"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Jumat, Juni 25, 2010
Sambil Memantau Jalan-jalan di Selayar
Pesta Demokrasi lagi. Kali ini di Selayar. Lagi-lagi bukan sebagai pemilih. Berkali-kali saya sia-siakan hak pilih saya. Saya tidak pernah menyesalinya. Bagi saya, melihat orang lain pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan mencoblos pilihannya, daripada saya mencoblos.
Beruntung saya mendapat kesempatan sebagai pemantau PEMILUKADA (Pemilihan Umum Kepala Daerah). Dimana saya hanya perlu mendatangi TPS, lalu melaporkan hasil perhitungan suara ke Jaringan Suara Indonesia (JSI), melalui SMS saja. Bukan hal sulit. Bahkan lebih terkesan menyenangkan buat saya. Melihat orang berbondong datang ke TPS dan mencoblos pilihannya, sebagai ujud peran serta mereka dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi tentunya. Sayangnya saya terlambat datang ke TPS.
Namun bagaimanapun, hal yang membaut saya senang adalah saya bisa berkeliling Selayar. Saya tidak peduli dengan politik. Disini saya hanya memantau pemilu dan tidak perlu pusing dengan para kandidat pemilu. TPS bisa menjadi ajang silaturahmi bagi banyak orang. Dimana mereka bisa bertemu dan bersenda-gurau. Meski mereka punya pilihan berbeda dan berpotensi pada konflik. Hal terpenting ketika saya memantau PEMILUKADA adalah saya bisa belajar sedikit tentang orang-orang Selayar yang sebenarnya heterogen dimasa kini. Selayar adalah daerah wisata laut yang cukup menarik dan mulai dikembangkan, seperti Taka Bonerate yang merupakan area menyelam. Sayang saya tidak bisa kesana. Mungkin bukan sekarang.
PEMILUKADA adalah hal yang memungkinkan saya berada disini. Karena dengan menjadi pemantau maka saya diberngkatkan kemari. Karena saya tidak suka politik praktis, untuk saat ini, maka saya enggan bicara politik. Dan catatan ini bukan tntang PEMILUKADA, tapi sedikit catatan tentang Selayar yang baru saya kenal.
Selayar Asing Buat Saya
Selayar, ini adalah sebuah kepulauan yang indah. Saya tidak pernah mengetahui secara pasti letak pulau ini sebyenarnya. Dua minggu terakhir, saya makin sedikit memahami letak geografis Sulawesi Selatan. Saya bahkan tidak pernah memasukannya dalam gambar peta yang saya buat ketika SD dulu. Karena saya hanya mengerti Sumatra, Papua, Sulawesi, Jawa, Madura, Bali dan tentu saja Kalimanatan—tanah dimana saya dibesarkan. Beruntung bisa menjejakan kaki di pulau kecil ini, setelah menjejakan kaki di Sulawesi.
Untuk mencapai pulau ini, dari Makassar kita harus menyusuri beberapa (kota) Kabupaten di selatan provinsi Sulawesi Selatan—seperti Gowa, Takalar, Bantaeng lalu Bulukumba. Semuanya bisa memakan waktu sekitar 6 jam, termasuk istirahat makan di jalan. Di Bulukumba, kita harus menunggu kapal ferry untuk menyebrang di Pelabuhan Bira, Bulukumba. Dari Bira, diperlukan waktu setidaknya sekitar 2 jam untuk mencapai Pulau Selayar.
Kapal biasanya merapt di sore hari dan baru berangkat menjelang senja. Pemandangan sore hari di Bira cukup indah ketika matahari terbenam. Di sore itu tentu saja dipenuhi oleh hiruk-pikuk bongkar-muat kapal yang cukup ramai. Menyebrang menuju Selayar bukan hal mudahr. Gelombang laut yang kencang membuat kapal bergoyang. Itu yang kami rasakan. Berkali-kali kapal oleng. Meski menakutkan, para penumpang umumnya cukup mhiaklum atas kondisi ini.
Setelah dua jam lebih kapal merapat juga. Tidak mudah merapatkan kapal. Karena beberapa mil sebelum daratan pulau Selayar, ada sebuah area dengan gelombang keras. Hal ini tentu mempersulit dan membuat kapal harus berjalan melambung mengitari laut untuk mencapai pelabuhan Selayar. Pengalaman awak ferry menghadapi hal semacam ini, akhirnya membuat kapal merapat juga.
Pusat Kepulauan Selayar adalah daerah Benteng—sebuah kecamatan besar yang dan paling ramai Selayar. Dari pelabuhan, diperlukan waktu sekitar 2 jam perjalan dengan mobil ke Banteng. Angkutan darat di Selayar adalah angkutan mobil yang biasa disebut pete-pete (istilah yang sama dengan yang d kota Makassar) atau ojek. Di pulau ini biaya hidup tinggi, jauh lebih tingggi daripada Makassar. Selayar adalah salah satu daerah wisata laut di Indonesia. Daerah Taka Bonerate adalah area menyelam banyak diminati.
Ini adalah kesekian kalinya saya berada di sebuah daerah, yang mana bahasa dan kultur masyarakatnya tidak saya pahami. Bahasa daearah di Selayar mirip dengan bahasa di Makassar. Meski masyarakat sehari-harinya berbahasa daerah, cukup banyak orang-orang di Selayar bisa berbahasa Indonesia.
Selayar mengingatkan saya pada Nias. Dimana banyak orang Nias yang masih belum bisa berbahasa Indonesia. Sebenarnya hal semacam ini adalah wajar di luar pulau Jawa. Dimana anak-anak kecil hanya bisa menggunakan bahasa daerahnya, karena itulah bahasa ibunya. Seorang anak baru bisa berbahasa Indonesia biasanya menginjak usia 10 tahun, bahkan lebih. Saya tidak alami kesulitan berkomunikasi di Selayar. Karena memang banyak orang Selayar yang bisa berbahasa Indonesia.
Naik Onthel lagi
Di Selayar, kami (rombongan pematau), menginap di rumah Pak Syamsudin, ayah kawan kami Dian yang asli Selayar. Cukup menyenangkan lagi seperti di rumah-rumah dan keluarga yang pernah saya singgahi di Sulawesi Selatan. Semua memiliki keramahan dan keunikannya masing-masing. Dengan Pak Syamsudin, saya cukup nyaman mengobrol tentang Jawa. Dimana Pak Syamsudin pernah tinggal di Bogor dan belajar pertanian di IPB. Obrolan kami pun akhirnya beralih ke onthel. Setelah obrolan Onthel itu saya pun minta izin mempergunakannya esok hari untuk ke TPS.
Dengan onthel pinjaman, saya sedikit bisa menjelahan kecamtan Benteng. Mengingatkan saya pada masa-masa kuliah ditahun 2005 hingga 2007. Dimana saya pergi kuliah ke kampus atau pesiar keliling Jogaj dengan Onthel. Kendaraan yang satu ini memang punya sejarah khusus dengan saya. Sepeda kadang identik dengan orang yang belum mampu membeli sepeda motor. Memang tapi tidak sepenuhnya itu bentuk keprihatinan. Bagaimanapun gaya hidup tidak selalu sepenuhnya dikarenakan isi kantong. Beberapa orang kaya kadang memilih sederhana. Dan mereka juga suka bersepeda.
Kali ini saya bersepeda bukan alasan kondisi ekonomi. Bukan perkara murah saja. Sepeda lebih efektif untuk menyusuri desa-desa di sekitar Benteng. Apalagi onthel adalah kendaraan yang cukup seksi karena unik. Kata Pak Syamsudin, onthel punya daya tarik bagi orang-orang berumur, apalagi yang sudah mapan. Onthel juga pernah jadi raja jalanan yang cukup melegenda. Dan Onthel masih diminati banyak usia, meski pengoleksinya cukup sedikit.
Nekara Raksasa
23 Juni 2010, waktu saya banyak saya habiskan dengan Onthel pinjaman dari Pak Syamsudin. Selain keliling kota, saya kayuh Onthel untuk mencari lokasi gong raksasa berupa nekara perunggu. Nekara itu membuat saya penasaran juga. Malam sebelumnya, sebelum tidur, Pak Syamsudin bercerita pada saya soal nekara raksasa itu.
Karena punya nilai Historis, sudah pasti saya penasaran.
Dan sore itu saya datangi lokasi nekara yang tidak jauh dari sebuah masjid. Tidak jauh dari tempat penyimpanannya yang cukup megah, terdapat rumah juru kunci. Ketika saya mendatangi rumah itu. Sang juru kunci tidak ada. Hanya ada dua gadis muda yang cukup mabnis saya pikir. Pada mereka saya bertanya dimana juru kunci berada. Tapi mereka justru memberi saya kunci tempat penyimapan. Saya heran sekaligus senang. Perjalan yang tidak sia-sia. Tidak apa tidak bertemu juru kunci, karena kuncinya ada dan yang memberi dua orang gadis muda yang manis-manis.
Sayangnya, saya tidak bisa memotret nekara. Pencahayaan kamera HP saya tidak bisa diharapkan. Tidak lama saya datang datang empat pemuda yang juga penasaran dengan nekara tadi. Kami berbincang sambil menganati nekara yang kami pikir sudah tidak asli lagi bentuknya dengan ketika ditemukan. Seperti ada tambalan dan renovasi.
Nekara ini ditemukan oleh seorang petani di Selayar, pada tahun 1600an. Dimana kemudian nekara tadi menjadi pusaka dua kerajaan yang pernah ada di Selayar yakni Pontobangun pada awalnya lalu oleh kerajaaan Matalalang. Benda besar ini cukup menarik dan semoga tidak dicuri. Karena ini adalah harta kolektif orang-orang Selayar.
Ngobrol Dengan Pelaut Phinisi
Di TPS, saya bertemu pemantau dari partai. Wajahnya mirip Abdel (pasangannya Temon dalam sebuah komedi disebuah TV swasta). Kita sebut saja pria ini Abdel. Saya kaget, dia ternyata seorang pelaut tradisonal. Lebih tepatnya dia pelaut di sebuah kapal phinisi. Kapal khas Bugis. Dia adalah turunan Bone. Ayah dan kakeknya adalah pelaut seperti dia juga. Meski tidak terlalu menguntungkan secara ekonomis, darah pelaut mengalir keras ditubuhnya. Dia pernah ke Timor Leste, ketika Negara kecil itu masih NKRI. Tapi dia lebih sering ke Surabaya.
Abdel memberitahu saya sedikit soal Phinisi. Dulunya kapal phinisi diawaki 14 orang. Dimana awak kapal merangkap kuli angkut ketiak kapal bongkar muat. Namun sekarang kapal phinisi bisa diawaki 8 orang saja. Karena kuli angkut sudah disediakan pihak pelabuhan. Tentu saja penghasilan pelaut agak berkurang karena tidak ada kerja angkut-angkut lagi. Kedelapan awk itu terdiri dari nakhoda, tiga petugas kebersihan kapal, tiga juru mesin dan seorang juru masak.
Kapal phinisi kebanyakan dibuat di Bulukumba, Sulawesi Selatan, memang terkenal dalam hal ini. Biasanya kapal bisa dibuat dalam kurun waktu antara enam bulan hingga setahun. Semua kembali dari ada tidaknya bahan baku utama, yakni kayu. Kayu beberapa tahun terakhir memang sulit dicari, pasca naiknya SBY yang memperketat penebangan hutan untuk kayu. Sebuah kebijakan yang membuat kayu menjadi barang langka.
Hingga akhirnya kebudayaan fisik yang dibuat dari kayu semakin langka juga. Banyak rumah adat dari kayu, seperti banyak didapati di luar Jawa, menjadi sulit dibangun karena orang-orang banyak beralih ke rumah batu. Begitu juga dengan kapal-kapal kayu yang menjadi bagian penting budaya maritim Indonesia. Itulah efek buruk kebijakan masa kini. Kebijakan yang merusak sebuah kultur tanpa disadari.
Jatah waktu untuk Selayar dari saya tidak banyak, jadi esok paginya saya harus kembali ke Makassar. Sebuah perjalanan panjang yang diiringi hujan pagi. Namun tidak lama karena laut tampak cerah. Lagi-lagi saya malas mandi sebelum meninggalkan Selayar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Setelah indonesia merdeka ABRI membunuh rakyat sendiri dan saat jajahan belanda perut rakyat tidak lapar,waktu merdeka perut rakyat lapar dan menderita karena yang bener2 merdeka yaitu Soeharto dan sekitarnya.
Saat ini banyak propinsi ingin lepas dari jawa..ACEH MALUKU OPM RIAU dll propinsi.
Gerekan mereka tidak terdengar tapi sangat aktif.
ABRI = Angakatan Bunuh Rakyat Indonesia ..ini singkatan yang ada di rakyat saat ini 2010.
Posting Komentar