Selasa, September 03, 2013

Di Leang-leang bersama murid-murid

Tak lengkap rasanya jika melupakan gua Leang-leang untuk dikunjungi. Setelah 3 tahun, akhirnya saya melihat lagi lukisan purba di dalamnya.
Museum samping istana Balalompoa
Museum samping istana Balalompoa
Meski lelah, jadi backpacker jelas seru. Sabtu siang, saya baru turun dari Malino. Sekedar mengamati kota mungil di timur Makassar. Sekedar menyinggahi sebuah gereja kecil yang dulunya pernah dilangsungkan konferensi Malino pada 1946. Setelah mencari dan salah tempat, saya akhirnya temukan tempat itu. Lalu mengambil gambar dengan ditemani beberapa suster yang manis-manis. Dari gereja mungil itu lalu ke sebuah makam yang tampaknya telah berubah tugunya. Dari Malino saya langsung ke Balalompoa, sekedar cari informasi soal kacamata seorang sahabat yang tertinggal disana. Hasilnya tidak meyakinkan.
para manusia gua
para manusia gua
Esok paginya, saya penuhi janji untuk jalan-jalan ke Bantimurung. Jauh hari sebelumnya, saya pernah berjanji kepada murid-murid di sekitar Makassar untuk jalan-jalan ke Bantimurung. Tapi sebelumnya saya ingin singgahi sebuah gua purba di desa Leang-leang yang tak jauh dari Bantimurung. Semua sepakat dengan rencana saya. Kami naik pete-pete (sebutan angkot bagi orang-orang Makassar) dari jalan poros dekat Bandara. Beruntung dapat pete-pete yang ternyata supirnya adalah penduduk Leang-leang juga. Setelah melewati sebagian kota Maros, kami melewati daerah penuh sawah di kanan dan kiri jalannya. Sebelum Bantimurung, kendaraan belok kiri, masuk ke gua Leang-leang.  
Lukisan dinding di gua Leang-leang
Lukisan dinding di gua Leang-leang
Begitu sampai di loket dan pintu gerbang kami langsung menuju gua dengan berjalan kaki menyusuri taman hijau yang dipenuhi batu-batu yang mirip batu di tepi laut. Bukan batu Andesit. Taman ini disebut Taman Purbakala. Dulunya, mungkin ratusan ribu tahun silam, daerah ini adalah laut. Untuk mencapai gua, kami harus naik tangga besi yang disediakan pengelola tempat wisata yang memungut Rp 10.000 sekali masuk bagi wisatawan.
Akhirnya, pemandangan yang kami tuju pun di depan mata. Sebuah lukisan dinding buatan manusia purba. Sebuah gambar babi rusa disertai beberapa telapak tangan manusia. Ukuran telapak tangan tak jauh beda dengan telapak tangan manusia sekarang. Kata penjaga gua, lukisan itu memakai bahan pewarna dari tumbuh-tumbuhan yang ada di zaman purba, yang mungkin tumbuhan itu sudah punah.
Di dalam gua
Di dalam gua
Sudah pasti kami ambil foto sepuasnya di dalam gua. Untungnya, tak ada biaya masuk untuk kamera di tempat ini, seperti halnya banyak tempat di Jogja yang sudah kenakan biaya tambahan jika membawa kamera. Selesai berfoto di gua, kami turun dan berfoto di taman purbakala. Sementara anak-anak berfoto, saya mencari jejak Kjokenmodinger(sampah dapur). Saya agak lupa dimana tempatnya, karena sudah 3 tahun tak kunjungi lagi tempat ini. Karena kami tak lama, hanya sekitar satu jam. Kami harus ke Bantimurung untuk bersenang-senang sampai siang. Senang sekali bisa ke tempat ini bersama murid-murid. Dimana pun dan dalam kondisi apapun, bersama mereka penuaan itu serasa mitos. Saya serasa masih 23 tahun.Taman Purbakala
Taman Purbakala

Tidak ada komentar: