Harusnya orang Indonesia mengerti tentang Indonesia. Beruntung, meski sudah berabad-abad dalam genggam kolonialisasi Belanda, Indonesia akhirnya punya ahli semacam Hoesein Djajadiningrat. Anak keluarga besar Djajadiningrat, yang adik birokrat Banten kesohor Ahmad Djajadiningrat ini, termasuk lulusan Leiden sohor juga.
Penikamat politik Etis
Max Havelaar baru saja meneriakan kekejaman tanam paksa di Jawa. Orang-orang dinegeri Belanda-pun tersentak, termasuk kaum liberal Belanda, ramai-ramai mengutuki sistem buatan van den Bosch itu. Muncullah van Deventer, sebuah perubahan tingkat elit feodal tanah jajahan mulai bergulir, sekolah model barat mulai dibuka untuk bumiputra kelas atas. Sekolah yang akan membawa mereka ke barat.
Keluarga ini berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda yang mayoritas siswanya adalah orang-orang Belanda. Kakak Husein, Ahmad bahkan pernah menggunakan nama Willem van Banten agar bisa memasuki HBS, ketika kesempatan orang pribumi untuk bersekolah disitu belum terbuka dengan baik.5
Indolog Pribumi
Minat Husein pada Sejarah Aceh berkembanag ketika ikut serta dalam lomba menulis tentang kesultanan Aceh. Kesultanan yang pernah ikut dihajar oleh Snouck Hurgronje lewat nasehatnya pada pemerintah kolonial. Sebelum merampungkan disertasinya, Hoesein pernah mengikuti sayembara menulis pada tahun 1908 di Universitas Leiden. Tulisannya berjudul Critisch Overzicht van de Maleische Werken Vervatte Gegevens van het Sultanaat van Aceh, dimuat di BKI deel 65 dan terbit tahun 1911.7
Sebelum ikut menulis itu, Husein terlebih dahulu meneliti naskah-naskah Melayu. Usaha yang tidak sia-sia, setidaknya bagi bumiputra macam Husein budaya Melayu tidak jauh dari dirinya sebagai orang Banten penganut Islam. Husein akhirnya menang.
Atas kemenangan itu Husein mendapatkan hadiah Medali. Ternyata orang Asia tidaklah terbelakang dan Husein bukanlah Sickman Asia. Setelah kemenangan itu Husein terjun semakin dalam menggali sejarah dan kebudayaan Hindia, khususnya Aceh selama beberapa tahun sebelum beralih pada daerah lainnya.
Sejak Mei 1914 sampai April 1915, Husein mulai mempelajari lebih dalam bahasa Aceh untuk membuat kamus bahasa Aceh-Belanda. Hasil kerjanya berupa Atjeh-Nederlandsche Wordenboek. Kamus itu lalu diterbitkan tahun 1934. Kamus ini dinilai sebagai kamus bahasa daerah terlengkap selama beberapa dekade. Tida heran jika Snouck Hurgronje kagum pada Husein. Bahkan dianggap memiliki reputasinya sama hebatnya sebagai Indolog dengan sang guru.
Kehidupan mahasiswa Husein ditutup dengan disertasinya mengenai sejarah Banten, tanah tempat dia lahir, tanah dimana keluarganya dijunjung. Husein sendiri, dalam sejarah pendidikan modern Indonesia, adalah orang pertama yang mempertahankan disertasi-nya di Universitas Leiden, tahun 1913, dengan judul: Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Tentang Sejarah Banten). Karena disertasinya itu, Hoesein di anggap sebagai pengganti Brandes, orang Belanda yang ahli keperubukalaan Jawa.8
Prof. H. Kern, salah seorang kolega Snouck Hurgronje, sangat memuji disertasi Husein itu. Terlihat dalam resensinya pada majalah De Gids di negeri Belanda. Kepada Husein, Kern sangat berharap agar ada lagi karya-karya Husein Djajadingrat yang lainnya setelah disertasinya itu.9
Disertasi itu lalu diterbitkan oleh Jon Enschede tahun 1913 di Haarlem. Pada halaman 201-212, Hoesein mengatakan bahwa bagi orang Jawa ramalan atau mimpi menandakan sesuatu atau memberikan suatu kesan yang mendalam.10 Bertindak sebagai promoter Hoesein, adalah Snouck Horgronje.
Jadilah Husein seorang Indolog tingkat dokter pertama bagi orang pribumi. Tidak hanya doktor Indologi pertama, tapi juga Doktor pribumi pertama lulusan Universitas Leiden yang menyimpan banyak bahan mengenai Indonesia itu. Karya tulis Husein termasuk disertasinya adalah sumbangan orang pribumi mengenai kajian tentang Hindia yang lebih didominasi oleh orang-orang Belanda. Husein telah mensejajarkan dirinya dengan mereka, orang-orang Belanda orientalis itu.
Karya-karya Husein sebagai Indolog antara lain; De Magische Achtergrond van de Maleische Pantoen yang merupakan pidato ilmiah pada tanggal 28 Oktober 1933, saat acara ulang tahun Recht Hoge School ke 9. karangan Husein tentang Islam adalah De Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaanen, juga pidato ilmiah Husein. Pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 1925, ketika perguruan tinggi itu baru setahun.11 Semuanya dihasilkan oleh Husein ketika dia sudah berada di Indonesia.
Ada sisi baik dari suksesnya studi Husein mengenai Indologi di Leiden dengan predikat camme laude. Pemuda Indonesia ternyata bisa meraih prestasi akademik. Gagasan untuk mendidik kader pribumi, macam Husein Djajadiningrat, sekelompok kader yang akan membantu pemerintah kolonial menjalankan pemerintahan--dalam posisi terbatas--di Hindia Belanda. Gagasan itu kemudian diterima dan dijalankan oleh pemerintah kolonial, walau hanya sampai tahun 1931 saja.12
Kantoor voor Inlandsche Zaken
Kegiatan Husein selain bekerja di Kantoor voor Inlandsche Zaken setelah kepulangannya dari Belanda juga bergerak dibidang jurnalistik dan pendidikan mengenai kebudayaan Jawa. Tahun 1919 Husein mendirikan Java Institut dan menerbitkan majalah bulanan Djawa ditahun 1921. Husein menjadi redakturnya bersama J. Kats, Sam Koperberg, R. Ngabehi Poerbatjaraka dan J.W. Teiler. Tahun 1924, Husein diangkat sebagai guru besar di Recht Hoge School--Sekolah Tinggi Hukum--di Jakarta untuk mata kuliah bahasa Melayu dan hukum Islam.16 Setahun setelah menjadi pegawai di kantor itu (1925), Husein tidak lagi menjabat sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken.17
Karir Husein di Kantoor voor Inlandsche Zaken terbilang baik, ada saja orang-orang Belanda yang selalu menaunginya, walau Snouck sudah pulang ke Belanda, sebut saja beberapa orang disekitar Kern--yang menjelang jabatannya sebagai kepala kantor itu pada tahun 1926 mengajukan Husein sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Orang-orang itu merasa, Kantoor voor Inlandsche Zaken--yang mengurusi urusan orang pribumi yang mayoritas Muslim--tidak pernah dipimpin oleh orang-orang Muslim. Menurut mereka, kantor itu haruslah dipimpin oleh orang Muslim uyang tentunya mengerti banyak mengenai Islam.18
Kantoor voor Inlandsche Zaken pada dua dasawarsa pertama memainkan peranan yang cukup baik di Hindia Belanda. Dua dasawarsa itulah masa keemasan kantor itu. Setelahnya, kantor itu tidak lebih daripada sebagai tempat pengaduan saja. Parahnya, pegawai yang ada tidak memiliki keahlian untuk menanggapi pengaduan tersebut. Disisi lain Bousquet--orang diluar Kantoor voor Inlandsche Zaken--mengkritik bahwa Kantoor voor Inlandsche Zaken terlalu menitikberatkan pada masalah Islam semata. Karenanya, dalam sidang Volksraad, para adviseur-nya bahkan juga Kantoor voor Inlandsche Zaken sempat menjadi pembicaraan dalam sidang dewan rakyat yang nyaris tidak merakyat itu.19
Penikamat politik Etis
Max Havelaar baru saja meneriakan kekejaman tanam paksa di Jawa. Orang-orang dinegeri Belanda-pun tersentak, termasuk kaum liberal Belanda, ramai-ramai mengutuki sistem buatan van den Bosch itu. Muncullah van Deventer, sebuah perubahan tingkat elit feodal tanah jajahan mulai bergulir, sekolah model barat mulai dibuka untuk bumiputra kelas atas. Sekolah yang akan membawa mereka ke barat.
Tersebutlah seorang bupati Banten,
kemajuan barat ingin pula diraihnya lewat anak-anaknya. Bupati itu tidak
lewatkan kesempatan dari pemerintah kolonial itu. Sepertihalnya bupati
Jepara diakhir abad XIX, ayah Kartini dan Sosrokartono, menyekolahkannya
anak-anaknya ke sekolah model Belanda. Kedudukan bupati adalah tiket
bagi anak-anak untuk dapat sekolah dasar di Europe Lager School selama tujuh tahun, lalu melanjutkan
selama tiga atau lima tahun di sekolah menengah, Hogare Burger School (HBS).
Hoesein
Djajadiningrat salah satu anak bupati itu. Terlahir di Banten pada 8
Desember 1886.1 Nama lengkapnya adalah Pangeran Aria Husein
Djajadiningrat. Lahir di Kramat Waru, sebuah distrik diantara Serang
dengan Cilegon Banten. Beruntung ayahnya berpandangan maju hingga bisa
merasalkan pendidikan modern.2 Husein salah satu anak bupati Banten yang mengecap
pendidikan barat sampai tingkat Hogare Burger Schoool--sekolah menengah lima tahun dan
bila lulus bisa meneruskan ke universitas. Model sekolah sekolah yang hanya
bisa dinikamti segelintir anak pembesar pribumi sampai awal abad XX.
Sekolah kalangan terbatas itu juga dinikmati saudara-saudara Husein,
Ahmad dan Hasan.3
Kakak Husein, Pangeran Ahmad Djajadiningrat kemudian
menjadi seorang bupati di Serang dan Hasan menjadi tokoh Sarekat Islam
berpengaruh di Jawa Barat diawal pergerakan nasional--sebelum kahirnya
meninggal di tahun 1920. Ahmad dan Husein menjadi murid Snouck Hurgronje--sang
etisi paling berpengaruh Hindia Belanda diawal abad XX. Setidaknya ada
enam orang--termasuk Husein--anak bupati Serang yang lulus HBS. Diantara
semua saudaranya itu, Husein-lah yang berhasil mencapai tingkat doktor
di Leiden, Belanda.4 Keluarga ini berusaha menyekolahkan anaknya di sekolah Belanda yang mayoritas siswanya adalah orang-orang Belanda. Kakak Husein, Ahmad bahkan pernah menggunakan nama Willem van Banten agar bisa memasuki HBS, ketika kesempatan orang pribumi untuk bersekolah disitu belum terbuka dengan baik.5
Indolog Pribumi
Sekitar pergantian abad XIX ke XX, Indonesia, kala
itu masih bernama Hindia Belanda masih berada dalam kekuasaan kolonial
Belanda. Segala sesuatu di tanah ini nyaris hanya diketahui oleh orang-orang
non pribumi. Akademisi Belanda berdatangan, dalam jumlah kecil, ke Hindia
Belanda. Mereka menggali dan mempelajari banyak hal mengenai tanah Hindia.
Mereka, akademisi barat itu, meramu apa yang mereka pelajari dari tanah
Hindia menjadi apa yang disebut Indologi, sebuah disiplin ilmu wajib
bagi calon pegawai kolonial kulit putih yang ingin jadi Meneer di tanah Hindia.
Tercatat nama besar Snouck Hurgronje
diantara deretan akademisi Belanda itu. Orang yang berjasa besar
bagi perkembangan kolonialisasi Belanda di Hindia. Jiwa akademisi Snouck
ikut pula menghancurkan eksistensi sebagai sebuah negeri merdeka , Aceh
yang terus bergolak. Snouck adalah penasehat pemerintah kolonial untuk
urusan pribumi Hindia. Snouck cukup akrab dengan aristokrat lokal macam
Bupati Djajadiningrat. Semua anak-anak bupati mengenalnya, apalagi Husein.
Atas anjuran Snouck, selulusnya
dari HBS Husein berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pelajarannya.
Awalnya belajar bahasa latin dan Yunani Kuno antara tahun 1904-1905
di sebuah Gymnasium kota Leiden, lalu ikut ujian masuk Universitas Leiden.
Husein lulus diterima dan menjadi mahasiswa calon sarjana pada jurusan
bahasa dan sastra kepulauan Indonesia.6 Husein tidak berhenti pada tingkatan sarjana namun
terus sampai tingkat Doktor. Husein merasa tertarik dengan ilmu sejarah,
dia berniat melihat tanah Hindia, yang juga tanah kelahirannya dengan
kacamata historis. Minat Husein pada Sejarah Aceh berkembanag ketika ikut serta dalam lomba menulis tentang kesultanan Aceh. Kesultanan yang pernah ikut dihajar oleh Snouck Hurgronje lewat nasehatnya pada pemerintah kolonial. Sebelum merampungkan disertasinya, Hoesein pernah mengikuti sayembara menulis pada tahun 1908 di Universitas Leiden. Tulisannya berjudul Critisch Overzicht van de Maleische Werken Vervatte Gegevens van het Sultanaat van Aceh, dimuat di BKI deel 65 dan terbit tahun 1911.7
Sebelum ikut menulis itu, Husein terlebih dahulu meneliti naskah-naskah Melayu. Usaha yang tidak sia-sia, setidaknya bagi bumiputra macam Husein budaya Melayu tidak jauh dari dirinya sebagai orang Banten penganut Islam. Husein akhirnya menang.
Atas kemenangan itu Husein mendapatkan hadiah Medali. Ternyata orang Asia tidaklah terbelakang dan Husein bukanlah Sickman Asia. Setelah kemenangan itu Husein terjun semakin dalam menggali sejarah dan kebudayaan Hindia, khususnya Aceh selama beberapa tahun sebelum beralih pada daerah lainnya.
Sejak Mei 1914 sampai April 1915, Husein mulai mempelajari lebih dalam bahasa Aceh untuk membuat kamus bahasa Aceh-Belanda. Hasil kerjanya berupa Atjeh-Nederlandsche Wordenboek. Kamus itu lalu diterbitkan tahun 1934. Kamus ini dinilai sebagai kamus bahasa daerah terlengkap selama beberapa dekade. Tida heran jika Snouck Hurgronje kagum pada Husein. Bahkan dianggap memiliki reputasinya sama hebatnya sebagai Indolog dengan sang guru.
Kehidupan mahasiswa Husein ditutup dengan disertasinya mengenai sejarah Banten, tanah tempat dia lahir, tanah dimana keluarganya dijunjung. Husein sendiri, dalam sejarah pendidikan modern Indonesia, adalah orang pertama yang mempertahankan disertasi-nya di Universitas Leiden, tahun 1913, dengan judul: Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis Tentang Sejarah Banten). Karena disertasinya itu, Hoesein di anggap sebagai pengganti Brandes, orang Belanda yang ahli keperubukalaan Jawa.8
Prof. H. Kern, salah seorang kolega Snouck Hurgronje, sangat memuji disertasi Husein itu. Terlihat dalam resensinya pada majalah De Gids di negeri Belanda. Kepada Husein, Kern sangat berharap agar ada lagi karya-karya Husein Djajadingrat yang lainnya setelah disertasinya itu.9
Disertasi itu lalu diterbitkan oleh Jon Enschede tahun 1913 di Haarlem. Pada halaman 201-212, Hoesein mengatakan bahwa bagi orang Jawa ramalan atau mimpi menandakan sesuatu atau memberikan suatu kesan yang mendalam.10 Bertindak sebagai promoter Hoesein, adalah Snouck Horgronje.
Jadilah Husein seorang Indolog tingkat dokter pertama bagi orang pribumi. Tidak hanya doktor Indologi pertama, tapi juga Doktor pribumi pertama lulusan Universitas Leiden yang menyimpan banyak bahan mengenai Indonesia itu. Karya tulis Husein termasuk disertasinya adalah sumbangan orang pribumi mengenai kajian tentang Hindia yang lebih didominasi oleh orang-orang Belanda. Husein telah mensejajarkan dirinya dengan mereka, orang-orang Belanda orientalis itu.
Karya-karya Husein sebagai Indolog antara lain; De Magische Achtergrond van de Maleische Pantoen yang merupakan pidato ilmiah pada tanggal 28 Oktober 1933, saat acara ulang tahun Recht Hoge School ke 9. karangan Husein tentang Islam adalah De Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaansche Wet en het Geetesleven der Indonesische Mohammedaanen, juga pidato ilmiah Husein. Pada perguruan tinggi yang sama pada tahun 1925, ketika perguruan tinggi itu baru setahun.11 Semuanya dihasilkan oleh Husein ketika dia sudah berada di Indonesia.
Ada sisi baik dari suksesnya studi Husein mengenai Indologi di Leiden dengan predikat camme laude. Pemuda Indonesia ternyata bisa meraih prestasi akademik. Gagasan untuk mendidik kader pribumi, macam Husein Djajadiningrat, sekelompok kader yang akan membantu pemerintah kolonial menjalankan pemerintahan--dalam posisi terbatas--di Hindia Belanda. Gagasan itu kemudian diterima dan dijalankan oleh pemerintah kolonial, walau hanya sampai tahun 1931 saja.12
Kantoor voor Inlandsche Zaken
Husein akhirnya kembali ke Indonesia,
setelah lebih dari sepuluh tahun di negeri Belanda belajar tentang tanahnya,
Hindia, tanah yang asing bagi anak-anaknya. Mungkin tidak bagi Husein
Djajadiningrat. Selama di Indonesia , Husein tetap bergelut di dunia
ilmu pengetahuan. Setamat dari Leiden, awalnya Husein bekerja sebagai
peneliti bahasa-bahasa di Indonesia pada Kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor Urusan Bumiputra) sampai
tahun 1918. Sejak 19 Mei 1920 sampai dengan tahun 1925, Husein
bekerja sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche
Zaken (Ajun/wakil penasehat urusan
pribumi Hindia Belanda) pada kantor yang sama.13
Kantor tempat Husein bekerja, Kantoor voor Inlandsche
Zaken, berdiri sejak tahun 1899 oleh Snouck Hurgronje, pelindung Husein
juga. Kantor ini diisi oleh banyak orang antara lain ahli agama Islam,
bahasa sastra maupun bahasa. Beberapa orang Belanda terkemuka yang pernah
duduk dikator ini adalah G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes, R.A. Kern, E. Gobee,
G.F. Pijper juga Charles van Der Plas.14
Setelah Snouck Hurgronje kembali ke Belanda tahun
1906, ditunjuklah Hazeu sebagai pengganti untuk mengurusi permasalahan
yang dihadapi pemerintah kolonial terhadap orang-orang pribumi. Hazeu
dan beberapa orang lainnya adalah orang yang peduli dan sedang mengawasi
pendidikan beberapa anak bumiputra, termasuk pada Alimin--salah satu
anak angkat Hazeu yang belakangan menjadi tokoh PKI terkemuka di Indonesia.15 Kegiatan Husein selain bekerja di Kantoor voor Inlandsche Zaken setelah kepulangannya dari Belanda juga bergerak dibidang jurnalistik dan pendidikan mengenai kebudayaan Jawa. Tahun 1919 Husein mendirikan Java Institut dan menerbitkan majalah bulanan Djawa ditahun 1921. Husein menjadi redakturnya bersama J. Kats, Sam Koperberg, R. Ngabehi Poerbatjaraka dan J.W. Teiler. Tahun 1924, Husein diangkat sebagai guru besar di Recht Hoge School--Sekolah Tinggi Hukum--di Jakarta untuk mata kuliah bahasa Melayu dan hukum Islam.16 Setahun setelah menjadi pegawai di kantor itu (1925), Husein tidak lagi menjabat sebagai Adjunct Adviseur voor Inlandsche Zaken.17
Karir Husein di Kantoor voor Inlandsche Zaken terbilang baik, ada saja orang-orang Belanda yang selalu menaunginya, walau Snouck sudah pulang ke Belanda, sebut saja beberapa orang disekitar Kern--yang menjelang jabatannya sebagai kepala kantor itu pada tahun 1926 mengajukan Husein sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Orang-orang itu merasa, Kantoor voor Inlandsche Zaken--yang mengurusi urusan orang pribumi yang mayoritas Muslim--tidak pernah dipimpin oleh orang-orang Muslim. Menurut mereka, kantor itu haruslah dipimpin oleh orang Muslim uyang tentunya mengerti banyak mengenai Islam.18
Kantoor voor Inlandsche Zaken pada dua dasawarsa pertama memainkan peranan yang cukup baik di Hindia Belanda. Dua dasawarsa itulah masa keemasan kantor itu. Setelahnya, kantor itu tidak lebih daripada sebagai tempat pengaduan saja. Parahnya, pegawai yang ada tidak memiliki keahlian untuk menanggapi pengaduan tersebut. Disisi lain Bousquet--orang diluar Kantoor voor Inlandsche Zaken--mengkritik bahwa Kantoor voor Inlandsche Zaken terlalu menitikberatkan pada masalah Islam semata. Karenanya, dalam sidang Volksraad, para adviseur-nya bahkan juga Kantoor voor Inlandsche Zaken sempat menjadi pembicaraan dalam sidang dewan rakyat yang nyaris tidak merakyat itu.19
Dimata orang-orang Pribumi, Kantoor voor Inlandsche Zaken sering dianggap sebagai kantor
mata-mata. Tuduhan itu berlebihan, seolah memposisikan Kantoor voor Inlandsche Zaken tidak ubahnya dengan Politieke
Intellingen Dienst (PID)--polisi politik Belanda yang rajin mengawasi
ruang gerak kaum pergerakan. Alasan tuduhan itu dikarenakan orang-orang
dari Kantoor voor Inlandsche Zaken kerap hadir dalam pertemuan yang
dihadiri orang-orang pergerakan, seperti hanya PID. Ditengah kritik
dari berbagai pihak kantor ini mampu bertahan sejak dipimpin oleh Snouck
Hurgronje sampai menyerahnya Hindia Belanda pada Tentara Pendudukan
Jepang.20
Husein Djajadiningrat Dengan Kaum
Pergerakan
Sayang, Husein tidak bertahan lama di kantor itu.
Dirinya hanya bisa menjadi wakil saja tanpa bisa menjadi penasehat pemerintah
kolonial di Hindia Belanda. Entah apa yang akan dilakukan oleh Husein
jika dirinya menjadi penasehat. Apapun alasannya, pemerintah kolonial
tidak menginginkan orang pribumi masuk terlalu dalam pada jajaran birokrasinya,
kendati orang pribumi yang bersangkutan adalah orang kompeten mengenai
masalah yang terjadi di tanah Hindia Belanda. Dimanapun kaum kolonialis
sejati takut perubahan
Setelah menjadi tenaga pengajar yang cukup prestisius
di RHS, Husein pernah menjabat 'Ketua Panitia Perbaikan Peradilan Agama”
sejak 1934. Hasil kerja Husein dan tim-nya adalah didirikannya 'Mahkamah
Tinggi Islam' pada tahun 1937. Figur Husein kahirnya makin bersinar
pada tahun 1935, Husein diangkat menjadi anggota Raad van Nederlandsche Indie (Dewan Hindia). Lima tahun kemudian,
1940, diangkat sebagai direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah. Tahun
1941 sampai dengan 1946, Husein diangkat lagi menjadi Raad van Nederlandsche Indie.. 21 Tentunya jabatan itu hanya dipangku sampai 8 Maret
1942 karena Hindia Belanda menyerah tanpa syarat Jepang.
Husein selalu berusaha memperhatikan perkembangan
pendidikan di Hindia Belanda. Dia pernah melaporkan diantara putra raja
hanya Pengeran Hadiwidjojo-lah yang menaruh minat pada pengetahuan mutakhir
dunia yang sedang berkembang.22 Pemuda pelajar dari Jong java pernah datang pada
Husein, yang sudah menjadi doktor dalam bidang sastra timur dan
Indologi, untuk meminta saran sebuah vandel.23 Posisinya sebagai direktur Departemen Pengajaran
dan Ibadah diakhir kolonialisasi Hindia Belanda, memberinya kesempatan
lebih untuk itu, kendati dalam waktu singkat dan hasil yang tidak terlalu
signifikan.
Husein digolongkan sebagai intelektual terkemuka
diakhir kolonialisasi Belanda di Indonesia.24 bersama Thamrin dan Koesoemo Oetojo, Husein membuat
rencana tentang penggunaan kredit dari Bank-bank Jepang untuk membangun
perusahaan dagang di Jepang bagi Importir dari Indonesia.25 Peran Husein Djajadingrat dalam pergerakan nyaris
tidak terlihat, termasuk dalam kaum koperatif sendiri. Posisinya sebagai
birokrat sebenarnya pernah menyelamtkan kaum pergerakan, seperti perlindungannya
pada Douwes Dekker yang selalu dicurigai berskongkol dengan Jepang oleh
aparat hukum kolonial.
Douwes Dekker pernah diminta menyampaikan pada Husein
sebagai direktur Pendidikan untuk mengadakan survey Ekonomi untuk kepentingan
Jepang diakhir kekuasaan Belanda.26 Rupanya Dekker selamt karena Husein Djajadiningrat-lah
yang memberikan izin survey itu.27 Husein hadir saat Thamrin dimakamkan--setelah kematian
Thamrin sebagai tahanan rumah saat Thamrin masih menjadi anggota Volksraad.
Ini bukti bahwa Husein memiliki keterkaitan dengan pergerakan nasional,
terlepas dari besar kecilnya peran dia dalam pergerakan.
3
John Legge, Kaum
Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993. h. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar