Jumat, Agustus 26, 2011

Belajar dari Semaoen

Seorang murid bertanya, kurang lebih begini, “apakah seorang tidak berpendidikan bisa ikut berpolitik?” Entah kenapa pikiran saya melayang pada sosok Semaoen. Betapa tidak, Semaoen hanya lulus sekolah rendah. Dia langsung kerja jadi buruh kereta api. Juga bergabung dalam serikat buruhnya. Serikat buruh rasanya sekolah Semaoen yang sebenarnya. Dia banyak belajar kejamnya penghisapan kolonialisme di Serikat Buruh.

Di usianya yang ke-14 tahun, Semaoen adalah anggota SI Surabaya. Sebelum akhirnya hijrah ke Semarang, pada 1916. Dimana Semaoen menjadi ketua cabang SI Semarang di usianya yang ke 17 tahun. Usia hura-hura untuk pemuda masa kini. Hura-hura Semaoen adalah bersama kaum buruh. Berjuang menuntut keadilan.

Tidak sekolah tak mengapa, tapi belajar tetap bisa dimana saja. Semaoen memang belajar dari siapa saja dan apa saja. Tapi dia punya dua guru hebat setidaknya. Pertama adalah Cokroaminoto, guru bagi pemimpin kaum pergerakan. Yang punya kekuatan dari kaum Islam Indonesia. Cokro adalah pimpinan tertinggi Sarekat Islam yang legendaris itu. Kedua adalah Sneevliet. Orang yang dianggap sebagai nabi bagi kaum komunis Indonesia. Nama Sneevliet sendiri, sengaja dilupakan, dan terlupakan bagi Bangsa Indonesia. Dari Sneevliet, Semaoen belajar bahasa Belanda.

Guru terakhir ini yang paling berpengaruh dari Semaoen. Karena tidak bermental kolonial. Sneevliet pernah keluar dari kantor dagang yang beri dia bayaran besar hanya karena ingin bergiat di serikat buruh dengan pemasukan yang kecil. Semaoen belajar banyak soal politik dari Cokro maupun Sneevliet. Pelajaran yang begitu penting yang membuatnya kesohor sebagai pembela dan pahlawan buruh di Jawa.[1]

Semaoen, diusianya yang baru belasan, bukan lagi sekedar anak ingusan. Tidak hanya berorganisasi yang dia bisa. Tapi juga menulis. Dua pelajaran penting yang tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah Indonesia masa kini.

Semaeon juga mampu ikuti wacana pemikiran. Meski tak sehebat Darsono atau Tan Malaka. Tulisan Semaoen pun tak mengecewakan. Setidaknya dia pernah menulis Hikayat Kadiroen. Semaoen juga menulis untuk surat-kabar. Menulis dan bergerak bersama kaum buruh adalah bentuk partisipasi politik Semaoen dalam melawan politik kolonial dari Hindia Belanda. Kehebatan Semaoen adalah dia menjadi Ketua pertama dari Perhimpunan Komunis Indonesia yang kemdian menjadi Partai Komunis Indonesia.

Nama Semaoen lalu melekat kuat di kalangan buruh. Ketika pemogokan buruh terbesar di Indonesia pada 1923, nama Semaoen disebut. Dia bukan lagi anak Ingusan ketika itu. Semaoen baru saja merasakan kehadiran anak pertamanya di tahun itu. Dia sudah beristri dan masih tetap sebagai aktivis buruh. Namun disekitar masa bahagianya itu, Semaoen ditangkap pemerintah kolonial dari rumahnya di Tegalwereng, Semarang.[2]

Nama Semaoen lalu meredup. Setelah berkelana ke Eropa Semaoen tidak lagi aktif sebagai ketua PKI. PKI mengalami perubahan haluan politik. Yang tahun 1920an independen dari Moskow, menjadi pro Stalin di tahun 1948. Dan pro Mao Ze Dong di tahun 1965. Nama Semaoen hilang. Meski punya jasa pada Indonesia namanya tidak dianggap penting dalam sejarah Indonesia.

Semaoen adalah contoh orang muda Indonesia yang layak dijadikan panutan. Mengapa? Semaoen adalah orang yang bisa belajar dari keterbatasan. Prestasi Semaoen dalam menulis dan berorganisasi layaknya bisa diapresiasi oleh pemuda Indonesia lainnya. Lupakan aroma politis soal kekomunisan Semaoen. Banyak hal positif yang bisa dipelajari darinya.

NB: Dilarang keras menyukai catatan ini! Kritiklah dengan pedas naskah ini!

[1] Tempo edisi 21 Agustus 2011, hlm. 64.

[2] Darmo Kondo, 9 Mei 1923.

Potret Semaoen dalam cover bukunya.

Tidak ada komentar: