Rabu, September 29, 2010

Rumah Kaca Itu Bernama Hindia Belanda



Hampir semua orang pergerakan Indonesia pernah dikuntit Politieke Intelingen Dienst (PID). Pramudya Ananta Toer, pernah menyinggung dalam seri terakhir dari tetralogi Buru, Rumah Kaca. Dimana ada seorang perwira polisi bernama Pangemanan yang rajin menguntit Minke yang hidupnya sudah dihancurkan pemerintah kolonial.
PID pastinya bisa dianggap sebagai badan intelejen pemerintah. Dimana mereka bisa membuntuti siapa saja yang mereka angap berbahaya. Di Zaman Hindia Belanda, kaum pergerakan adalah kaum berbahaya.
PID ada demi menjaga ketentraman pemerintah Kolonial. Pemberontakan tentu sangat dihindari pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karenanya, segala gerak-gerik kaum pergerakan harus terus diawasi
PID Menguntit
Mengawasi kaum pergerakan begitu efektif setelah PID dibentuk. Gagasan pembentukan organisasi ini muncul pada tahun 1914, ketika PD I meletus. PID dibentuk sebagai satu divisi KNIL. Sebuah kantor dinas intelejen pun berdiri di Batavia tahun 1914. Tujuan organiasi ini adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang aktifitas agen Jepang di Hindia Belanda.
Secara resmi PID baru berdiri pada 6 Mei 1916. Dengan fungsi lebih luas dibandingkan satu divisi KNIL. Mengawassi dan mengontrol organisasi pergerakan radikal adalah salah satu tugas utamanya. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan kantoor voor Chineesche Zaken, Adviseur voor Inlandsch Zaken en Arabische Zaken. PID memusatkan perhatian pada organisasi dan peristiwa yang sama.
Semasa PD I berakhir, secara khusus PID memusatkan perhatian pada SI dan ISDV. Setelah itu aktifitas PID berhenti sementara pada 1919. Namun tidak lama setelah itu Jaksa Agung menulis surat pada Gubernur Jenderal agar PID diaktifkan. Ini dikarenakan, si Jaksa melihat, gerakan-gerakan kebangkitan akan meluas.
Data untuk mengkualifikasikan orang orang atau organisasi dianggap membahayakan rust en orde sangat diperlukan. Selain itu, dibentuk pula badan baru dalam dinas kepolisian dengan fungsi intelejen pada 1919 yang bernama Gewestelijke Recherche Bureau. Sebagaian besar anggota badan ini adalah bumiputra. Pada 1930, ketika dikonsolidasikan GRB telah beranggotakan 800 orang pribumi yang tersebar dalam 100 lokasi berbeda di Jawa dan Madura.
Selain badan-badan tadi, di tubuh kejaksaan juga terdapat badan intelejen sendir yang bernama Algemene Recherche Dienst. Organisasi ini keberadaannya tidak ada pemberitahuan resminya.
PID pastinya membayangi gerakan kiri yang rajin mogok dan melakukan mimbar bebas pada decade 1920an. Tindakan anarkis kaum kiri ini gagal oleh PID dalam aksi mogok buruh kereta api tahun 1923.
Pada Desember 1931, Pemerintah Jepang melakukan devaluasi mata uang Yen. Segera Hindia Belanda dibanjiri barang-barang buatan Jepang yang laku keras karena murah harganya. Hal ini tentu membahayakan kepentingan pemodal Hindia Belanda yang lain. Selain itu, banyak orang Jepang masuk ke Hindia dan segera membuka toko mereka. Dimana mereka merekrut orang pribumi sebagai pembantu di toko. Kecemasan petinggi Belanda, membuat Menteri Urusan Tanah Jajahan Colijn memerintahkan De Jonge untuk mengumpulkan laporan-laporan intelejen yang sempurna, sistematis dan sangat rahasia mengenai kehadiran orang-orang Jepang di Hindia Belanda. Selain cemas dengan ekspansi dagang orang Jepang, pemerintah kolonial juga cemas dengan aksi spionase agen-agen Jepang—yang mulai membangun negaranya yang militerisme-fasis dan membahayakan. Ketakutan pemerintah kolonial yang lain adalah pengaruh dari mata-mata Jepang terhadap kaum pergerakan, pers bumiputra dan raja-raja local di tanah jajahan. Pendekatan terhadap kaum pergerakan dibidang penerbitan adalah pemasangan iklan besar-besaran dengan syarat adanya artikel pro Jepang.
Kegiatan spionase di Hindia Belanda juga mendapat dukungan dari Angkatan Laut Jepang, departemen penerangan, dan Departemen Luar Negeri Jepang. Biro riset Ekonomi Jepang di Asia Timur juga menyiapkan dan mendidik mata-mata. Kegiatan penerbitan orang-orang Jepang juga mendapat perhatian khusus dari PID. Dan orang-orang Jepang, diantaranya juga merasa diawasi PID hingga membuat pengalihan dengan memindah-tangan penerbitan ke orang-orang Indonesia. Seperti dalam kasus Kubo Affair, dimana Tjahaja Pesoendan, dipindah tangan kepada Djojopranoto, yang sebelumnya milik Kubo. Dimana Djojopranoto dan Saerun—keduanya jurnalis kenamaan zaman itu—akhirnya dipenjara terkait dengan kasus Kubo yang ingin mengadakan propaganda pro Jepang dengan jalan penerbitan.
Semakin meningkatnya kebutuhan informasi akan Hindia Belanda, maka penyebaran agen mata-mata dilakukan pada decade 1930an. Di Batavia, kegiatan mata-mata yang kemudian terkenal adalah Nanyo Warehousing Company. Dimana salah satu karyawan disitu adalah Naujo Aratame yang seorang perwira Angkatan Laut Jepang—yang mendapat tugas spionase. Dia juga ditempatkan di konsulat Jenderal Jepang di Batavia. Sesudah tahun 1939, kegiatan spionase Jepang juga ditingkatkan. Dimana hamper semua karyawan Jepang diberbagai perusahaan Jepang di Hindia Belanda, dijadikan agen mata-mata yang mengumpulkan data-data militer, organisasi sabotase, dan mencoba menyuap orang-orang sipil dan militer. Hotel dan tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pengumpulan informasi. Sebagian orang pergerakan menganggap keberadaan Jepang bukan sebuah bahaya.
Sejak 1933, De Jonge melarang para pegawai masuk organisasi pergerakan. Dinas intelejen diefektifkan untuk meneror kaum pergerakan. Pemerintah kolonial makin refresif setelah pemberontakan kapal Zeven Provincien. Prinsip tindak terror pemerintah dan alat intelejennya itu didasarkan pada Rust en Orde. Selain PID, polisi rahasia dan reserse juga aktif. Setiap pejabat pamong praja bahkan memiliki mata-mata sendiri untuk mengawasi daerah wewenangnya.

Kematian Husni Thamrin
Thamrin adalah tokoh penting pergerakan di Jakarta karena dia adalah anggota Volksraad dari fraksi Nasional. Dia adalah keturunan Indo-Inggris dari pihak ayah. Thamrin berasal dari keluarga pangrehpraja yang cukup berpengaruh di Sawah Besar Batavia pada pergantian abad XIX-XX.
Sejak muda Thmarin sudah menjadi orang dewan. Dimulai ketika dia menjadi Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia. Dia terhitung anggota paling muda dari kalangan pribumi. Selain sibuk sebagai Gemeenteraad, Thamrin juga aktif dalam dunia pergerakan. Mulai dari Kaoem Betawi hingga Partai Indonesia Raya.
Ketika Hindia Belanda hampir tumbang, Thamrin didekati oleh orang-orang Jepang di Indonesia. Hingga kemudian Thamrin dianggap membahayakan. Thamrin sendiri meninggal di rumahnya dalam kondisi penuh tekanan dari polisi kolonial dan pejabat Hindia Belanda yang menganggap Thmarin berkolaborasi dengan Jepang. Bukan tidak mungkin Thamrin juga dicurigai dan diintai oleh PID.

Bayang-bayang NAZI
Orang Belanda tampak takut pada orang-orang Jerman—karena dikira mereka itu pro NAZI. Di Hindia Belanda juga terdapat kaum fasis yang tergabung dalam NSB. Ketika Jepang akan mendarat, orang-orang Jerman memang ditangkapi untuk dimasukan kamp tahanan.
Fobia akan NAZI di Hindia Belanda cukup menarik. Pernah ada seorang siswa MULO di Malang yang harus berurusan dengan polisi kolonial karena telah menggambar lambang swastika di toilet tempat umum di kota Malang.


Dibawah Pengawasan Spionase
Tan Malaka adalah oran yang hidup dibawah intaian banyak intel sejak muda. Karenanya Tan Malaka pun menjadikan dirinya seperti bunglon untuk menghindari intaian intel-intel imperialis.
Tidak hanya kaum pergerakan, taruna KMA Bandung seperti Nasution juga tidak lepas dari intaian intel Belanda.
Pasca gagalnya pemberontakan komunis 1927, banyak orang-orang komunis dari Indonesia yang lari ke Eropa, termasuk ke Negeri Belanda. Pengawasan berlebih trhadap kadet Indoensia bisa jadi semakin ditingkatkan. Bukan tidak mungkin seorang kadet pribumi terpengaruh komunis. Hal ini berbahaya karena seorang perwira bisa mempengaruhi bawahannya dalam ketentaraan. Komunisme dalam KNIL di masa depan tentunya akan membahayakan pemerinah kolonial Hindia Belanda. Pengawasan terhadap kadet Indonesia bisa jadi tidak jauh berbeda seperti halnya PID mengawasi orang-orang pergerakan. Pengawasan-pengawasan itu tentunya membuat para kadet Indonesia lebih berhati-hati. Salah satu cara adalah denan menjauhi mahasiswa Indonesia, yang kemungkinan besar adalah anggota Perhimpunan Indonesia.
Soejarso Soerjosoerarso adalah kadet yang telah mendapat pengawasan dari pimpinan KMA. Semua ini bermula ketika Soejarso masih sekolah di HBS Bandung. Saat itu diadakan pemutaran film. Saat dinyanyikan lagu kebangsaan Belanda—Wilhelmus van Nassau—untuk menghormati Ratu Wilhelmina, Soejarso tidak mau berdiri padahal semua hadirin berdiri. Ketika menjadi KMA Breda, Soejarso sebenarnya sudah mulai berhati-hati. Inilah salah satu cara pemerintah kolonial membersihkan KNIL dari pengaruh nasionalis dimasa depan.

Tidak ada komentar: