"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Kamis, September 30, 2010
Ranukumbolo Fun Tracking
Sabtu, 18 September 2010
Hari yang kami tunggu telah tiba. Meski diiringi hujan, kami tetap meninggalkan Jogja juga menjelang malam. Tentu saja dengan sebuah apel kecil penuh makna dari kawan-kawan Madawirna—begitu nama komunitas mahasiswa pecinta alam bekas kampus saya, UNY.
Kami meninggalkan Jogja dengan sebuah bis AC tujuan Surabaya. Suasana lebaran menguras kantong kami. Kami harus bayar tiket sedikit lebih mahal dari biasa. Sekitar pukul 21.00 lewat banyak bis kami meninggalkan Jogja.
Rombongan kami berjumlah 14 orang. Beberapa diantaranya, tidak berstatus sebagai mahasiswa. Namun masih berjiwa muda tentunya. Masih suka menikmati alam. Awal perjalaan, rombongan kami adalah pembuat gaduh di bis. Dengan nyanyian tidak jelas tentunya. Setelah itu, kami tertidur pulas beberapa jam hingga mendekati Surabaya.
Minggu, 19 September 2010
Hari masih gelap ketika bus kami tiba di Surabaya. Turun dari bus, kami menggendong carrier kami yang besar. Orang awam pasti bisa menebak kami tukang naik gunung. Kami tidak langsung mencari bus tujuan Malang. Kami singgah ke kamar kecil dahulu.
Setelah urusan dengan kamar kecil selesai, kami lalu mencari bis AC ke Malang. Ketika meninggalkan Surabaya, Matahari mulai terlihat perlahan. Sebagian dari kami melanjutkan tidur, namun ada juga yang menikmati pemandangan di sepanjang yang kami lewati. Salah satu pemandangan itu tentunya danau baru hasil karya tak terduga dari Lapindo di daerah Porong.
Sampai Malang, kami naik mikrolet ke Tumbang. Menuju sebuah homestay yang cukup nyaman disinggahi. Disini kami bersiap, melengkapi isi carrier, makan, mandi dan gosok bagi yang terbiasa.
Selesai bersiap dan isi perut. Kami naik sebuah hardtop yang berisi 15 orang termasuk supir dan carrier kami tentunya. Perjalanan kami menuju Ranupane—desa terakhir menuju Semeru—memakan waktu sekitar 2 Jam. Kami menyematkan diri sebentar ke kantor pengelola Taman Nasional semeru-Bromo-Tengger. Setelah itu jalan lagi. Sampai Ranupane pimpinan rombongan mengurus perizinan. Setelah itu, kami bersiap, berdoa lalu mulai berjalan.
Jalur menuju puncak Mahameru, terbilang menyenangkan namun cukup panjang. Butuh waktu maksimum 10 jam perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak dari Ranupane.
Awalnya kami bisa berjalan bersama-sama tanpa ada yang tertinggal. Namun, pelan-pelan rombonaan terbagi. Saya termasuk yang tertinggal di belakang. Jujur saja, saya tidak sekuat kawan-kawan Madawirna yang baru beberapa tahun bergabung. Mereka jauh lebih muda dari saya. Mereka, harus saya akui, jauh lebih terbiasa naik gunung di banding saya.
Dalam perjalanan di hari pertama ini, kami sering berpapasan dengan pendaki lain yang sedang turun gunung. Kami dengar, mereka tidak dapat mencapai puncak Mahameru karena hujan yang sering turun. Banyak pendaki merasa kecewa dengan perubahan cuaca ekstrim di Semeru. Cuaca memang tidak lagi bisa ditebak seperti dulu. Kami semua bisa memakluminya.
Dalam perjalanan, kami melihat satwa primate yang disebut lutung. Kelompok terakhir, hanya melihat dua ekor saja. Binatang liar itu tidak mengganggu kami. Hanya menonton dari atas dahan. Kami pun berhent berjalan dan balik menonton sang lutung. Kami saling bertukar pandang sebentar. Sebelum akhirnya lutung itu pergi dengan begitu aktraktifnya. Berpindah-pindah seperti Tarsan.
Kami, kelompok terakhir makin tertinggal dari kelompok depan. Kami terlalu menikmati perjalanan. Kelompok pertama berhasil mencapai Ranukumbolo sebelum senja. Kami harus merasakan gelap di jalan dan harus emakai senter. Dan saya dengan senter pinjaman, karena tidak membawa senter.
Setelah merasakan gelap di jalan sekitar 1 jam. Akhirnya kami, kelompok terakhir, melihat cahaya dari kejauhan. Kami yakin, Ranukumbolo sudah di depan. Untuk mencari kawan-kawan yang pertama tiba kami harus mengitari seperempat danau. Melelahkan juga.
Belum sampai tenda yang dibangun tim pertama, hujan turun. Dan beberapa meter sebelum tiba di tenda hujan pun turun makin deras. Segera carrier saya dibongkar untuk membangun tenda.
Lelah, basah dan tentu saja lapar melanda kami. Untung saja, kawan-kawan yang lebih dulu tiba sudah memasak beberapa waktu sebelum kelompok terakhir alias tim hore. Dan makanan pun juga nikmat. Saya tidak rasakan lagi apa rasanya. Tetap nikmat disantap pastinya. Setelah makan, kami menyuruput coklat panas. Dan acara naik gunung kali ini makin nikmat saja.
Dingin, hujan dan tentu saja karena sudah malam, kami memantapkan diri untu tidur. Meski sebagian tenda bocor. Tetap saja kami tertidur, meski terbangun juga tengah malam untuk menyeruput kopi. Setelah itu tidur lagi setelah melewati hari minggu panjang yang seru.
Senin, 20 September 2010
Hari mulai terang ketika hujan masih belum reda. Hujan membuat kami terus makan dan minum minuman hangat. Dan kami semakin malas saja bergerak. Hari ini hujan turun berkali-kali.
Hujan membuat peralatan dan pakaian kami basah. Karenanya kami memutuskan menunggu cerah agar bisa mengeringkan pakaian dan peralatan kami. Rencana hari ini adalah beragkat menuju Kalimati. Jika cerah. Namun kami tidak mendapat cerah yang kami tunggu.
Baru saja berkemas dan memindahkan posisi tenda ke pondokan yan agak besar dan bebas hujan, ternyata hujan deras datang lagi. Kami terpaksa batal berangkat ke Kalimati. Hujan deras ini membuat saya separuh frustasi. Dan saya putuskan untuk bertahan saja di Ranukumbolo. Saya pun tidak peduli lagi dengan rencana muncak di Mahameru.
Beruntung, Ranukumbolo mempesona saya.
Selasa, 21 September 2010
Kawan-kawan memutuskan traking ke Kalimati. Tidak sampai puncak. Saya memutuskan bertahan di Ranukumbolo saja. Bersama Mr Bag—salah satu sesepuh rombongan selain Mas Paryono. Saya lebih tertarik pada Ranukumbolo siang itu. Saya tidak peduli pada apapun.
Pagi itu saya sempatkan menaiki sebuah tanjakan. Hanya sekedar olahraga pagi. Saya menaiki tanjakan itu seperti orang berlari dengan nafas tersengal-sengal. Dengan bersusah payah sampai juga diatas. Setelah itu saya menengok ke belakang dan menikmati indahnya Ranukumbolo. Air beningnya, terlihat menyala di tanjakan yang biasa disebut Tajakan Cinta itu. Nama yang aneh dan menggelikan.
Hanya ada sedikit orang hari ini di Ranukumbolo. Hanya ada sedikit pendaki berlalu-lalang. Ada yang berwajah cerah karena bisa mencapai puncak. Tidak seperti pendaki yang saya temui tempo hari.
Setelah kawan-kawan pergi traking, saya dan Mr Bag memulai agenda kami, memasak. Nasi dan sayur—yang entah apa namanya—hari itu harus kami buat sebelum kawan-kawan kembali dari trakingnya. Kami bergerak cepat. Hari ini saya seperti ibu-ibu, mengupas kentang dan memotong sayuran lalu memasaknya. Selain memasak, kami juga harus mencuci alat-alat makan dan masak. Air di botol-botol pun kami isi. Seelum jam 1 semua beres. Saya dan Mr Bag bebas menimati danau.
Hari itu, orang-orang seperti emilih menjauh dari Ranukumbolo yang indah. Saya makin senang. Artinya hari itu Ranukumbolo milik saya siang itu. Mungkin bersama dengan Mr Bag. Sebenarnya saya tidak rela berbagi dengannya, tapi mau bagaimana lagi?
Saya duduk di kursi sambil memegang alat tulis. Mungkin seperti penyair. Tapi saya bukan penyair dan saya tidak seproduktif dulu dalam menulis puisi. Seperti zaman SMA atau awal-awal kuliah. Menulis puisi gombal picisan saja tak mampu.
Ketika saya duduk di bibir danau, seekor burung yang entah apa namanya, mendeketi saya. Burung itu nampak berani, hingga jarak saya dengannya 2 meter saja. Tidak seperti biasanya ada burung sedekat itu dengan saya. Dan kicau burung seharian saya dengar di Ranukumbolo. Pengalaman menyenangkan tentunya. Kabut berkali-kali melewati Ranukumbolo dengan cepat.
Meski tidak bisa mencapai Mahameru, saya tidak sedih. Meski Mahameru belum memberi damainya, namun Ranukumbolo membuat saya damai. Saya merasa nyaman tanpa gangguan. Benar-benar tanpa tekanan. Itu yang saya rasakan. Di dunia ini, damai tersisa di tempat sepi yang jauh dari jangkauan kebanyakan manusia.
Di sekitar Ranukumbolo, terdapat beberapa nisan. Sebagai peringatan pada pendaki yang tewas dalam pendakiannya. Mereka seperti Soe Hok Gie, yang wafat disekitar Mahameru karena terhisap gas beracun bersama Idhan Lubis 16 Desember 1969.
Seperti juga Gie, pendaki-pendaki yang dinisankan itu juga mati muda juga seperti Gie. Muda adalah masa dimana seseorang begitu polos dan naïf menjalani kehidupan. “Masa muda, masa yang berapi-api,” kata haji Rhoma Irama dalam lagunya darah Muda. Pernah ada yang berpendapat, mati muda adalah keberuntungan. Entahlah mereka yang mati di gunung adalah manusia muda beruntung barangkali.
Rabu, 22 September 2010
Ini hari terakhir di Ranukumbolo. Tempat saya bisa tidur nyenyak. Makan nikmat seadanya. Menjadi menusia damai. Dan entah apalagi. Dengan berat hati, Ranukumbolo harus kami tinggalkan.
Setelah berkemas, pagi itu juga kami berfoto dipinggir danau. Juga dengan latar Tanjakan Cinta. Selesai berfoto, kami mulai berjalan. Saya pun dengan berat hati menoleh danau indah ini. Ini adalah tempat menunggu paling indah. Selama masih ada cadangan makanan tentunya.
Bagaimanapun kami harus pergi dari Ranukumbolo. Dengan carrier dipunggung, kami melewati jalan yang kami lewati ketika pergi. Tiga hari tinggal di Ranukumbolo membuat saya berkhayal. Dimana saya ingin sekali memiliki Ranukumbolo dan sekitarnya. Entah bagaimana caranya!? Saya akan buat aturan baru, tidak ada orang yang boleh melihat dan menikmati Ranukumbolo kecuali saya. Ya khayalan yang serakah juga.
Butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan dari Ranukumbolo ke Ranupane. Sampai Ranupane, kami singgah sebentar di Ranuregulo.Sisa waktu sebelum ke Surabaya, kami gunakan mengunjungi Bromo. Perjalanan dari Ranupane menggunakan mobil hardtop yang mengantar kami kemarin. Perjalanan ke Bromo seperti offroad. Jadi cukup seru. Perjalanan pulang dari Ranukumbolo diiringi hujan juga hingga Tumpang.
Meski gagal ke Mahameru, perjalanan tetap menyenagkan dan saya masih ingin mengulangnya lagi. Suatu hari...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar