supratman agar lagu tersebut
dibawakan instrumennya saja, tanpa lirik.
[17]
Waktu
jeda rapat kongres tiba. Terlebih dahulu Soegondo memperkenalkan Supratman yang
akan memainkan sebuah lagu.
[18]
Supratman maju ketempat yang disediakan dan semua hadirin diam sejenak. Didepan
khalayak ramai lagu Indonesia Raya tanpa lirik diperdengarkan dengan gesekan
biola Supratman. Hadirin terpaku. Rupanya panitia meminta Supratman
memperdengarkan lagi. Kali ini hadirin berdiri ketika lagu diperdengarkan.
[19] Saat
itu ada 1.000 orang yang memadati gedung Kongres Pemuda itu. Supratman telah
membuat 1.000 orang itu terharu.
[20]
Seperti
tradisi yang masih dianut bangsa Indonesia saat ini, ketika lagu Indonesia Raya
semua orang diminta berdiri seperti pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928
tersebut.
Sudah biasa dalam karangan-karangan tantang sumpah pemuda
selau ada cerita tentang diperdengarkannya lagu Indonesia Raya kepada khalayak untuk
pertama kalinya. Ada orang yang menulis,
bahwa WR Supratman menyanyikan lagunya sambil memetik gitar dan diiringi
permainan biola serta ukulele seperti keroncong. Ada juga Supratman mengiringi
dengan biolanya anak kecil yang bernyanyi.
Soegondo tidak menyalahkan semuanya.
Bagi Soegondo semua itu benar tetapi konteks waktu dan tempatnya tidak
sama.
Lagu Indonesia raya telah dimainkan
berkali-kali dan dimana-mana, dengan iringan biola, dinyanyikan bersama-sama.,
dalam koor dan orkes. Saya ingat rapat rapat penutupan Kongres Pemuda Indonesia
pada tanggal 28 Oktober 1928.....di Kramat 106, diruangan yang sama waktu
Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kalinya. Pada rapat penutupan itu
dinyanyikan bersama-sam oleh hadirin. Para penyanyi kelihatan sedikit
tersenyum, oleh karena seorang utusan dari Solo terdengar terang suaranya
dengan nada "pelok."
[21]
Sumpah
Pemuda menjadi awal diperkenalkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya setelah
diciptakan W.R. Supratman. Lagu ini menjadi lagu sakral bagi bangsa Indonesia sampai sekarang.
Keberadaannya sebagai lagu kebangsaan benar-benar tidak bisa digugat atau
digantikan lagu-lagu lainnya.
Hidup Untuk
Pergerakan
Masa
muda Soegondo jelas dihabiskan dalam dunia pergerakan kaum muda yang juga
menentang kolonialisasi dengan caranya sendiri. Tahun 1929 dia keluar dari kampusnya. Setahun
sebelumnya dia telah memimpin sebuah Kongres yang akan selalu dikenang dalam
sejarah bangsa Indonesia. Tidak diketahui mengapa dirinya tidak menamatkan
kuliahnya. Bisa jadi riwayat Soegondo mirip Arnold Mononutu, pemuda Sulawesi
Utara yang gagal kuliahnya lantaran terlibat dalam dunia pergerakan. Selama
kuliah di Negeri Belanda, Arnold Mononutu alias Om No pernah distop biaya
hidupnya di Eropa atas paksaan Pemerintah Hindia Belanda kepada orang tuanya
yang pegawai pemerintah. Antara Arnold Mononutu dengan Soegondo pernah mengajar
bahkan memimpin di Perguruan Rakyat di Jakarta. Arnold Mononutu manjabat
terlebih dahulu. Setelah Arnold pulang ke Sulawesi Utara, jabatan itu dipegang
Soegondo.[22]
Pekerjaan
yang dijalani Soegondo sekeluarnya dari RHS nyatanya tidak sesuai dengan apa
yang dipelajarinya di RHS. Bukan kantor pokrol (pengacara) yang ditempati,
tetapi ruang kelas. Soegondo menjadi guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta
sebelum mengajar di Perguruan Rakyat di Jakarta. Di Taman Siswa Bandung Soegondo pernah
mengajar. Dunia jurnalistik juga pernah di geluti oleh Soegondo sebagai
wartawan setelah terkena larangan mengajar pada tahun 1934. Soegondo juga ikut
membantu penerbitan koran Batavia
Nieuwsblad dan Indische Courant di
Surabaya.[23]
Anggota
Jong Java, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Partai politik Partai
Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia. Hidup Soegondo Djojopoespito
dalam pergerakan juga membuatnya menikah dengan Suwarsih Djojopoespito, seorang
wanita yang juga dekat dengan kaum pergerakan. Bagi Soegondo dunia pergerakan
untuk merubah Hindia Belanda menjadi tanah yang merdeka adalah hidupnya.
Jelas
Soegondo adalah salah satu tokoh yang ikut memperkenalkan lagu Indonesai Raya
sebagai lagu kebangsaan bangsa Indonesia. Soegondo yang merasa terjepit oleh
janjinya kepada Supratman untuk memperdengarkan lagu itu disatu sisi dan reaksi
yang akan timbul jika lagu tersebut dinyanyikan dengan liriknya yang
revolusioner pasti akan menyeret kongresnya dalam bahaya karena dibubarkan
padahal hasil kongres harus dibacakan diakhir kongres. Akhirnya Soegondo
berinisiatif dengan meminta Supratkan
memainkan musiknya saja tanpa lirik. Walau begitu musikalitasnya mampu
mengharukan pendengar kanya.
Tindakan
Soegondo ini membuktikan bahwa dirinya telah berlaku bijak. Dia telah menjaga
jalannya kongres juga membantu Supratman dalam menggugah rasa kebangsaan orang
Indonesia masa itu dengan lagu Indonesia Raya.
Setelah
Sumpah Pemuda berlalu, walaupun masih bergerak dalam dunia pergerakan
popularitas Soegondo Djojopoespito seolah menghilang. Namanya hanya dikaitkan
sebagai ketua Kongres Pemuda Indonesia II yang melahirkan Sumpah Pemuda dalam
sejarah Indonesia, khususnya dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia.
[1]45 Tahun Sumpah Pemuda, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah
Jakarta & PT Gunung Agung, 1974. h. 209.
[2] Hans van Miert, Dengang Semangat Berkobar: Nasionalisme dan
Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta, KITLV-Hasta Mitra-Pustaka
Hutan Kayu, 2003. h. 495.
[3] 45 Tahun Sumpah Pemuda, h. 211.
[4] Jong Indonesia ( Jong/Pemuda
Indonesia yang didirikan di Bandung, 20 Rebruari 1927 oleh pelajar Algemene Middlebare
School (AMS) Bandung. Salah satu dari pelajar itu adalah Soetan Sjahrir. (Hans
van Miert, h.495-496)
[5] Restu Gunawan, Muhamad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Yogyakarta:
Ombak, 2005. h. 28.
[6] Ibid., h. 29.
[7] Ibid.
[9] tiga tokoh itu dibantu
panitia lain yakni: Djohan Muhamad Tjai, Senduk, Leimena dan lainnya. ( 45 Tahun Sumpah Pemuda. h. 209)
[10] Restu Gunawan,. h. 25-26
[11] Hans van Miert, h.502-503.
[13] Ibid., h. 209-210.
[14] Ibid., h. 209.
[15] Yanto Bashari &Retno
Suffatni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta,
LKiS, 2004. h.312.
[17] Hans van Miert, h.500.
[18] Ibid.
[19] Yanto Bashari &Retno
Suffatni, h. 317-318.
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta, PT Cipta Adi Pustaka,
1989. h. 388.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar