Tielman Brother nyaris tidak dikenal di Indonesia. Hebatnya lagi band keluarga ini ikut memberi pengaruh besar dalam sejarah musik rock n roll dunia.Inilah Band pembawa virus Indorock sebelum Beatles berjaya.
Surabaya layak dijuluki kota Rock n Roll Indonesia. Banyak band-band besar, termasuk pengusung musik cadas lahir di Kota Pahlawan ini. Sebutlah Dewa 19, Grass Rock, Boomerang dan lainnya. Tidak banyak orang tahu bahwa Surabaya pernah melahirkan band rock kelas dunia bernama Tielman Brother. Nama ini tidak pernah dikenang dalam sejarah rock Indonesia. Entah mengapa? Mungkin karena kebijakan anti rock n roll yang Ngak-Ngik-Ngoek. Mungkin karena ayah dari musisi-musisi itu yang Kapten KNIL (Tentara Hindia Belanda). Terlepas dari semua kemungkinan tadi, Tielman Brother layak menjadi bagian dari sejarah rock Indonesia juga. Mereka juga orang Indonesia, lebih penting lagi mereka memberi sumbangan besar bagi sejarah rock n roll dunia—yang pengaruhnya juga terasa di Indonesia. Pastinya, referensi tentang Tielman Brother di Indonesia memang terbatas.
Siapa Tielman Brother? Mereka juga band keluarga seperti Koes Bersaudara. Tielman brother terdiri dari Reggy Tielman (Surabaya, 20 May 1933) memainkan banjo,guitar dan vocal; Ponthon Tielman ( 4 Agustus 1934 - 29 April 2000) memainkan double bass,guitar dan vocal: Andy Tielman (30 May 1936) memainkan guitar dan vocal: Herman Lawrence Tielman alias Loulou Tielman (30 oktober 1938 - 4 Agustus 1994) memainkan drum merangkap vocal. Mereka berempat adalah personil inti yang cukup dasyat di atas panggung. Selain empat bersaudara itu, adik perempuan mereka Janette Loraine Tielman alias Jane Tielman (17 Agustus 1940 - 25 juni 1993) juga ikut bernyanyi dalam band. Mereka sempat memakai nama The Timor Rhytm Brothers diawal karirnya sebelum akhirnya memakai nama Tielman Brothers—yang menjadi nama besar dalam dunia rock n roll di zamannya.
Ayah mereka yang Kapten KNIL ternyata pecinta musik. Begitu juga ibu mereka yang kerap menjadi menejer band. Surabaya 1945 adalah awal karir mereka bermusik. Zaman mereka masih bocah yang senang dolanan (bermain). Dolanan mereka sekeluarga adalam musik. Mereka kerap bermain dalam pesta-pesta keluarga. Kebanyakan band, memang mulai tampil sebagai peramai pesta—seperti pernah dialami Koes Bersaudara di awal dekade 1960an kemudian.
Tahun 1956, keluarga Tielman hijrah ke Breda, Belanda. Negeri ini memberi banyak ruang anak-anak Tielman untuk mengembangkan musik mereka. Arah mereka tidak lain rock n roll—yang identik dengan musik anak muda. Di Negeri Kincir Angin itu mereka juga mulai merekam rock n roll. Setelahnya mereka menjadi terkenal.
Kepindahan mereka ke negeri Belanda, juga telah membawa budaya tropis dan kecintaan mereka pada gitar akhirnya melahirkan term “Indo-Rock” yang populer masa itu. Cirinya adalah dominasi gitar, instrumen yang dikenalkan orang-orang Portugis saat datang ke Hindia-Belanda sekitar abad ke-14. Permainan gitar ala Portugis yang akhirnya dikenal sebagai musik keroncong ini dipadukan oleh anak-anak Timor itu dengan musik Hawaii, country, dan rock’n'roll yang mereka dengar dari radio-radio Amerika Serikat yang dipancarluaskan dari Filipina atau Australia.
Perjalanan Tielman Brothers menjelajah dunia rock di luar negeri juga ikut memberikan pengaruh yang cukup dasyat di blantika musik rock pada saat itu. Penampilan mereka juga cukup memukau publik di Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya. Bisa dibilang mereka lah yang pertama kali memulai atraksi panggung yang liar dan atraktif, seperti bermain gitar dan juga double bass sambil melompat atau berguling-gulingan, serta tentunya demo drum.
Meski pengaruhnya besar dalam sejarah rock dunia. Ada suara menyatakan bahwa musisi dunia sekelas Paul McCartney, vocalis dan bassis Beatles, mengagumi aksi panggung Tielman Brother. Ketika Beatles masih menjadi band kafe di Hamburg, Jerman, para personil Beatles menyempatkan diri untuk melihat aksi panggung Tielman Brothers.
Orang-orang pasti kenal Jimi Hendrix, seorang gitaris dengan aksi panggung yang mencengangkan. Tapi hanya sedikit orang Indonesia yang tahu bahwa sebelum pecinta rock tercengang dan berdecak kagum dengan permainan atraktif Jimi Hendrix di tahun 1967, Andy Tielman, sang frontman telah memulai teknik memetik gitar menggunakan gigi atau kaki. Andy Tielman memulainya di tahun 1956, 11 tahun sebelum Jimi Hendrix bereksperimen dengan gitarnya.
Salah satu gitar andalan Andy Tielmans adalah Fender Jazz Master khusus dengan 10 senar. Fender, pabrikan gitar terkemuka di dunia itu, bahkan sengaja mengirim wakilnya ke Jerman untuk merancang gitar untuk Andy Tielmans. Ini sebuah keuntungan dan juga kehormatan bagi Fender karena telah digunakan salah satu pelopor musik rock n roll kelas dunia seperti Andy Tielman. Gitar lain milik Andy Tielman adalah Gibson Les Paul keluaran pertama yang di impor ke Belanda. Gibson juga tidak kalah mendunia dengan Fender.
Masa jaya Tielman Brothers adala akhir era 1950an hingga awal 1970an. Di tahun 1958 TheTielmans Brothers punya 3 album yang jadi hits di seluruh dunia. Mereka mendahului Beatles yang muncul awal dekade 1960an. Setelahnya, bisa dibilang, Tielman Brothers kalah pamor dengan Beatles. Histeria para gadis lebih tertuju pada Beatles pada dekade 1960an. Betapapun melejitnya Beatles, tetap saja Tielman Brothers tampil lebih liar dan atraktif di atas panggung daripada Beatles.
Di tahun 1976 band ini dikabarkan Tielman Brother bubar. Ada opini menyatakan jika permainan musik mereka terkesan mandek dan tidak ada perkembangan alias kurang eksploratif. Masa rock n roll dianggap telah berlalu. Beatles sendiri dinyatakan bubar di tahun 1970an. Publik musik rock n roll sudah bosan dengan gaya mereka—yang cukup ketinggalan zaman dimasa itu. Tahun 1970an bukan zaman mereka lagi. Dekade 1970, dalam musik rock, adalah era milik Psycodelict rock milik Pink Floyd atau Heavy Blues yang diusung Led Zepellin.
Andy Tielman saja yang masih eksis bermain musik dan tinggal di Negari Belanda. Di usianya yang sudah semakin senja, Andy Tielman kini lebih banyak rekaman untuk lagu-lagu rohani dan sesekali tampil di publik Belanda dengan gitarnya. Tentu penampilannya tak bisa seliar dulu lagi
Tielman Brothers kurang dikenal publik musik rock Indonesia karena isolasi budaya Indonesia dimasa orde lama. Larangan Sukarno atas masuknya rock n roll tentu menghambat dikenalnya Tielman Brother di Indonesia—yang notabene-nya juga negeri asal mereka. Lagu-lagu Beatles saja bisa dianggap kontrarevolusi pendukung kapitalis dan buat gerah pejabat orde lama. Bagaimana jika Tielman Brothers beraksi diatas panggung dengan jingkrak-jingkrak, Sukarno mungkin bisa kena serangan jantung.
Seperti halnya Beatles yang hanya bisa dinikmati dari siaran radio BBC tiap subuh. Hal yang sama mungkin saja dilakukan untuk mendengar lagu-lagu Tielman Brother—itupun jika sedang beruntung karena yang populer dimasa itu adalah Beatles. Nusantara dibawah kaki rezim Sukarno seolah menutup mata bahwa mereka punya anak-anak hebat dari keluarga Tielman yang menguncang sejarah rock n roll dengan Indi-Rock-nya.
(disadur dari beberapa sumber)
Anak Paria
"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Kamis, Juni 05, 2008
Chrisye: Suara Sutra Dari Pegangsaan
“Semangat bermusik saya tidak akan pernah mati” Kata itu tertulis pada halaman terakhir autobiografinya. Ketika sakit Chrisye masih menyimpan energi bermusiknya, seperti saat dia mulai bermusik di Pegangsaan bersama Nasution bersaudara.
Laurens Rahadi boleh sedih jika putranya, Chrisye, enggan melanjutkan kuliah teknik arsitektur seperti harapannya. Meski sang ayah kecewa, pilihan Chrisye itu mengantarkan dirinya sebagai legenda musik Indonesia. Sang ayah akhirnya menghargai sepenuh hati keputusan Chrisye mengabil jalan sebagai musisi.
Christian Rahadi lebih memilih bermusik bersama anak-anak tetangganya, Nasution Bersaudara—Odink, Keenan, Gauri dan Debby yang dikenal sebagai pentolan Gang Pegangsaan. Pergaulan Chrisye dengan tetangganya itu, memperkenalkan Chrisye dengan instrumen bass.
Awalnya, Chrisye yang hanya nongkrong dan sesekali ngejam bareng, tidak masuk dalam formasi band. Suatu hari, Gauri mendatangi Chrisye dan bilang, “Chrisye, pemain bass kami sakit. Lu bisa gantikan? Soalnya kita dapat kerjaan banyak.” Chrisye hanya tercengang. “Lo kan sering nonton kita latihan. Pasti lo bisa ngikutin permainan kita” lanjut Gauri. Chrisye langsung meng-iya-kan. Sore itu juga mereka latihan. Hari-hari setelahnya, mereka manggung di banyak tempat. Nama band Chrisye adalah Sabda Nada, sebelum akhirnya bernama Gipsy—dimana nama terakhir membawa Chrisye manggung di sebuah restoran Ramayana—milik Pertamina—di New York. Chrisye juga sempat satu band bersama Broery Marantika dalam The Pro’s—dimana Chrisye masih memetik bas. Masa-masa ini, bagi Chrisye adalam masa belajar. Kala itu, awal dekade 1970an, Chrisye belum dikenal sebagai vokalis bersuara khas.
Dari New York, Chrisye pulang kembali ke Indonesia. Bertemulah Chrisye dengan Guruh yang berniat membuat musik idealis yang eksperimental. Bersama Guruh ini, Chrisye mulai bernyanyi solo. Sebelumnya Chrisye hanya menjadi penyanyi pendukung dalam band. Kerjasama Chrisye, Keenan, Odink, Abadi Soesman, Rony Harahap dengan Guruh melahirkan Album Guruh Gipsy yang dicetak 5.000 keping oleh Pramaqua Record.
“Ada kalanya kita berkarya untuk uang, ada saatnya karya dibuat untuk memberi makanan bagi Jiwa”. Inilah mengapa Chrisye merasa perlu terlibat dalam proyek eksperimental. Meski uang tidak mengalir deras, proyek ekspreimental sangat menyegarkan rohani bagi seorang Chrisye yang religius. Chrisye terasa menikmati proyeknya bersama Guruh itu. Dimana dia bisa lebih ekspresif dalam bermusik.
Suara Chrisye mulai dikenal masyarakat luas lewat lagu Lilin-lilin Kecil ciptaan James F. Sundah—lagu itu adalah lagu yang diikutkan dalam Lomba Cipta lagu Remaja yang diadakan Radio Prambors Jakarta. Menurut Sys N.S, yang kala itu jadi penyiar radio Prambors, lagu itu hanya cocok dinyanyikan Chrisye. Meski lagu itu tidak menang dalam lomba, namun lagu itu paling sering diputar di radio.
Medio 1977, Eross Djarot mengajak Chrisye untuk terlibat dalam membuat Soundtrack film “Badai Pasti Berlalu” yang disutradarai Teguh Karya. Dengan dibantu beberapa musisi kenamaan—seperti Keenan Nasution, Debby Nasution, Yocky Suryoprayogo, Broery Marantika dan penyanyi bersuara tinggi bernama Barlian Hutauruk—proyek ini rampung dalam 3 bulan. “Kami mendadak seperti kerasukan spirit yang sama besar”, kata Chrisye. Kesuksesan film “Badai Pasti Berlalu” diikuti dengan sukses album soundtrack-nya. Beberapa lagu seperti Merapih Alam, Matahari, Cintaku, Angin Malam, Pelangi, Semusim dan pastinya Badai Pasti Berlalu masih didengar hingga sekarang. Lagu-lagu itu bahkan direkam ulang oleh penyanyi muda sekarang seperti Astrid, Ari Lasso dan lainnya. Dikabarkan juga bahwa album Badai Pasti Berlalu dianggap sebagian kalangan sebagai album terbaik dalam blantika musik Indonesia.
Setelah album Badai Pasti Berlalu, Chrisye harus bertaruh hidup dengan album solo yang penjualannya kadang mengecewakan. Selama karir bermusiknya, Chrisye kerap bekerjasama dengan musisi ternama dalam karirnya.
Setelah album Badai Pasti Berlalu, Chrisye banyak mengarap lagu-lagu komersil. Seperti dalam album Sendiri (1984) yang penjualan sangat sukses begi Chrisyenya. Album ini mendapat penghargaan BASF Award. Chrisye bahkan mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Jerman. Chrisye tidak mengambilnya—dirinya lebih senang berkutat dengan musik di studio daripada jalan-jalan ke luar negeri.
Medio dekade1980an, lagu-lagu Chrisye banyak yang terkesan ceria. Di cover kaset, Chrisye tampil mesra dengan model cantik. Dimana Chrisye berlagak dansa dengan kostum eyecatching. Terbayang dalam pikiran Chrisye wajah-wajah Gank Pegangsaan tetangganya yang akan menertawakannya.
Suatu kali, Chrisye dituntut untuk berdansa. Dimana Guruh sang koreografer akan mengajar Chrisye berdansa. Lagu ceria yang membuat orang berdansa itu menuntut Chrisye berdansa. Ini bukan hal mudah bagi Chrisye, karena bukan gayanya. Orang banyak mengenal Chrisye dengan gaya menyanyi kaku diatas panggung. Chrisye kerap mencoba permintaan aneh itu, meski tidak seperti harapan orang melihat Chrisye untuk tidak kaku diatas panggung. Hanya suara saja yang menjadi daya magnet bagi Chrisye diatas panggung, selain itu tidak ada..
Jauh sebelum kepergiannya, Chrisye sempat berkolaborasi dengan beberapa musisi muda Seperti Ahmad Dhani, Project Pop, Peterpan, Ricky FM, Naif dan lainnya dalam album Senyawa. Beberapa musisi muda merasa nyaman ketika bekerja sama dengan Chrisye, meski awalnya canggung dengan gaya Chrisye yang pendiam itu.
Di blantika musik Indonesia Chrisye memiliki karakter suara yang khas. “Suaranya seperti suara sutra. Suara Surga” kata Titik Puspa. Suara Chrisye memberi kesejukan bagi pendengarnya. Si anak Pegangsaan ini memberi kedamaian dengan lagu-lagunya. Chrisye harus kembali pada yang kuasa 30 Maret 2007 silam. Yang terekam tak pernah mati. Suara Chrisye akan selalu terdengar di hati penikmat karyanya.
Kamis, Mei 15, 2008
Melihat Nias
Mas Jajang kirim Email, dia bilang dia mau launching buku. Bisa ditebak, buku itu tentang Nias. Dia satu dari sekian orang dari Jogja yang punya fokus tentang Nias. Mas Jajang, begitu dia dipanggil, tidak lain adalah dosen muda arkeologi UGM. Dia begitu jatuh cinta pada Nias, mungkin jauh lebih cinta dibanding orang Nias sendiri. Dia merasa memiliki Nias dengan begitu dalam. Buku "Melacak Batu Menguak Mitos" satu bukti kecintaannya yang dalam itu. Itulah Jajang Agus Sonjaya.
Mas Jajang begitu bersemangat bercerita pengalamanannya di pulau yang hampir miring bernama Nias. Banyak hal yang ingin dia lakukan di Nias. Dia cerita tentang seorang Salawa (kepala kampung) yang nestapa karena ditinggal mati istrinya. Salawa itu juga, mungkin akan ditinggalkan oleh masyarakat Nias yang mulai urban. Gelar Salawa akan menyiksa dalam hidup karena sebagian masyarakat Nias mulai tertelan mentah-mentah modernisasi yang sudah sampai di Gunung Sitoli.
Nias tidak lagi seperti dulu. Seperti sebelum Deninger memulai misi kristenisasi di Nias. Hal menyeramkan seperti Ngayau (penggal) kepala tidak lagi ada di Nias setelah Deninger datang. Agama lain, Islam berhasil menggasak daerah pesisir Nias. Bukan sesuatu yang buruk memang. Beberapa orang mungkin akan menyesalkan akibat yang begitu dalam masuknya agama baru, beberapa orang bilang agama modern, bagi kebudayaan Nias kuno. Karena hilangnya kaum Pagan (penyembah patung) yang berubah menjadi Vandalis (penghancur patung) dalam skala kecil, orang-orang Nias sekarang bukan lagi orang Nias yang dulu. Tanpa sadar mereka telah tercerabut dari akarnya. Mereka lebih merasa nyaman dengan apa yang datang sekarang. Agama baru telah membunuh hal-hal lama yang merupakan pembentuk budaya Nias kuno. Orang Islam Nias, lebih memilih membuang jauh-jauh taring babi. karena babi dilarang oleh Islam.
Kolonialisasi Hindia Belanda adalah vandalis terbesar bagi kebudayaan Nias kuno. Sebelumnya VOC sudah membakari rumah kuno khas Nias. Karenanya, jumlah rumah adat khas Nias berkurang, meski banyak rumah adat Nias masih tersisa di desa Bowomataluo, Teluk Dalam. Demi memudahkan kolonialisasi, Agama Kristen, menjadi sarana kolonialisasi. Artinya pemerintah Hindia Belanda, dengan terselubung, telah menyimpangkan tujuan Orang-orang suci Zending (lembaga Kristenisasi). Tidak hanya di Nias, tapi juga di Kalimantan. Dua nama itu, punya latar belakang kehidupan yang masih bebas dari kultur Islam dan Jawa.
Bisa dibayangkan bila kolonialisasi Hindia Belanda tidak memperalat kaum Zending. Hindia Belanda hanya angin lalu bagi masyrakat yang sederhana itu. Secara halus, politik terselubung pemerintah kolonial itu merubah banyak hal dalam kemasyarakatan di Nusantara, begitu pun di Nias.
Mas Jajang begitu bersemangat bercerita pengalamanannya di pulau yang hampir miring bernama Nias. Banyak hal yang ingin dia lakukan di Nias. Dia cerita tentang seorang Salawa (kepala kampung) yang nestapa karena ditinggal mati istrinya. Salawa itu juga, mungkin akan ditinggalkan oleh masyarakat Nias yang mulai urban. Gelar Salawa akan menyiksa dalam hidup karena sebagian masyarakat Nias mulai tertelan mentah-mentah modernisasi yang sudah sampai di Gunung Sitoli.
Nias tidak lagi seperti dulu. Seperti sebelum Deninger memulai misi kristenisasi di Nias. Hal menyeramkan seperti Ngayau (penggal) kepala tidak lagi ada di Nias setelah Deninger datang. Agama lain, Islam berhasil menggasak daerah pesisir Nias. Bukan sesuatu yang buruk memang. Beberapa orang mungkin akan menyesalkan akibat yang begitu dalam masuknya agama baru, beberapa orang bilang agama modern, bagi kebudayaan Nias kuno. Karena hilangnya kaum Pagan (penyembah patung) yang berubah menjadi Vandalis (penghancur patung) dalam skala kecil, orang-orang Nias sekarang bukan lagi orang Nias yang dulu. Tanpa sadar mereka telah tercerabut dari akarnya. Mereka lebih merasa nyaman dengan apa yang datang sekarang. Agama baru telah membunuh hal-hal lama yang merupakan pembentuk budaya Nias kuno. Orang Islam Nias, lebih memilih membuang jauh-jauh taring babi. karena babi dilarang oleh Islam.
Kolonialisasi Hindia Belanda adalah vandalis terbesar bagi kebudayaan Nias kuno. Sebelumnya VOC sudah membakari rumah kuno khas Nias. Karenanya, jumlah rumah adat khas Nias berkurang, meski banyak rumah adat Nias masih tersisa di desa Bowomataluo, Teluk Dalam. Demi memudahkan kolonialisasi, Agama Kristen, menjadi sarana kolonialisasi. Artinya pemerintah Hindia Belanda, dengan terselubung, telah menyimpangkan tujuan Orang-orang suci Zending (lembaga Kristenisasi). Tidak hanya di Nias, tapi juga di Kalimantan. Dua nama itu, punya latar belakang kehidupan yang masih bebas dari kultur Islam dan Jawa.
Bisa dibayangkan bila kolonialisasi Hindia Belanda tidak memperalat kaum Zending. Hindia Belanda hanya angin lalu bagi masyrakat yang sederhana itu. Secara halus, politik terselubung pemerintah kolonial itu merubah banyak hal dalam kemasyarakatan di Nusantara, begitu pun di Nias.
Senin, Mei 05, 2008
Melacak Sejarah
“Kertas bisa bicara dengan goresan potlot diatasnya. Jadi kertas juga anak sejarah. Karena kertas, sejarah akan terus berbicara. Sejarah akan terus berbicara lewat mulut anak-anaknya.”
Beberapa arsip dan buku langka tentang gerakan Westerling menuntun pada, sedikit dari sekian banyak, sejarah kekerasan di Nusantara. Tidak hanya arsip dan buku, dunia maya juga sanggup menunjukan hal yang sama. Di Nijmegen, Negeri Belanda, tersebut seorang yang mengaku bernama Frederick Willem. Orang ini blogger-nya Westerlingonline. Mau cari siapa itu algojo “penebar senyum” bernama Westerling, main aja ke blog itu. Entah apa yang buat Frederick Willem mau buat blog tentang orang berbau darah itu. Terbayang di kepala kita kalau dia lakukan riset kecil untuk blog-nya. Tinggal di Belanda tidak akan menyulitkan Frederick Willem untuk mempelajari Nusantara, setidaknya dalam kacamata orientalis Eropa.
Bukan rahasia lag jika banyak data-data kuno, mungkin juga yang mutakhir, tentang Nusantara bercokol di perpustakan Universitas. Leiden adalah salah satu surga itu. Sebagian sejarahwan Nusantara mungkin menganggap Leiden, mungkin juga KITLV, sumur zam-zam. Semua terjadi karena Imperialisme Ratu Singa yang 3,5 abad itu.
Untung saja ada jejak Westerling tertinggal di Jl Ampera Raya III Cilandak (Gedung ANRI). Seorang kepala polisi membuat laporan tentang peristiwa Westerling (pemberontakan APRA) di Bandung dan Jakarta—yang kadang disebut Kudeta 23 Januari (1950). Tercatat beberapa nama orang yang terlibat dalam laporan polisi itu. Keterlibatan Sultan Hamid II dan kaum pemilik modal besar—yang punya kepentingan besar di Nusantara—sekelas KPM, BPM, Borsumij dan lainnya.
Rasanya tidak perlu kita mencari tengkorak korban orang bersenjata atau rongsokan besi tua bekas bedil orang-orang bersenjata. Melalui kertas-kertas juga akan membawa kita pada kisah orang-orang bersenjata. Kita tahu surat penahanan atau perintah hukuman mati juga dari kertas. Sejarah kekerasan bisa ditilik dari tumpukan surat-surat. Selain surat-surat resmi, pengadilan juga punya proses verbal. Tentang Sultan Hamid, ada buku berjudul “Peristiwa Sultan Hamid II” terbitan Perdjasi. Lebih dari 75% buku itu adalah proses verbal. Dari buku ini, kerterlibatan Sultan Hamid II—juga tokoh-tokoh lainnya—bisa diketahui seberapa jauhnya.
Westerling layak digolongkan orang yang sadar sejarah. Karenanya scripta manent verba volant berlaku bagi Westerling. Westerling ingin sejarah mencatat dan bukan sekedar bertutur lewat mulut yang akhirnya membuat sejarah terlupakan. Hasilnya, Westerling menulis autobiografinya, yang berjudul “Chellenge to Terror”. Pastinya Westerling berkilah soal aksi pembantaian di Sulawesi Selatan dan kudeta 23 Januari. Berlagak Eropasentris, Westerling menganggap gerilyawan buruannya sebagai ekstrimis (pengacau). Selain Chellenge to Terror, ada beberapa buku tentang Westerling yang bukan ditulis Westerling seperti Westerling De Eenling dan Westerling Oorlog. Rasanya bukan hanya Westerling yang sadar sejarah dan menulis autobiografi atau memoir. Banyak tokoh dalam sejarah melakukannya, untuk sekedar mengenang dan berusaha dikenang, membela diri bahkan menjatuhkan lawannya. Semua tulisan apapun bentuknya juga maksudnya adalah sah untuk menjadi sumber sejarah dalam fase heuristik sejarah.
Setelah heuristik (pengumpulan berbagai data sejarah), langkah penting kedua adalah kritik sumber. Dimana sejarawan menilai kebenaran yang terkandung dalam sumber yang diperolehnya. Apa yang diperiksa sejarawan dari sumbernya adalah kebenaran tersurat (kritik ekstern) dan kebenaran tersirat (kritik ekstern) yang terkandung dalam sumber yang diperoleh. Artinya sejarawan melakukan koreksi dan penilaian luar-dalam atas data yang diperolehnya. Langkah kritik sumber penting untuk menjauhkan sejarawan dari kesalahan, mungkin juga kebohongan.
Hampir semua sumber punya celah-celah lemah. Manusia bisa berbohong. Meski tidak berbohong sekalipun, kebenaran dari mulut seseorang bisa bergeser karena tafsir yang berbeda-beda. Sumber sejarah tidak seutuhnya mampu menyajikan kebenaran. Begitu juga tumpukan kertas. Apa yang tertulis di kertas bisa saja meragukan—lihat kasus Supersemar. Laporan polisi, meski ditulis dengan penuh kejujuran, bisa saja penulis laporan terpengaruh sumber palsu atau pengakuan bohong dari pelaku peristiwa. Karena setiap laporan intelejen diadakan penilaian laporan berupa kode huruf-angka. (ABCDEF: untuk menilai kepercayaan narasumber, 123456 untuk menilai kebenaran isi dari laporan intelejen itu)
Kerja sejarawan pada fase kritik sumber sama saja dengan kerja analis intelejen menilai laporan intelejen yang diperoleh. Jadi cukup ideal bagi orang sejarah untuk bekerja di badan intelejen. Historiografi dengan intelejen adalah dua dunia yang memiliki kesamaan prinsip, dimana tidak ada yang bisa dipercaya namun tetap menghargai data-data. Karenanya data-data perlu menjalani proses uji dan telaah.
Tidak semua arsip itu benar isinya. Juga tidak semua buku sejarah yang ada telah menyajikan kebenaran meski telah teruji secara akademis. Interpretasi sangatlah penting dan harus dalam penulisan sejarah. Tidak ada sejarawan yang memiliki data sepenuhnya lengkap dalam riset. Dalam rekontruksi sejarah, selalu ada rantai yang hilang. Disini interpretasi bermain. Interpretasi tidak melulu beranalisis dengan apa yang sudah ada. Penting sekali mencari rantai hilang dengan imajinasi. Dengan data yang sudah ada, sejarawan berusaha membayangkan apa yang terjadi dalam kekaburan sejarah. Interpretasi (atau penafsiran) yang dilakukan dan dihasilkan sejarawan adalah buah penting dalam penelitian. Disini sejarawan menemukan, setidaknya berusaha menemukan hal baru dari penelitiannya. Tafsir sejarawan ini juga yang nantinya akan memberikan wacana baru dalam dunia historiografi, bahkan ilmu pengetahuan. Apa yang ditafsir sejarawan bukanlah hal yang sepenuhnya “benar” (dalam arti mutlak). Sejarawan hanya berusaha mendekati kebenaran. Kebenaran yang benar dalam dunia wacana, termasuk sejarah, adalah kebenaran nisbi dan bukan yang Mutlak.
Hal terakhir adalah menulis apa yang menjadi tafsir tadi dengan dasar berbagai fakta-fakta sejarah yang sudah ada. Hal terakhir ini pula adalah fase penutup dan laporan dari riset (atau penelitian) historis.
Dari kertas dan menjadi kertas lagi, itu yang dilakukan mahasiswa sejarah. Betapa tumpukan kertas, berisi data-data sejarah, berguna lagi dan menjadi kertas lagi. Kertas bukan sembarang kertas, tapi kertas dari tangan sejarawan adalah kertas yang bisa bicara, meski tak bermulut. Layaknya anak sejarah, kertas-kertas itu akan bicara soal kehidupan
Anak_Paria
Beberapa arsip dan buku langka tentang gerakan Westerling menuntun pada, sedikit dari sekian banyak, sejarah kekerasan di Nusantara. Tidak hanya arsip dan buku, dunia maya juga sanggup menunjukan hal yang sama. Di Nijmegen, Negeri Belanda, tersebut seorang yang mengaku bernama Frederick Willem. Orang ini blogger-nya Westerlingonline. Mau cari siapa itu algojo “penebar senyum” bernama Westerling, main aja ke blog itu. Entah apa yang buat Frederick Willem mau buat blog tentang orang berbau darah itu. Terbayang di kepala kita kalau dia lakukan riset kecil untuk blog-nya. Tinggal di Belanda tidak akan menyulitkan Frederick Willem untuk mempelajari Nusantara, setidaknya dalam kacamata orientalis Eropa.
Bukan rahasia lag jika banyak data-data kuno, mungkin juga yang mutakhir, tentang Nusantara bercokol di perpustakan Universitas. Leiden adalah salah satu surga itu. Sebagian sejarahwan Nusantara mungkin menganggap Leiden, mungkin juga KITLV, sumur zam-zam. Semua terjadi karena Imperialisme Ratu Singa yang 3,5 abad itu.
Untung saja ada jejak Westerling tertinggal di Jl Ampera Raya III Cilandak (Gedung ANRI). Seorang kepala polisi membuat laporan tentang peristiwa Westerling (pemberontakan APRA) di Bandung dan Jakarta—yang kadang disebut Kudeta 23 Januari (1950). Tercatat beberapa nama orang yang terlibat dalam laporan polisi itu. Keterlibatan Sultan Hamid II dan kaum pemilik modal besar—yang punya kepentingan besar di Nusantara—sekelas KPM, BPM, Borsumij dan lainnya.
Rasanya tidak perlu kita mencari tengkorak korban orang bersenjata atau rongsokan besi tua bekas bedil orang-orang bersenjata. Melalui kertas-kertas juga akan membawa kita pada kisah orang-orang bersenjata. Kita tahu surat penahanan atau perintah hukuman mati juga dari kertas. Sejarah kekerasan bisa ditilik dari tumpukan surat-surat. Selain surat-surat resmi, pengadilan juga punya proses verbal. Tentang Sultan Hamid, ada buku berjudul “Peristiwa Sultan Hamid II” terbitan Perdjasi. Lebih dari 75% buku itu adalah proses verbal. Dari buku ini, kerterlibatan Sultan Hamid II—juga tokoh-tokoh lainnya—bisa diketahui seberapa jauhnya.
Westerling layak digolongkan orang yang sadar sejarah. Karenanya scripta manent verba volant berlaku bagi Westerling. Westerling ingin sejarah mencatat dan bukan sekedar bertutur lewat mulut yang akhirnya membuat sejarah terlupakan. Hasilnya, Westerling menulis autobiografinya, yang berjudul “Chellenge to Terror”. Pastinya Westerling berkilah soal aksi pembantaian di Sulawesi Selatan dan kudeta 23 Januari. Berlagak Eropasentris, Westerling menganggap gerilyawan buruannya sebagai ekstrimis (pengacau). Selain Chellenge to Terror, ada beberapa buku tentang Westerling yang bukan ditulis Westerling seperti Westerling De Eenling dan Westerling Oorlog. Rasanya bukan hanya Westerling yang sadar sejarah dan menulis autobiografi atau memoir. Banyak tokoh dalam sejarah melakukannya, untuk sekedar mengenang dan berusaha dikenang, membela diri bahkan menjatuhkan lawannya. Semua tulisan apapun bentuknya juga maksudnya adalah sah untuk menjadi sumber sejarah dalam fase heuristik sejarah.
Setelah heuristik (pengumpulan berbagai data sejarah), langkah penting kedua adalah kritik sumber. Dimana sejarawan menilai kebenaran yang terkandung dalam sumber yang diperolehnya. Apa yang diperiksa sejarawan dari sumbernya adalah kebenaran tersurat (kritik ekstern) dan kebenaran tersirat (kritik ekstern) yang terkandung dalam sumber yang diperoleh. Artinya sejarawan melakukan koreksi dan penilaian luar-dalam atas data yang diperolehnya. Langkah kritik sumber penting untuk menjauhkan sejarawan dari kesalahan, mungkin juga kebohongan.
Hampir semua sumber punya celah-celah lemah. Manusia bisa berbohong. Meski tidak berbohong sekalipun, kebenaran dari mulut seseorang bisa bergeser karena tafsir yang berbeda-beda. Sumber sejarah tidak seutuhnya mampu menyajikan kebenaran. Begitu juga tumpukan kertas. Apa yang tertulis di kertas bisa saja meragukan—lihat kasus Supersemar. Laporan polisi, meski ditulis dengan penuh kejujuran, bisa saja penulis laporan terpengaruh sumber palsu atau pengakuan bohong dari pelaku peristiwa. Karena setiap laporan intelejen diadakan penilaian laporan berupa kode huruf-angka. (ABCDEF: untuk menilai kepercayaan narasumber, 123456 untuk menilai kebenaran isi dari laporan intelejen itu)
Kerja sejarawan pada fase kritik sumber sama saja dengan kerja analis intelejen menilai laporan intelejen yang diperoleh. Jadi cukup ideal bagi orang sejarah untuk bekerja di badan intelejen. Historiografi dengan intelejen adalah dua dunia yang memiliki kesamaan prinsip, dimana tidak ada yang bisa dipercaya namun tetap menghargai data-data. Karenanya data-data perlu menjalani proses uji dan telaah.
Tidak semua arsip itu benar isinya. Juga tidak semua buku sejarah yang ada telah menyajikan kebenaran meski telah teruji secara akademis. Interpretasi sangatlah penting dan harus dalam penulisan sejarah. Tidak ada sejarawan yang memiliki data sepenuhnya lengkap dalam riset. Dalam rekontruksi sejarah, selalu ada rantai yang hilang. Disini interpretasi bermain. Interpretasi tidak melulu beranalisis dengan apa yang sudah ada. Penting sekali mencari rantai hilang dengan imajinasi. Dengan data yang sudah ada, sejarawan berusaha membayangkan apa yang terjadi dalam kekaburan sejarah. Interpretasi (atau penafsiran) yang dilakukan dan dihasilkan sejarawan adalah buah penting dalam penelitian. Disini sejarawan menemukan, setidaknya berusaha menemukan hal baru dari penelitiannya. Tafsir sejarawan ini juga yang nantinya akan memberikan wacana baru dalam dunia historiografi, bahkan ilmu pengetahuan. Apa yang ditafsir sejarawan bukanlah hal yang sepenuhnya “benar” (dalam arti mutlak). Sejarawan hanya berusaha mendekati kebenaran. Kebenaran yang benar dalam dunia wacana, termasuk sejarah, adalah kebenaran nisbi dan bukan yang Mutlak.
Hal terakhir adalah menulis apa yang menjadi tafsir tadi dengan dasar berbagai fakta-fakta sejarah yang sudah ada. Hal terakhir ini pula adalah fase penutup dan laporan dari riset (atau penelitian) historis.
Dari kertas dan menjadi kertas lagi, itu yang dilakukan mahasiswa sejarah. Betapa tumpukan kertas, berisi data-data sejarah, berguna lagi dan menjadi kertas lagi. Kertas bukan sembarang kertas, tapi kertas dari tangan sejarawan adalah kertas yang bisa bicara, meski tak bermulut. Layaknya anak sejarah, kertas-kertas itu akan bicara soal kehidupan
Anak_Paria
Senin, Maret 17, 2008
Ada Westerling di Veteran I Jakarta
Saya pernah menulis tentang Westerling beberapa tahun silam. Tulisan itu sekarang telah menjadi buku yang membatalkan kelulusan saya. Suatu kali, ketika ada pertemuan di sebuah kafe bernama Matahari Lounge,di Jalan Veteran I Jakarta Pusat, Taufik Rahhzen bilang pada saya bahwa kafe ini dulu bernama Black Cat Noir atau Au Chat Noir. Saya kaget, karena ditempat itu Westerling pernah berkunjung dan bersembunyi dari kejaran TNI.
Saya hanya menulis itu di buku saya, tapi saya belum tahu persis dimana tempat itu sebelumnya. Saya langsung terbayang sosok kejam menakutkan itu lagi.Padahal saya berusaha melupakannya dari hidup saya. Tapi itu akan sulit. Karena saya selalu bertemu dengan namanya ketika menulis naskah sejarah, yang sudah jadi bagian hidup saya.
Matahari Lounge, sebelumnya pernah bernama Cuba Libre masih menyimpan sejarahnya. Bulan Januari 1948, di tempat yang dulunya bernama Au Chat Noir (atau juga disebut Black Cat Noir)ini, dua nama yang dianggap hitam dalam sejarah Indonesia bertemu. Mereka adalah Kapten komando Belanda bernama Westerling dan satunya lagi adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Hamid, yang kerap disapa Max, bukan orang baru di kalangan orang Belanda masa itu. Dia bekas perwira KNIL dengan pangkat Letnan Satu sebelum Perang Pasifik. Hamid juga ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan. Masuknya NICA ke Indonesia, serta pembunuhan balatentara Jepang terhadap Keluarga Kesultanan Pontianak, membuat Hamid memegang tahta Kesultanan keturunan Arab itu.
Artinya, pertemuan dua orang yang kesohor karena pemberontakan APRA di Bandung dan Jakarta itu berawal di kafe yang sekarang bernama Cuba Libre ini.
Di tempat ini, Westerling bisa mengobrol dengan orang-orang berpengaruh, juga mencari informasi intelejen karena naluri intelejen Westerling juga menginginkannya. Hamid, yang mungkin sudah dicap Belanda juga bisa mengobrol dengan orang-orang Belanda atau orang-orang berpengaruh lainnya. Bergaul dengan orang Belanda tuntutan bagi Hamid, karena istri Hamid juga wanita Belanda berambut blonde.
Disini juga Hamid bisa meneguk minuman favoritnya, Jenewer. Tidak diketahui secara pasti berapa kali Westerling dan Hamid berkunjung dan bertemu di kafe tersebut. Mereka berdua orang sibuk yang kerap meninggalkan Jakarta. Hamid harus mengurusi Kesultanan Pontianak, walau jauh diluar Pontianak. Hamid Juga memimpin BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg: Persekutuan Negara Federal yang d) Menjelang Pengembalian Kedaulatan RI 1949, Hamid lebih sibuk lagi karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting. Salah satunya Konferensi Meja Bundar untuk mewakili BFO.
Harus saya akui tempat itu begitu penting dalam sejarah. Mungkin sebelum mahluk bernama Westerling muncul di tempat itu. Matahari Lounge akhirnya menjadi tempat penting juga untuk saya. Senang sekali jika buku saya diobrolkan ditempat bersejarah. Dimana sosok yang yang pernah saya tulis itu pernah terpuruk. Setiap ke tempat itu saya selalu membayangkan Westerling tersenyum menyembunyikan semua kekejaman yang mengotori hidupnya.
Saya hanya menulis itu di buku saya, tapi saya belum tahu persis dimana tempat itu sebelumnya. Saya langsung terbayang sosok kejam menakutkan itu lagi.Padahal saya berusaha melupakannya dari hidup saya. Tapi itu akan sulit. Karena saya selalu bertemu dengan namanya ketika menulis naskah sejarah, yang sudah jadi bagian hidup saya.
Matahari Lounge, sebelumnya pernah bernama Cuba Libre masih menyimpan sejarahnya. Bulan Januari 1948, di tempat yang dulunya bernama Au Chat Noir (atau juga disebut Black Cat Noir)ini, dua nama yang dianggap hitam dalam sejarah Indonesia bertemu. Mereka adalah Kapten komando Belanda bernama Westerling dan satunya lagi adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Hamid, yang kerap disapa Max, bukan orang baru di kalangan orang Belanda masa itu. Dia bekas perwira KNIL dengan pangkat Letnan Satu sebelum Perang Pasifik. Hamid juga ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan. Masuknya NICA ke Indonesia, serta pembunuhan balatentara Jepang terhadap Keluarga Kesultanan Pontianak, membuat Hamid memegang tahta Kesultanan keturunan Arab itu.
Artinya, pertemuan dua orang yang kesohor karena pemberontakan APRA di Bandung dan Jakarta itu berawal di kafe yang sekarang bernama Cuba Libre ini.
Di tempat ini, Westerling bisa mengobrol dengan orang-orang berpengaruh, juga mencari informasi intelejen karena naluri intelejen Westerling juga menginginkannya. Hamid, yang mungkin sudah dicap Belanda juga bisa mengobrol dengan orang-orang Belanda atau orang-orang berpengaruh lainnya. Bergaul dengan orang Belanda tuntutan bagi Hamid, karena istri Hamid juga wanita Belanda berambut blonde.
Disini juga Hamid bisa meneguk minuman favoritnya, Jenewer. Tidak diketahui secara pasti berapa kali Westerling dan Hamid berkunjung dan bertemu di kafe tersebut. Mereka berdua orang sibuk yang kerap meninggalkan Jakarta. Hamid harus mengurusi Kesultanan Pontianak, walau jauh diluar Pontianak. Hamid Juga memimpin BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg: Persekutuan Negara Federal yang d) Menjelang Pengembalian Kedaulatan RI 1949, Hamid lebih sibuk lagi karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting. Salah satunya Konferensi Meja Bundar untuk mewakili BFO.
Harus saya akui tempat itu begitu penting dalam sejarah. Mungkin sebelum mahluk bernama Westerling muncul di tempat itu. Matahari Lounge akhirnya menjadi tempat penting juga untuk saya. Senang sekali jika buku saya diobrolkan ditempat bersejarah. Dimana sosok yang yang pernah saya tulis itu pernah terpuruk. Setiap ke tempat itu saya selalu membayangkan Westerling tersenyum menyembunyikan semua kekejaman yang mengotori hidupnya.
Darsono Si Panah Beracun
Darsono berusia 19 tahun ketika bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Semuanya bermula ketika Darsono hadir dalam persidangan Sneevliet. Darsono begitu kagum kepada orang Belanda itu. Awalnya Darsono sempat ragu pada perjuangan Sneevliet membela rakyat. Begitu mengetahui Sneevliet bekerja di Kantor Dagang bergaji f 1.000 sebulan, Darsono semakin menaruh hormat pada pria Belanda pembebas kaum miskin Asia itu. Persidangan itu juga mempertemukan Darsono dengan Semaoen. Darsono diajak Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Darsono yang melihat tidak ada jawaban atas pergulatan dirinya dalam Islam, Kristen maupun Budha, melainkan sosialisme. Sebuah dunia yang dia pilih untuk warnai masa mudanya.
Catatan sejarah atas diri Darsono sangat jauh dari cukup. Di diperkirakan 1897 tempat lahirnya tidak diketahui. Ayahnya seorang pegawai negeri, karenanya Darsono mampu mengenyam bangku sekolah. Darsono akrab dengan kehidupan petani karena pergaulanya dengan anak-anak petani ketika masih bocah.
Setamat dari sekolah pendidikan pertanian Darsono bekerja di perkebunan tebu. Sebuah tempat dimana dia melihat kemiskinan dan sistem sosial yang buruk. Selama bekerja, Darsono meluangkan waktunya dengan membaca buku-buku yang dia perolehnya. Masa itu kehidupan kuli-kuli perkebunan yang buruk menjadi hal biasa.
Setelah usahanya untuk belajar di Sekolah Dokter Hewan gagal, Darsono kembali ke Semarang. Sampai akhirnya hadir dalam persidangan Sneevliet dan bertemu Semaoen yang kemudian menempatkannya dalam redaksi Sinar Djawa mulai 27 Februari 1918 pada bagian telegram.
Menurut Darsono, rakyat Jawa masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan artikel-artikel yang berani. Tulisan yang terlalu ilmiah tidak akan dimengerti oleh rakyat yang umumnya tidak pernah sekolah. Orang yang berani lebih diperlukan dari pada orang yang terdidik dan pandai. Cara yang tepat menurut Darsono adalah hantam kromo bukancara intelektual.
Keterlibatan Darsono dan Mas Marso yang cenderung kiri di Sinar Djawa membuat beberapa orang pergerakan yang kurang radikal gerah. Sejak 28 Februari 1918 satu persatu anggota redaksi Sinar Djawa seperti Mohammad Joesoef, Aloei juga Martowidjojo keluar. SI cabang semarang semakin lama semakin radikal dan cenderung menyerang golongan moderatnya yang kebanyakan menduduki posisi kunci dalam SI, termasuk Darsono sendiri.
Artikel Darsono adalah Giftige Waarheidspijlein (Pengadilan Panah Beracun) menulis: "Selama toemboeh-toemboehan bisa hidoep, SETAN OEANG, jang dengan rapi dilindoengi oleh pemerintah, soedah membikin sengsaranja ra'jat."
"Setan Oeang" istilah politik pada zaman pergerakan yang ditujukan kepada para pemilik modal atau pengusaha. Istilah ini mengacu pada segala bidang di mana modal dapat berkuasa, seperti pendidikan, perkebunan, ataupun pajak. Politik etis yang dicanangkan kaum etisi Belanda lebih banyak dimanfaatkan pemilik modal. Pengadaan sarana irigasi, edukasi dan migrasi lebih menguntungkan pemilik modal daripada memperbaiki kehidupan rakyat pribumi. Setiap perusahaan yang mengeksploitasi hasil bumi tanah Hindia tentunya hanya membutuhkan tenaga-tenaga murah. Tidak masuk akal bagi kaum pemilik modal mendatangkan tenaga kasar dari Eropa. Pastinya tenaga murah pribumi yang dibutuhkan oleh para pemilik modal alias Setan Oeang (kata Darsono).
Pemerintah kolonial hanya sebagai fasilitator dari "Setan Oeang". Banyak sekolah dibangun untuk menyediakan tenaga kerja murah yang dibutuhkan oleh pemilik modal untuk menggerakan produksi mereka di Hindia. Pemerintah telah mengadakan beberapa sekolah pribumi dengan kurikulum terbatas bagi rakyat pribumi calon buruh dari usaha milik Setan Oeang. Anak-anak pribumi jelata hanya dapat menikmati tweede klass (sekolah bumiputra klas dua tanpa bahasa Belanda) yang biasa disebut Sekolah Angka loro. Sebuah sekolah dengan masa belajarnya 3 tahun. Dimana mereka hanya dididik untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Lulusan macam inilah yang dibutuhkan oleh Setan Oeang. Darsono yang geram dengan kondisi semacam ini berkata:
"Djika saja berani membilangkan, bahwa hampir semoea sekolahan jang diadakan di Hindia sini tjuma boeat membesarkan keoentoengan setan oeang asing, itoelah sebenarnja djuga, itoelah boekan omong kosong. Sekolahan machinist boeat pabrik-pabrik atau spoor dan tram, kepoenjaan setan oeang asing. Sekolah opzichter begitoe djoega; sekolah dagang idem; opleiding school boeat ambtenaar idem; cultureschool di Soekaboemi idem; sekolah dokter setali tiga oeang, dan begitoe sebagainja .
Umumnya pengadaan sekolah berkualitas dengan standart yang mendekati Eropa oleh pemerintah kolonial hanya ditujukan kepada elit feodal. Pembatasan pendidikan non formal bagi rakyat pribumi melalui rapat-rapat umum dilarang Asisten Residen di kota Semarang. Pemerintah kolonial berupaya menutup rapat pintu kesadaran kaum kromo akan pentingnya pendidikan politik. Darsono bereaksi dengan kecamannya terhadap Asisten Residen Semarang:
" Pada tanggal 9 mei jang laloe di gedoeng Oost java bioscoop Semarang diadakan Openbare Vergadering oleh ISDV....idzin boeat itoe bermoela toean toean asistent resident dari kota Semarang mendjawab tidak boleh diadakan...kedoea...minta idzin lagi didjawab: boleh diadakan, akan tetapi orang jang terpeladjar dari kepala warga SI sadja jang boleh mengoendjoengi, sedang lain-lainnja orang masih bodo dilarang mendengarkan itoe vergadering....pengadjaran boeat ra,jat berdjalan begitoe pelan seperti keong (slak) dia maoe mengelarang si bodo boeat mendengarkan itoe vergadering jang dapat menambahkan kepandaian dan melebarkan pemandangannja".
Pemerintah kolonial enggan membuka sekolah-sekolah tinggi bagi kemajuan rakyat Hindia. Terlalu mahal bagi pemerintah kolonial untuk mendatangkan pengajar-pengajar dari Eropa yang bayarannya tinggi. Alasan lain yang lebih penting karena perkembangan modal tidak menuntut tenaga kerja bumiputra (yang murah) yang berpendidikan tinggi karena relatif masih bisa diatasi oleh orang Belanda sendiri yang terkadang didatangkan juga dari Negeri Belanda.
Bergabungnya Darsono dalam barisan kiri Sarekat Islam Semarang ikut mewarnai perjuangan kaum buruh di Hindia. Golongan kiri di Sarekat Islam Semarang inilah cikal-bakal PKI yang yang meneriakan kepentingan buruh-tani di Hindia. Ketika masih di SI cabang Semarang Darsono berusaha memperjuangkan keringanan pajak rakyat dan membebankan pajak yang lebih besar kepada kaum Setan Oeang. Masalah ini akan dibawa dalam Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-3 yang diadakan pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya.
Dengan uang yang dimiliki kaum Setan Oeang memaksa desa-desa menyewakan tanahnya untuk perkebuanan dengan memberikan premi tertentu kepada lurah-lurah. Sawah milik desa yang komunal yang sebelumnya dikelola oleh petani, dijadikan perkebunan dan menjadikan para penduduk sebagai kuli perkebunan. Dalam hal ini pemerintah lalai denngan nasib para petani ini. Lurah hanya menjadi bagian dari sistem saja dan membiarkan warganya sengsara. Semua ini tak lain untuk meningkatkan produksi gula. Pemerintah hanya bisa mendukung kemauan kaum Setan Oeang yang hanya mengeruk laba dari keringat tenaga pribumi dan kesuburan tanah Hindia..."
Serangan Darsono dalam Giftige Waarheidspijlein adalah serangan terhadap kebijakan-kebijakan kolonial terhadap rakyat tertindas di Hindia. Giftige Waarheidspijlein ditulis Darsono berdasar literatur yang pernah dibacanya. Salah satu bahan tulisan Darsono adalah Het Process Sneevliet (1917) yang menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dan menjadi bacaan terlarang di sekolah-sekolah pemerintah. Tulisan Clive Day The Policy and Administration of the Deutch in Java (1904). Kedua bahan ini menjelaskan bahwa kemiskinan yang melanda mayoritas pribumi tidak terjadi tanpa sebab, tetapi memiliki proses sejarah yang panjang. Het Process Sneevliet menyatakan sumber kemiskinan dimulai oleh merkantilisme VOC (Vereniging Oost indische Compagnie, maskapai dagang Belanda terbesar di Nusantara sebelum abad XIX). Devide et Impera (politik pecah belah) VOC berlanjut dengan monopoli perdagangan dan pungutan pajak yang mencekik rakyat pribumi. Penguasa lokal dan bawahannya lebih banyak diam (mendukung) dan hampir semuanya hidup jauh dari derita yang dialami rakyatnya. Pemerintah kolonial tidak lebih dari panah beracun bagi kaum kromo yang miskin dengan kebijakan-kebijakan kolonialnya.
Karena tulisan dan kepemimpinannya, Darsono menjadi sosok yang menonjol dan menjadi orang penting kedua dalam kepemimpinan ISDV di Semarang. Kebiasaannya membaca buku menjadikan ahli dalam berteori di partai. Rivalitas Darsono dengan tokoh SI mapan macam Tjokroaminoto atau Abdoel Moeis bukan rahasia umum. Awal 1920 sebuah surat dari Komunis Internasional(Komintern) datang, isinya adalah menganjurkan bergabungnya ISDV dalam Komintern. Salah satu syaratnya adalah menggunakan nama terang partai komunis. Sebuah sidang yang panas dengan peserta 40 kemudian menerima peubahan nama tersebut. Perserikatan Komunis di Hindia pun lahir pada tanggal 20 Mei 1920. Inilah PKI generasi pertama yang juga terlibat dalam pergerakan nasional. Hanya saja perenan mereka kurang diakui sebagai kaum pergerakan.
Pada bulan Mei 1921 Ir Adolf Baars dibuang bersama Darsono keluar negeri. Dalam perjalanan, di Shanghai mereka bertemu Sneevliet yang menjadi wakil Komintern di Cina. Mereka lalu menuju Rusia. Ketika terjadi pemogokan besar-besaran di Jawa banyak tokoh-tokoh kiri ditangkap. Darsono berada diluar negeri ketika penangkapan itu terjadi. Hal ini membuat pemerintah kesulitan. Pada bulan November 1921 Darsono menghadiri Kongres Partai Komunis Belanda (Comunist Partij: CP) dan memberikan pidatonya. Darsono meminta diadakannya kerjasama antara PKI dengan CP.
Selama menjadi anggota PKI , Darsono pernah dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) tahun 1929 oleh Partai Komunis Belanda. Darsono didaftar urutan 3 dan Tan Malaka didaftar urutan 2, namun keduanya tidak terpilih. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kunjungan dan pidatonya pada kongres CP November 1921 sebelumnya. Karenanya Darsono juga cukup populer di Belanda. Apalagi Darsono juga cukup teoritis dalam pergerakan. Walau begitu Semaun dan Darsono kemudian keluar dari PKI kendati mereka masih memihak kaum yang tertindas. Banyak juga tokoh PKI angkatan 1920an yang menghilang dari peredaran perpolitikan pasca kemerdekaan Indonesia.
Darsono mendedikasikan hidupnya membela kaum yang tertindas dengan melawan Setan Oeang. Darsono masih percaya kekuatan pena mampu mengalahkan pedang. Tulisannya Giftige Waarheidspijlein adalah sebuah pengadilan kepada pemerintah kolonial yang tidak peduli dengan nasib kaum kromo pribumi. Ciri khas Darsono dalam tulisannya adalah bahasanya yang berani. Baginya bahasa ilmiah tidak dipahami rakyat tertindas.
Catatan dari Sanga-sanga
Tak terasa tiga tahun berlalu. Aku bisa injakan kakiku lagi di kota itu. Senang bisa hirup udara Sanga-sanga lagi. Pemandangannya masih sama seperti dulu. Setelah aku lewati jalan-jalan aspal yang hancur oleh ulah mobil-mobil pertambangan yang penuh muatan. Masih seperti Sanga-sanga yang dulu. Kota tua ini masih saja seperti dulu dengan rumah-rumah tua. Bangsal-bangsal, sebagian orang menyebut rumah-rumah panjang yang disekat untuk beberapa keluarga pegawai minyak di kota minyak bernama Sanga-sanga itu.
Ibu membawaku ketika aku masih bayi. Dimana ibu yang lain juga memiliki bayi yang usianya dua bulan lebih muda daripada aku. Aku ingat kakak lelaki dari ibuku beserta keluarganya tinggal di bangsal-bangsal itu. Kakal lelaki ibuku, yang biasa kupanggil "Pakde" itu memiliki dua anak wanita dan satu anak lelaki yang masih bayi. Aku tidak mengenal mereka seperti sekarang. Aku memanggil mereka "Mbak" dan "Mas" untuk anak lelakinya.
Hal paling kusuka dari Sanga-sanga adalah menjelajahinya dengan berjalan kaki. Aku tidak akan merasa lelah. rumah-rumah tua adalah sajian favorit mataku di Sanga-sanga. Terakhirkali disana, aku masih sempat menyaksikan pemandangan itu. Rasanya aku tak perlu sesali hidup dengan sajian seperti itu.
Seperti biasa, Bude--biasa aku memanggil istri dari kakak lelaki ibuku--itu pasti menyimpan sambalnya yang buat lidah bergoyang. Kali ini ada menu udang, makanan yang dalam setahun belum tentu kumakandi Jogja atau Jakarta. Makan makanan laut dikota itu rasanya tidak akan senikmat memakannya di Sanga-sanga, atau kota pesisir lain di kalimantan Timur. Aku ingat, ayah kawanku yang pernah jadi serdadu dan dinas di Sanga-sanga bercerita, badan gatal-gatal karena terlalu banyak makan udang di Sanga-sanga.
Seperti biasa, Bude ajak aku ke daerah Muara naik mobil. Bude lagi mau borong udang yang banyak untuk pernikahan Mbak-kuyang kedua. Kami naik mobil dan nikmati Sanga-sanga yang tereksploitasi. Di sepanjang jalan, selain kampung, banyak pertambangan batu-bara. Ini mungkin surga bagi sebagian orang yang menggantungkan hidup dari tambang-tambang itu. Monster-monster bernama "Dump Truck" belum terlihat. Hanya saja perut bumi Sanga-sanga masih terus dikeruk. Hidup memang memilih, pasti ada yang terkorbankan. Apalagi kalau bukan alam dan masa depan Sanga-sanga.
Berdasarkan catatan Wikipedia, Sanga-sanga adalah: "Kecamatan Sanga-Sanga memiliki luas wilayah mencapai 233,4 km2 yang dibagi dalam 5 kelurahan. Sementara jumlah penduduk kecamatan ini mencapai 11.855 jiwa (2005). Kecamatan ini merupakan salah satu wilayah penghasil minyak bumi yang sangat penting di Kalimantan Timur sejak sumur minyak Louise untuk pertama kalinya mulai berproduksi pada tahun 1897, disamping sumur minyak Mathilde yang ada di Balikpapan.
Sanga-Sanga juga terkenal dengan sebuah peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947 ketika para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bahu membahu bersama rakyat mempertahankan Sanga-Sanga dari gempuran Belanda, meski akhirnya korban banyak berjatuhan dari pihak pejuang dan rakyat Sanga-Sanga. Untuk mengenang peristiwa yang disebut sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sanga-Sanga ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selalu menggelar upacara peringatan peristiwa tersebut setiap tanggal 27 Januari".
Kota kecil ini, memiliki sejarahnya yang cukup gemilang karena kandungan emas hitam yang terkandung di dalam tanahnya.
Ibu membawaku ketika aku masih bayi. Dimana ibu yang lain juga memiliki bayi yang usianya dua bulan lebih muda daripada aku. Aku ingat kakak lelaki dari ibuku beserta keluarganya tinggal di bangsal-bangsal itu. Kakal lelaki ibuku, yang biasa kupanggil "Pakde" itu memiliki dua anak wanita dan satu anak lelaki yang masih bayi. Aku tidak mengenal mereka seperti sekarang. Aku memanggil mereka "Mbak" dan "Mas" untuk anak lelakinya.
Hal paling kusuka dari Sanga-sanga adalah menjelajahinya dengan berjalan kaki. Aku tidak akan merasa lelah. rumah-rumah tua adalah sajian favorit mataku di Sanga-sanga. Terakhirkali disana, aku masih sempat menyaksikan pemandangan itu. Rasanya aku tak perlu sesali hidup dengan sajian seperti itu.
Seperti biasa, Bude--biasa aku memanggil istri dari kakak lelaki ibuku--itu pasti menyimpan sambalnya yang buat lidah bergoyang. Kali ini ada menu udang, makanan yang dalam setahun belum tentu kumakandi Jogja atau Jakarta. Makan makanan laut dikota itu rasanya tidak akan senikmat memakannya di Sanga-sanga, atau kota pesisir lain di kalimantan Timur. Aku ingat, ayah kawanku yang pernah jadi serdadu dan dinas di Sanga-sanga bercerita, badan gatal-gatal karena terlalu banyak makan udang di Sanga-sanga.
Seperti biasa, Bude ajak aku ke daerah Muara naik mobil. Bude lagi mau borong udang yang banyak untuk pernikahan Mbak-kuyang kedua. Kami naik mobil dan nikmati Sanga-sanga yang tereksploitasi. Di sepanjang jalan, selain kampung, banyak pertambangan batu-bara. Ini mungkin surga bagi sebagian orang yang menggantungkan hidup dari tambang-tambang itu. Monster-monster bernama "Dump Truck" belum terlihat. Hanya saja perut bumi Sanga-sanga masih terus dikeruk. Hidup memang memilih, pasti ada yang terkorbankan. Apalagi kalau bukan alam dan masa depan Sanga-sanga.
Berdasarkan catatan Wikipedia, Sanga-sanga adalah: "Kecamatan Sanga-Sanga memiliki luas wilayah mencapai 233,4 km2 yang dibagi dalam 5 kelurahan. Sementara jumlah penduduk kecamatan ini mencapai 11.855 jiwa (2005). Kecamatan ini merupakan salah satu wilayah penghasil minyak bumi yang sangat penting di Kalimantan Timur sejak sumur minyak Louise untuk pertama kalinya mulai berproduksi pada tahun 1897, disamping sumur minyak Mathilde yang ada di Balikpapan.
Sanga-Sanga juga terkenal dengan sebuah peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947 ketika para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bahu membahu bersama rakyat mempertahankan Sanga-Sanga dari gempuran Belanda, meski akhirnya korban banyak berjatuhan dari pihak pejuang dan rakyat Sanga-Sanga. Untuk mengenang peristiwa yang disebut sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sanga-Sanga ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selalu menggelar upacara peringatan peristiwa tersebut setiap tanggal 27 Januari".
Kota kecil ini, memiliki sejarahnya yang cukup gemilang karena kandungan emas hitam yang terkandung di dalam tanahnya.
Gambaran Balikpapan Masa Kini
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Balikpapan mengalami banyak perubahan. Lahan baru banyak dibuka menjadi pemukiman penduduk untuk memenuhi kebutuhan Balikpapan yang terus bertambah. Bangunan-bangunan baru lebih banyak berdiri dibanding beberapa tahun sebelumnya. Seperti juga beberapa kota lain di Kalimantan Timur, Balikpapan mulai melebarkan pemukiman penduduknya. pemukiman penduduk itu berusaha dibuat merata. Di daerah pinggiran banyak dibangun pemukiman. Pelabuhan Ferry yang dulu terletak di pelabuhan Sombir, kini berpindah ke Kariangau. Saat ini sangat sulit untuk dapat mencapai pelabuhan Ferry itu, namun ini akan memberi dampak positif dimasa depan.
Ditengah perubahannya, kota ini hingga sekarang masih berusaha memperlihatkan wajahnya yang bersih, aman dan nyaman. Serta berusaha menjadi kota Beriman--seperti jargonnya Balikpapan Beriman. Motto kota ini adalah Gawi Manuntung Waja Sampai Kaputing--artinya apabila memulai suatu pekerjaan maka harus diselesaikan sampai tuntas. Beberapa banguan penting yang menjadi bagian dari pembangunan nasional terdapat di kota ini. Sepinggan yang telah menjadi bandara internasional, telah menjadikan Balikpapan sebagai gerbang Kalimantan Timur. Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (POLDA Kal-Tim) berkantor di kota ini. Begitu juga Markas Komando Daerah Militer (KODAM) VI Tanjung-Pura berada di kota ini.
Keberadaan instalasi kepolisian dan pertahanan di Balikpapan tentunya ikut menghindarkan Balikpapan dari kerusuhan. Hingga saat ini, diluar kasus kriminal biasa, Balikpapan jauh dari kerusuhan berbau SARA--meski banyak etnis menetap kota ini. Etnis paling dominan, seperti Bugis. Perkampungan yang cenderung bersifat kesukuan ada di kota Balikpapan. Orang-orang Bugis lebih banyak tinggal di daerah Kampung Baru, Manggar. Karang Jawa, Karang Bugis dan Karang Anyar banyak di huni orang-orang Bugis Banjar dan Jawa. Suku Jawa banyak bermukim didaerah Karang rejo dan Sumberejo. Walau begitu, paling sedikit telah terjadi pembauran diantara penduduk Balikpapan dan semakin menjadikan kota ini heterogen. Beberapa perkampungan banyak yang penduduknya adalah campuran seperti di daerah Gunung Sari, Gunung Malang dan Gunung Pasir.
Bertambahnya Balikpapan tentu saja akan membawa masalah baru dalam hal kependudukan. Kendati ledakan penduduk tidak besar, namun arus pendatang dari luar Balikpapan semakin besar. Mereka berasal dari Jawa dan pulau lain di Indonesia dan berbagai etnis. Pertumbuhan ekonomi Balikpapan menarik mereka untuk mengadu nasib di kota Balikpapan.
Hal ini sudah menajdi perhatian Imdad Hamid--walikota Balikpapan sekarang--sejak tahun 2001. Akhirnya jumlah pendatang yang masuk di kota Balikpapan dibatasi. Hal ini pastinya menimbulkan kesan “Balikpapan mengisolasi diri”--sebenarnya tidak, Balikpapan hanya ingin meredam masalah sosial pasti akan timbul oleh banyaknya penduduk dengan lahan ekonomi yang suatu saat semakin sempit.
Mata pencaharian orang Balikpapan seperti ada pengkaplingan--khususnya dalam hal perdagangan. Perdagangan sayur dan makanan biasa didominasi oleh orang-orang Jawa. Perdagangan kayu dilakukan oleh orang-orang Madura, perdagangan ikan dilakukan oleh orang-orang Bugis, perdagangan pakaian atau penjahit biasa dilakukan oleh orang-orang Banjar. Sementara untuk posisi pegawai pemerintahan maupun perusahaan swasta umumnya campuran. Tidak ada dominasi etnis didalam instansi manapun di kota Balikpapan.
Pusat keramaian kota ini masih tetap sama sebenarnya, walau saat ini pusat keramaian mulai disebar, ke daerah Balikpapan Baru (Ring Road). Sepanjang Jalan Jenderal Sudirman (Klandasan) adalah daerah yang masih ramai seperti dulu. Banyak pusat perbelanjaan dan perkantoran di sepanjang jalan itu. Angkutan umum dan kendaraan pribadi banyak melintasi jalan itu sepanjang hari. Keramaian Balikpapan mulai hilang setelah pukul 21.00 waktu setempat. Pukul 21.00 hingga pagi hari adalah waktu istirahat bagi seluruh kota Balikpapan.
Instalasi minyak yang sudah ada sejak dulu tentu saja masih ada di Balikpapan. Beberapa perusahaan minyak asing masih memiliki kantor di Balikpapan. Beberapa perusahaan alat berat juga terdapat di kota Balikpapan. Sebuah bandara bertaraf internasional juga berdiri di Balikpapan. Hal ini menjadikan Balikpapan sebagai pintu gerbang Kalimantan Timur.
Bandara yang besar dulu itunya pernah menjadi tonggak kelahiran maskapai penerbangan swasta bernama Bouraq Airline--yang didirikan oleh J.A. Sumandep. Maskapai itu bermula dari pesawat-pesawat yang memfasilitasi transportasi pegawai di Balikpapan. Kala itu Sepinggan masih berupa lapangan rumput yang semakin hari lapangan rumput itu berubah menjadi lapangan besar. Bouraq mulai beroperasi tahun 1970 dengan menghubungkan Jakarta, Balikpapan, Kalimantan dan Surabaya. Armada Bouraq adalah pesawat Douglas DC-3. buatan Amerika.108
Balikpapan semakin terlihat maju sekarang. Orang-orang menilai dengan bertambahnya mall di Balikpapan adalah barometer kemajuan itu. Bandar udara Sepinggam juga menjadi alasan mengapa Balikpapan menjadi kota pelabuhan teramai di Kalimantan Timur.
Jumat, Februari 29, 2008
Musisi Tua dan Tuhannya
"Semua yang ada padaMu ohh...
Membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah bagimu untukMu Tuhanku
Seluruh hidup dan cintaku"
(Gito Rollies, Cinta yang Tulus)
Bila mendengar lagu itu versi sebelum dirilis Gito Rollies bersama Gigi, liriknya pastilah berbeda. Tanya saja pada orang-orang yang hidup sepanjang dekade 1970an yang mengikuti perkembangan lagu Indonesia. Perubahan lirik itu menyiratkan sebuah pencerahan yang dialami Gito Rollies diakhir usianya. Gito merubah lirik lagu itu diakhir usianya, beberapa bulan sebelum berpulangnya Gito pada 28 Februari 2008 kemarin.Banyak musisi yang hidup relijius diusia tua. Sebutlah beberapa personil AKA—yang dulu digawangi Ucok Harahap—yang kehidupan masa tuanya merasa lebih tentram dibanding ketika mereka masih muda dan jaya dulu. Mereka kembali pada Tuhan. Kini mereka menjadi orang relijius.
Gito Rollies pun merasa masa mudanya cukup kelam. Masa dimana Gito berkarya, berjaya dan lakukan banyak kegilaan. Mungkin juga, Gito Rollies berpikir, dirinya jauh dari Tuhan di kala muda itu. Atas dosa-dosa masa lalu, yang Gito Rollies rasakan, maka masa tuanya diisi dengan pertobatan.
Hari kelulusan SMA, Gito melakukan hal gila. Dia merasa tidak akan lulus SMA karena kebadungannya. Setelah lihat papan pengumuman, dia dinyatakan lulus. Gito pun senang. Dia bugil keliling kota Bandung untuk merayakan kebebasan dari sekolah yang mungkin menyiksa dan membosankan itu. Kegilaannya semakin menjadi ketika dirinya menjadi bagian dari sejarah musik Indonesia bersama band legendarisnya, The Rollies. Keanggotaan yang membuat dirinya memakai nama Rollies di belakang nama panggilannya. Nama asli Gito adalah Bangun Sugito Tukiman, kelahiran Biak 1 November 1947, dari namanya bisa ditebak dia adalah keturunan Jawa. Dia habiskan masa mudanya jauh dari tanah kelahirannya.
Bersama The Rollies, yang pendiriannya disponsori orang tua Deddy Stanzah, Gito melanglang buana keluar negeri. Mereka pernah tampil dan rekaman di Singapura. The Rollies memiliki ciri khas yang rasanya tidak dimiliki band Indonesia lainnya pada masa itu, mungkin juga masa sekarang. Mereka mirip Chicago. Musik mereka yang kerap memakai brass section (alat tiup), membuat mereka mirip Brassband. Jago Trombon Indonesia, Benny Likumahua, pernah mencurahkan hidupnya di band yang katanya tergolong kaya di zamannya ini. Band dengan alat tiup, orang pasti akan berasosiasi pada musik ska, seperti yang dimainkan Tipe X sekarang ini. Tapi ini The Rollies, mereka tergolong sangar di zamannya.
Mereka tidak hanya satu vokalis. Gito salah satunya. Suara Gito yang serak sudah cukup dikenal di zamannya. Mirip Rod Steward, Sting atau Ikang Fauzi lah. Gito bahkan sempat ikut terlibat dalam beberapa film.
Gito terlibat dalam film “Janji Joni” dan “Ada Apa Dengan Cinta” di masa kebangkitan kembali film Indonesia. Gito tidak meninggalkan dunia seni di akhir hidupnya. Tidak sekedar mengganjal perut, tapi juga berusaha memberi sesutu dalam perkembangan budaya populer Indonesia. Dia masih jalani hidup sebagai seniman dimasa dia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Gito Rollies boleh menyesali apa yang dia perbuat dimasa mudanya, yang mungkin dianggapnya buruk. Namun tidak sepenuhnya yang dilakukan Gito buruk. Bersama The Rollies, Gito Rollies ikut memberi warna dalam musik pop Indonesia. Kini, musisi bersuara serak itu pergi meninggalkan dunia dengan karya-karyanya. Orang akan selalu ingat suara serak Gito karena ‘yang terekam tak pernah mati’. Gito boleh merasa pernah jauhdari Tuhannya, namun Gito tidak menyiakan apa yang diberikan Tuhannya. Dia Berkarya dengan suara dan bakat musiknya. Kedekatannya pada Tuhan telah terlihat dalam lirik lagu diatas.
Aku menulis ini untuk menghormati Gito Rollies, pada pagi 29 Februari 2008. Kemarin Gito Rollies wafat. Aku harus pulang besok. Mungkin menengok
piringan hitam dimana Gito Rollies berkesenian. Mereka yang berkarya memang tak pernah mati. Ini tulisan kedua di blog setelah hampir sebulan aku mandeg menulis.
Mereka Yang Mati Muda
Mati itu takdir kata orang beragama. Mati hal biasa, meski harus ditangisi. Kematian tetap menjadi misteri menarik bagi beberapa orang. Banyak buku membahas kematian. Seorang kawan bahkan sedang mengedit sebuah buku tentang kematian. Mati itu indah bagi beberapa orang. Ada adegan film dimana kematian begitu indah bagiku. Kematian Sersan Elias Grodin dalam film Platoon. Adegan yang sulit kulupakan, bahkan buat aku terobsesi.
Banyak orang orang hebat yang kukenal mati muda. Sebutlah Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morisson, juga Soe Hok Gie dan lainya. Mereka punya karya yang masih diingat. Nama paling belakang kusebut bahkan menjadi inspirasiku sebagai mahasiswa sejarah. Aku membaca dan akhirnya menulis, itu konsekuensi dari pilihan hidup yang kubuat waktu SMA dulu. Gie seolah menuntunku. Gie mati muda setelah menulis dua skripsinya yang terkenal, “Dibawah Lentera Merah” dan “Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan”. Mahasiswa sejarah Indonesia bodoh saja yang tidak pernah tahu kalau dua buku itu pernah ditulis. Gie mati dalam kedamaian dipuncak Semeru. Tragis sekaligus heroik.
Beberapa penulis dekat dengan kematian. Hidup dan mati seperti dua sisi mata uang dan bukan lagi lawan kata. Paling ekstrim tidak lain sastrawan Jepang. Yasunari Kawabata, orang Asia kedua peraih nobel sastra, mati bunuh diri. Lalu muncul beberapa sastrawan Jepang yang bunuh diri. “Sekali berarti sesudah itu mati”, seperti Chairil Anwar.
Mungkin saja sastrawan dan sebangsanya yang terobsesi dengan kematian itu menganggap kematian itu indah. Seperti Maximus yang merasa melihat pemandangan indah menjelang kematiannya, seperti dalam film Gladiator. Juga oleh Archer dalam Blood Diamond. Keindahan itu seoleh menjadi pintu antara hidup dan mati. Bagi beberapa orang, pintu itu begitu menakutkan. Bagi para mujahid, seperti dipercaya orang Islam, pintu kematian itu begitu indah juga. Ada yang bilang ada bau wangi disekitar pintu kematian bagi orang yang berjuang di jalan Allah (Jihad).
Bagi beberapa orang yang berjuang dengan keyakinan dan mati dalam keyakinan itu indah. Tidak salah bila sebelum di eksekusi Walter Manginsidi menulis: “Setia sampai akhir didalam keyakinan”. Mati itu indah. Walter Manginsidi orang beruntung. Salah besar bila dirinya menyia-nyiakan hidup dan mati muda. Dia meninggalkan puisi yang ditulis dalam penjara. Seperti halnya Soe Hok Gie, Walter Manginsidi adalah manusia yang hidup bebas dan mati muda. Hidup bebas adalah milik mereka yang berjuang bukan milik mereka yang hanya bisa menerima ketidakadilan.
Dua sosok pemuda Indoensia yang mati itu nyaris terlupakan—hanya Gie saja yang sedikit diingat hanya karena film Gie yang dibesut Riri Riza. Keduanya ’kiri’—dalam artian melawan apa yang menjadi arus utama dalam kehidupan mereka dimasa muda. Manginsidi, nyaris tidak menikmati masa mudanya karena perang. Masa muda Manginsidi adalah revolusi yang diliputi opurtunisme. Gie sempat menikmati Bob Dylan dan Joan Baez—ketika Sukarno melarang musik barat.
Sejarah Indonesia tidak hanya mencatat Walter Manginsidi dan Soe Hok Gie saja. Banyak pemuda yang tidak diketahui namanya yang harus mati muda untuk sebuah kebebasan sejati. Banyak diantaranya terlupakan—sebagian diantaranya tidak ingin diingat sebagai pahlawan. Mereka hanya ingin hidup bebas, namun akhirnya mereka mati muda. Mungkin ketika mereka menuju pintu kematian mereka terlihat keindahan membentang hadapan mereka, meski tubuh mereka tertembus peluru.
Banyak orang orang hebat yang kukenal mati muda. Sebutlah Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morisson, juga Soe Hok Gie dan lainya. Mereka punya karya yang masih diingat. Nama paling belakang kusebut bahkan menjadi inspirasiku sebagai mahasiswa sejarah. Aku membaca dan akhirnya menulis, itu konsekuensi dari pilihan hidup yang kubuat waktu SMA dulu. Gie seolah menuntunku. Gie mati muda setelah menulis dua skripsinya yang terkenal, “Dibawah Lentera Merah” dan “Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan”. Mahasiswa sejarah Indonesia bodoh saja yang tidak pernah tahu kalau dua buku itu pernah ditulis. Gie mati dalam kedamaian dipuncak Semeru. Tragis sekaligus heroik.
Beberapa penulis dekat dengan kematian. Hidup dan mati seperti dua sisi mata uang dan bukan lagi lawan kata. Paling ekstrim tidak lain sastrawan Jepang. Yasunari Kawabata, orang Asia kedua peraih nobel sastra, mati bunuh diri. Lalu muncul beberapa sastrawan Jepang yang bunuh diri. “Sekali berarti sesudah itu mati”, seperti Chairil Anwar.
Mungkin saja sastrawan dan sebangsanya yang terobsesi dengan kematian itu menganggap kematian itu indah. Seperti Maximus yang merasa melihat pemandangan indah menjelang kematiannya, seperti dalam film Gladiator. Juga oleh Archer dalam Blood Diamond. Keindahan itu seoleh menjadi pintu antara hidup dan mati. Bagi beberapa orang, pintu itu begitu menakutkan. Bagi para mujahid, seperti dipercaya orang Islam, pintu kematian itu begitu indah juga. Ada yang bilang ada bau wangi disekitar pintu kematian bagi orang yang berjuang di jalan Allah (Jihad).
Bagi beberapa orang yang berjuang dengan keyakinan dan mati dalam keyakinan itu indah. Tidak salah bila sebelum di eksekusi Walter Manginsidi menulis: “Setia sampai akhir didalam keyakinan”. Mati itu indah. Walter Manginsidi orang beruntung. Salah besar bila dirinya menyia-nyiakan hidup dan mati muda. Dia meninggalkan puisi yang ditulis dalam penjara. Seperti halnya Soe Hok Gie, Walter Manginsidi adalah manusia yang hidup bebas dan mati muda. Hidup bebas adalah milik mereka yang berjuang bukan milik mereka yang hanya bisa menerima ketidakadilan.
Dua sosok pemuda Indoensia yang mati itu nyaris terlupakan—hanya Gie saja yang sedikit diingat hanya karena film Gie yang dibesut Riri Riza. Keduanya ’kiri’—dalam artian melawan apa yang menjadi arus utama dalam kehidupan mereka dimasa muda. Manginsidi, nyaris tidak menikmati masa mudanya karena perang. Masa muda Manginsidi adalah revolusi yang diliputi opurtunisme. Gie sempat menikmati Bob Dylan dan Joan Baez—ketika Sukarno melarang musik barat.
Sejarah Indonesia tidak hanya mencatat Walter Manginsidi dan Soe Hok Gie saja. Banyak pemuda yang tidak diketahui namanya yang harus mati muda untuk sebuah kebebasan sejati. Banyak diantaranya terlupakan—sebagian diantaranya tidak ingin diingat sebagai pahlawan. Mereka hanya ingin hidup bebas, namun akhirnya mereka mati muda. Mungkin ketika mereka menuju pintu kematian mereka terlihat keindahan membentang hadapan mereka, meski tubuh mereka tertembus peluru.
Minggu, Februari 03, 2008
Oeroeg: "Saudara Sedarah" Yang Tidak Sedarah
Tersebutlah seorang bocah pribumi bernama Oeroeg disebuah dusun miskin. Tidak jauh dari situ tinggal seorang bocah Belanda bernama Johan van Berghe. Karena ini suasana kolonial, pastinya Johan anak ondernemer (pengusaha perkebunan) Belanda itu tampil sebagai the have, Oeroeg sebagai the have not-nya. Itulah nusantara dekade 1930an.
Oeroeg tergolong anak cerdas di dusunnya. Satu sebab dia akhirnya bisa kuliah kedokteran, disamping simpati dari orang Belanda disekitar Johan pada Oeroeg.
Plot campuran dalam film ini, bukan untuk memperumit cerita. Plot yang tidak kronologis mungkin akan membuat film ini agak sulit dinikmati penonton umum. Plot film yang campuran dan acak itu seperti memberi bayangan pada kita tentang perubahan nusantara yang nyaris sulit ditebak. .Bagaimanapun film dari adaptasi roman yang juga bewrjudul Oeroeg karya Hella Haase, lalu diteruskan menjadi film dibawah besutan sutradara Hans Hylkema, berusaha menyajikan suasana Indis yang terkubur oleh revolusi kemerdekaan negara baru bernama Indonesia di tanah nusantara ini. Durasi 114 menit itu dimanfaatkan dengan tepat bagaimana membangun suasana perubahan dari kolonial menuju revolusi yang tidak jarang diliputi kekacauan. Film rilisan 1993 memberikan gambaran cukup realis dengan suasana masa transisi dalam sejarah Indonesia sekitar 1945Hal menarik dari cerita ini adalah bagaimana rasa persaudaraan lahir tidak dalam aliran darah yang sama. Persaudaraan hanya timbul dengan bagaimana kita berbagi pada orang lain. Seperti dalam alam pikir Johan kecil. Politik boleh saja mengatasnamakan kebaikan. Seperti politik kolonial yang berusaha perhatikan kebaikan masyarakat kulit putih. Politik kolonial sifat rasis bukan bagian dari diri Johan. Hingga dewasa, Johan bukan orang yang peduli pada masalah politik. Alasan dia kembali ke Kedungjati—tempat dia habiskan masa kecilnya tidak lain—hanya mencari misteri tentang saudara sedarahnya Oeroeg.
Pusaran politik besar dunia, Perang Dunia II, begitu jauh memisahkan persahabatan unik itu. Johan tertahan di Negeri Belanda, sementara ayahnya tertahan di Jawa. Oeroeg, sebagai bagian dari intelektual bumiputra yang sadar akan pembebasan, akhirnya menjadi bagian dari kelompok pendukung Republik. Johan, secara politis ada diseberang Oeroeg, menjadi bagian dalam pemuda Belanda yang ”dipaksa berperang” melawan orang Republik yang sebenarnya tidak mereka musuhi. Mereka terjun karena politik ’paksa” pemerintah bernama Wajib Militer untuk bergabung dalam Koninklijk Leger (KL). Johan adalah Letnan dengan kemampuan Zeni Bangunan yang memperbaiki jembatan. Diseberang sana ada Oeroeg yang menjadi orang penting dalam sebuah milisi Republik.
Sebagai perwira KL, Johan tergolong desertif dan kerap bermasalah dengan perwira perwira atasannya—yang dapat informasi dari NEFIS (intelejen Belanda di Indoensia) tentan kegiatan pribadi Johan yang menyimpang dari kebiasaan tentara umumnya. Dia bisa menghilang kemana saja menuruti intuisinya untuk mencari ”saudara sedarahnya” dan memecahkan sebuah misteri yang meliputi dirinya, Oeroeg, ayah Johan dan ayah Oeroeg yang menjadi ’jongos’ dirumah Johan dan tewas ketika mengambil arloji ayah Johan yang jatuh ke dalam danau. Insiden kematian ayah Oeroeg itu menjadi bagian misteri dari Johan hingga dewasa. Ada cacat orang Belanda dalam superioritas mereka sebagai penguasa nusantara kala itu.
Tidak mudah mencari Oeroeg. Johan harus lalui banyak hal hingga tertangkap milisi Republik dan ditawan. Johan juga harus melihat ayahnya tewas dimakan revolusi kemerdekaan Indonesia yang kacau di Kedungjati, dimana pikiran Johan setelah ayahnya tewas semakin tertuju pada Oeroeg. Johan akhirnya tahu bahwa Oeroeg telah ditawan Tentara Belanda selama enam bulan. Tiba waktu pertukaran tahanan antara milisi Republik dengan tentara Belanda, Johan yang seorang diri ditukar dengan sebelas orang Belanda. Mereka dilepas bersamaan. Johan maju seorang diri sambil memperhatikan tawanan Indonesia yang berjalan berhadapan dengannya di sebuah jembatan. Joham memperhatikan satu persatu, dilihat tawanan terakhir dibelakang, seorang yang nampak terpelajar. ”Saudara Sedarah” Johan itu muncul. Johan menawarkan persahabatan lama itu, sementara Oeroeg yang hanya bilang ”Asalkan sebelas orang Indonesia tidak ditukar dengan seorang Belanda”. Oeroeg nampak dibakar revolusi kemerdekaan. Oeroeg menjaga persahabatan itu begitu dalam dan dia hanya tampakan darah revolusinya. Pertemuan di jembatan itu adalah satu-satunya pertemuan antara dua ”saudara sedarah”. Setelah itu, mereka kembali pada kehidupan mereka ketika Tentara Belandaangkat kaki dari Indonesia. Bagaimanapun sahabat tetap sahabat. Perang dan revolusi hanya permainan dunia yang harus dilalui tanpa harus membunuh ”saudara sedarah” di dalam hati manusia.
Oeroeg tergolong anak cerdas di dusunnya. Satu sebab dia akhirnya bisa kuliah kedokteran, disamping simpati dari orang Belanda disekitar Johan pada Oeroeg.
Plot campuran dalam film ini, bukan untuk memperumit cerita. Plot yang tidak kronologis mungkin akan membuat film ini agak sulit dinikmati penonton umum. Plot film yang campuran dan acak itu seperti memberi bayangan pada kita tentang perubahan nusantara yang nyaris sulit ditebak. .Bagaimanapun film dari adaptasi roman yang juga bewrjudul Oeroeg karya Hella Haase, lalu diteruskan menjadi film dibawah besutan sutradara Hans Hylkema, berusaha menyajikan suasana Indis yang terkubur oleh revolusi kemerdekaan negara baru bernama Indonesia di tanah nusantara ini. Durasi 114 menit itu dimanfaatkan dengan tepat bagaimana membangun suasana perubahan dari kolonial menuju revolusi yang tidak jarang diliputi kekacauan. Film rilisan 1993 memberikan gambaran cukup realis dengan suasana masa transisi dalam sejarah Indonesia sekitar 1945Hal menarik dari cerita ini adalah bagaimana rasa persaudaraan lahir tidak dalam aliran darah yang sama. Persaudaraan hanya timbul dengan bagaimana kita berbagi pada orang lain. Seperti dalam alam pikir Johan kecil. Politik boleh saja mengatasnamakan kebaikan. Seperti politik kolonial yang berusaha perhatikan kebaikan masyarakat kulit putih. Politik kolonial sifat rasis bukan bagian dari diri Johan. Hingga dewasa, Johan bukan orang yang peduli pada masalah politik. Alasan dia kembali ke Kedungjati—tempat dia habiskan masa kecilnya tidak lain—hanya mencari misteri tentang saudara sedarahnya Oeroeg.
Pusaran politik besar dunia, Perang Dunia II, begitu jauh memisahkan persahabatan unik itu. Johan tertahan di Negeri Belanda, sementara ayahnya tertahan di Jawa. Oeroeg, sebagai bagian dari intelektual bumiputra yang sadar akan pembebasan, akhirnya menjadi bagian dari kelompok pendukung Republik. Johan, secara politis ada diseberang Oeroeg, menjadi bagian dalam pemuda Belanda yang ”dipaksa berperang” melawan orang Republik yang sebenarnya tidak mereka musuhi. Mereka terjun karena politik ’paksa” pemerintah bernama Wajib Militer untuk bergabung dalam Koninklijk Leger (KL). Johan adalah Letnan dengan kemampuan Zeni Bangunan yang memperbaiki jembatan. Diseberang sana ada Oeroeg yang menjadi orang penting dalam sebuah milisi Republik.
Sebagai perwira KL, Johan tergolong desertif dan kerap bermasalah dengan perwira perwira atasannya—yang dapat informasi dari NEFIS (intelejen Belanda di Indoensia) tentan kegiatan pribadi Johan yang menyimpang dari kebiasaan tentara umumnya. Dia bisa menghilang kemana saja menuruti intuisinya untuk mencari ”saudara sedarahnya” dan memecahkan sebuah misteri yang meliputi dirinya, Oeroeg, ayah Johan dan ayah Oeroeg yang menjadi ’jongos’ dirumah Johan dan tewas ketika mengambil arloji ayah Johan yang jatuh ke dalam danau. Insiden kematian ayah Oeroeg itu menjadi bagian misteri dari Johan hingga dewasa. Ada cacat orang Belanda dalam superioritas mereka sebagai penguasa nusantara kala itu.
Tidak mudah mencari Oeroeg. Johan harus lalui banyak hal hingga tertangkap milisi Republik dan ditawan. Johan juga harus melihat ayahnya tewas dimakan revolusi kemerdekaan Indonesia yang kacau di Kedungjati, dimana pikiran Johan setelah ayahnya tewas semakin tertuju pada Oeroeg. Johan akhirnya tahu bahwa Oeroeg telah ditawan Tentara Belanda selama enam bulan. Tiba waktu pertukaran tahanan antara milisi Republik dengan tentara Belanda, Johan yang seorang diri ditukar dengan sebelas orang Belanda. Mereka dilepas bersamaan. Johan maju seorang diri sambil memperhatikan tawanan Indonesia yang berjalan berhadapan dengannya di sebuah jembatan. Joham memperhatikan satu persatu, dilihat tawanan terakhir dibelakang, seorang yang nampak terpelajar. ”Saudara Sedarah” Johan itu muncul. Johan menawarkan persahabatan lama itu, sementara Oeroeg yang hanya bilang ”Asalkan sebelas orang Indonesia tidak ditukar dengan seorang Belanda”. Oeroeg nampak dibakar revolusi kemerdekaan. Oeroeg menjaga persahabatan itu begitu dalam dan dia hanya tampakan darah revolusinya. Pertemuan di jembatan itu adalah satu-satunya pertemuan antara dua ”saudara sedarah”. Setelah itu, mereka kembali pada kehidupan mereka ketika Tentara Belandaangkat kaki dari Indonesia. Bagaimanapun sahabat tetap sahabat. Perang dan revolusi hanya permainan dunia yang harus dilalui tanpa harus membunuh ”saudara sedarah” di dalam hati manusia.
Jumat, Februari 01, 2008
Lihat Nusantara Lewat Mata Inada Dao
Letupan Krakatau itu mulai menyambut Inada Dao (Bunda Dao) untuk bercerita tentang anak-anaknya lewati gambar-gambar hidup. Fenomena letusan itu seperti mengajak kita untuk mendengar Inada Dao bercerita. Setelahnya akan muncul rangkaian gambar hidup mengenai suasana kolonial, yang mungkin juga akan memilukan sebuah bangsa nestapa kala itu yang ribuan tahun mendiami mendiami nusantara ini. Akan tergambar bagaimana orang-orang ribumi direkrut menjadi kuli kontrak untuk perkebunan. Diantara kuli itu mungkin juga beberapa dari mereka yang akan menjadi korban Poenale Sanctie dari onderneming (perkebunan), salah satunya di Deli, tempat mereka menyambung hidup. Seorang penginjil yang berkuda dengan diantar oelh seorang pribumi yang berjalan telanjang kaki akan terekam. Dimana penginjil itu itu mengalami nasib malang karena jatuh ke air ketika menyeberangi sungai.
Kisah Moeder Dao masih panjang. Di Bowomataluo, sebuah kampung penting di Teluk Dalam Nias Selatan, para ksatria Nias dengan pakaian kebesarannya berkumpul didepan rumah pemuka mereka, tepat ditempat yang sekarang biasa diadakan Hombo Batu (lompat batu Nias). Kemajuan jaringan kereta api dan konsumsi mobil oleh orang-orang kaya di Hindia Belanda juga disajikan. Mobil begitu ekskusif seolah hanya dinikmat oleh orang-orang Eropa kaya yang tinggal di tanah Jawa. Kala itu, 1912 hinga 1932, kereta api telah mampu melewati perbukitan, sungaiyang curam di Jawa Tengah. Inada Dao juga bercerita tentang suasana para buruh pabrk di Balikpapan bekerja di bengkel trem (kereta), sebuah kendaraan yan hilang dan tidak mungkin lagi ditemui di kota itu. Sejarah pelayaran modern di nusantara akan diwakili oleh seuah kapal milik Kononkljk Packetvart Maatschappij (KPM) yang melayari sungai besar di Kalimantan Bagian Selatan. Pemandangan aneh anak Bali yang merokok juga direkam dengan baik dalam film okumenter ini. Rasanya bukan cuma itu yang akan diceritakan Bunda Dao tentang Nusantara.
Selama 88 menit, mata penonton akan lihat bagamana nusantara, nama paling indah untuk menyebut kepulauan raya ini, dalam kurun waktu 1912 hingga 1932. Zaman dimana lebih banyak diputar film-film bisu di nusantara ini. Film ini tidak bercerita seperti film-film komersil. Gambar film ini berbicara lewat potongan-potongan film yang dirangkai Vincent Monnikendam sang sutradara.
Film ini dirilis pada 1995. Gambaran nusantara dalam film ini tidak disajikan secara runtut oleh Monnikendam. Sajian gambar secara acak itu cukup artistik, walaupun ketika gambar hdup itu diambil dalam kurun waktu 1912 hingga 1932 bukanlah untuk tujuan artistik.
Monnikendam kumpulkan rangkaian film-film bisu yang diambil oleh kameramen Belanda pada tahun 1912 hingga 1932. Dari gambar kita lihat dalam film itu, tampaknya sang kameramen harus mengunjungi daerah-daerah terpencil yang kala itu dalam genggaman Sang Ratu Wilhelmina dari Belanda. Betapa, dengan susah payah sang kameramen harus membawa peralatannya ke daerah yang sulit djangkau mesin mobil kala itu. Bisa di bayangkan bagaimana sulitnya dengan teknologi rekam gambar hidup yang jauh dengan masa sekarang. Demi Ratu Belanda, rasanya kameramen itu sajikan bagaimana Nusantara yang telah digenggam imperium keluarga wanita yang mungkin hanya bersolek di Istana Negeri Belanda.
Sangat menarik dari judul film ini adalah mengambil istilah Nias untuk ibu atau Bunda, "Inada". Inada Dao adalah sosok yang sangat dipuja oleh masarakat Nias kuno. Konon, manusia diturunkan oleh Bunda Dao ke dunia disebuah tempat yang disebut "Bumi Manusia" atau Tana Niha (pulau Nias). Bunda Dao bisa dipadankan dengan ibu pertiwi. Inada Dao mungkin hanya istilah orang Nias saja, namun itu sudah cukup untuk menyebut sosok yang melahirkan manusia nusantara, yang bercerita dalam film ini. Inada Dao bercerita tentang nusantara untuk mencintainya. Cinta yang akan menerangi manusia nusantara itu, seperti dalam sebuah lagu, "Bagai sang surya menyinari dunia".
Kisah Moeder Dao masih panjang. Di Bowomataluo, sebuah kampung penting di Teluk Dalam Nias Selatan, para ksatria Nias dengan pakaian kebesarannya berkumpul didepan rumah pemuka mereka, tepat ditempat yang sekarang biasa diadakan Hombo Batu (lompat batu Nias). Kemajuan jaringan kereta api dan konsumsi mobil oleh orang-orang kaya di Hindia Belanda juga disajikan. Mobil begitu ekskusif seolah hanya dinikmat oleh orang-orang Eropa kaya yang tinggal di tanah Jawa. Kala itu, 1912 hinga 1932, kereta api telah mampu melewati perbukitan, sungaiyang curam di Jawa Tengah. Inada Dao juga bercerita tentang suasana para buruh pabrk di Balikpapan bekerja di bengkel trem (kereta), sebuah kendaraan yan hilang dan tidak mungkin lagi ditemui di kota itu. Sejarah pelayaran modern di nusantara akan diwakili oleh seuah kapal milik Kononkljk Packetvart Maatschappij (KPM) yang melayari sungai besar di Kalimantan Bagian Selatan. Pemandangan aneh anak Bali yang merokok juga direkam dengan baik dalam film okumenter ini. Rasanya bukan cuma itu yang akan diceritakan Bunda Dao tentang Nusantara.
Selama 88 menit, mata penonton akan lihat bagamana nusantara, nama paling indah untuk menyebut kepulauan raya ini, dalam kurun waktu 1912 hingga 1932. Zaman dimana lebih banyak diputar film-film bisu di nusantara ini. Film ini tidak bercerita seperti film-film komersil. Gambar film ini berbicara lewat potongan-potongan film yang dirangkai Vincent Monnikendam sang sutradara.
Film ini dirilis pada 1995. Gambaran nusantara dalam film ini tidak disajikan secara runtut oleh Monnikendam. Sajian gambar secara acak itu cukup artistik, walaupun ketika gambar hdup itu diambil dalam kurun waktu 1912 hingga 1932 bukanlah untuk tujuan artistik.
Monnikendam kumpulkan rangkaian film-film bisu yang diambil oleh kameramen Belanda pada tahun 1912 hingga 1932. Dari gambar kita lihat dalam film itu, tampaknya sang kameramen harus mengunjungi daerah-daerah terpencil yang kala itu dalam genggaman Sang Ratu Wilhelmina dari Belanda. Betapa, dengan susah payah sang kameramen harus membawa peralatannya ke daerah yang sulit djangkau mesin mobil kala itu. Bisa di bayangkan bagaimana sulitnya dengan teknologi rekam gambar hidup yang jauh dengan masa sekarang. Demi Ratu Belanda, rasanya kameramen itu sajikan bagaimana Nusantara yang telah digenggam imperium keluarga wanita yang mungkin hanya bersolek di Istana Negeri Belanda.
Sangat menarik dari judul film ini adalah mengambil istilah Nias untuk ibu atau Bunda, "Inada". Inada Dao adalah sosok yang sangat dipuja oleh masarakat Nias kuno. Konon, manusia diturunkan oleh Bunda Dao ke dunia disebuah tempat yang disebut "Bumi Manusia" atau Tana Niha (pulau Nias). Bunda Dao bisa dipadankan dengan ibu pertiwi. Inada Dao mungkin hanya istilah orang Nias saja, namun itu sudah cukup untuk menyebut sosok yang melahirkan manusia nusantara, yang bercerita dalam film ini. Inada Dao bercerita tentang nusantara untuk mencintainya. Cinta yang akan menerangi manusia nusantara itu, seperti dalam sebuah lagu, "Bagai sang surya menyinari dunia".
Kamis, Januari 31, 2008
Genjer-genjer Tak Pernah Mati
"Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Genjer-genjer. Nong kedok’an pating keleler. Emak’e tole, teko-teko mbubuti genjer. Oleh sak tenong. Mungkor sedot seng tole-tole. Genjer-genjer. Saiki wis digowo muleh. Genjer-genjer. Isuk-isuk didol ning pasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Dijejer-jejer, diuntingi, podo didasar. Emae’ Jebreng. Podo tuku nggowo welasan. Genjer-genjer saiki wis arep diolah. (Muhammad Arief, Genjer-genjer)
Ini bukan lagu mars Partai Komunis Indonesia, ini hanya lagu rakyat Genjer-genjer.Tapi banyak orang menganggap ini lagu PKI. Seorang kawan pernah bilang, "aku bisa di tempeleng ayahku kalau nyanyikan lagu itu". Lagu itu biasa dinyanyikan sebagian mahasiswa nakal di kampus. Lagu tadi sudah menjadi lagu haram selama Suharto berkuasa. Kini, apalagi setelah sang diktator itu tumbang, lagu itu perlahan sudah tidak haram lagi. Hanya beberapa orang tua masih tabu dan menganggap itu "lagu PKI"
Memang banyak orang menganggap ini "lagu PKI". Sejarah Indonesia masa orde baru memang menggelikan. Sejarah orde baru seperti mencuri karya budaya Banyuwangi, untuk dijadikan "alat pembenci massa". Genjer-genjer yang awalnya jeritan berbentuk lagu rakyat miskin, lapar dan tertindas dijadikan "setan yang harus dibenci". Sama halnya, Das Kapital, yang merupakan buku anti kapitalisme. Oleh orde baru buku ini adalah "buku setan" padahal ini buku yang wajib dibaca mahasiswa Ekonomi. Pembodohan oleh negara selama 3 dekade ini sempurna sudah. Ada buku terlarang, lagu terlarang, mungkin juga keyakinan terlarang.
Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menyatakan, lagu Genjer-genjer sebenaranya diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943. “M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Lagu ini lalu menjadi lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo. Lagu ini pernah dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani ketika orde lama belum tumbang.
Bisa ditangkap dari lirik lagu ini, isinya seputar kelaparan. Dimana seorang ibu berusaha keras memberi makan anaknya dari tanaman genjer yang tumbuh liar. Malangnya sang anak tidak tertolong. Setelah orde lama tumbang, lagu yang kerap dinyanyikan orang-orang kiri Indonesia lalu diberi "lebel haram". Lagu ini dicap sebagai lagu PKI, setelah PKI dan segala hal yang berbau dengan PKI dilarang.
Segera, lagu yang bercerita tentang kelaparan itu dilarang. Entah. Lagu ini tidak bicara dan mengajak orang untuk melawan negera. Lagu ini tidak mengajak manusia untuk berhenti bersujud pada Tuhan. Lagu ini hanya cerita seorang ibu yang memperjuangkan anaknya yang hampir habis usianya dengan mencabuti genjer-genjer yang tumbuh liar dipekarangan.
Dosa lagu ini, dimana rezim orde baru dan simpatisannya, hanya karena lagu ini pernah dinyanyikan orang PKI. Bila lagu ini tidak pernah dinyanyikan orang-orang PKI, maka lagu ini tidak akan menjadi lagu terlarang dimasa orde baru.
Dosa sebuah lagu ini juga menjadi azab bagi penciptanya, Muhamad Arif sekeluarga. Muhamad Arif harus menjadi korban vandalisme massa orde baru. Dimasa selanjutnya, nasib anak Muhamad Arif, Sinar Syamsi. Sebagai "anak PKI" Syamsi kerap di PHK tanpa alasan jelas. G 30 S seperti dianggap dosa ayahnya yang harus menimpa dirinya, seperti yang diinginkan rezim Suharto. Pernah terpikir oleh Syamsi untuk menjadi warga negara Belanda atau China. Berharap lagu genjer-genjer akan memberikan kebahagian dari orang-orang kiri disana. Ibu pertiwi sudah tidak bisa memberinya ketenangan. Ibu Pertiwi hanya milik penguasa, bukan milik "anak-anak PKI".
Lagu ini, boleh saja dsingkirkan pendukung orde baru. Namun Lagu ini akan abadi dinyanyikan orang yang lapar dan tertindas. Mengutip kata Jimi Multazam, "Yang Terekam Tak Pernah Mati". Pastinya, Genjer-gencer juga tak pernah mati. Lagu ini akan terus bercerita penderitaan rakyat di nusantara. Lagu ini juga pernah disenandungkan lagi dalam film "Gie". Bukankah ini berarti lagu ini mengabadi dalam ingatan, setidaknya dalam benak beberapa orang saja.
Senin, Januari 28, 2008
Sosok Dibalik Garuda Pancasila
Hampir semua ruang resmi selalu ada lambang burung Garuda Pancasila. Selalu ada pertanyaan dalam pelajaran sejarah, "siapa yang menjahir "Sang Saka Merah Putih"? murid akan menjawab "Ibu Fatmawati". Tapi tentang burung Garuda yang sudah meng-Indonesia itu, rasanya belum pernah guru di kelas bertanya, "Siapa yang merancang lambang negara "Garuda Pancasila?". Murid juga belum tentu bisa menjawabnya, begitu juga guru sejarahnya. Ini bukan kesalahan guru sejarah. Kurikulum sejarah di negara ini yang harus dirubah. Nasionalisme telah melahirkan kebisuan, dan akan bermuara pada kebohongan lagi.
Mengapa perancang burung Garuda itu dilupakan. Sejarah, yang ditulis kaum nasionalis negeri ini, seperti membuang nama tokoh ini dalam keranjang sampah. Sebagai orang yang tidak sejalan dengan kemauan besar orang-orang Indonesia, Revolusi dengan produk sebuah negara kesatuan, bukan federalis--seperti impian perancang burung garuda tadi.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, terlahir sebagai putra Sultan Pontianak--di Pontianak,Kalimantan Barat, 13 Juni 1913. Sebagai anak orang terpandang, Hamid bisa bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Eropa, Europe Lager School. ELS Hamid dijalani dibeberapa kota seperti di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Tamat ELS, Hamid belajar di sekolah menengah untuk anak Eropa dari yang biasanya lulusan ELS, Hogare Burger School. Tamat HBS, Hamid meneruskan ke Technische Hoge School Bandung (ITB sekarang, namun tidak sampai tamat. Sebagai Pangeran, Hamid seolah terobsesi dengan 'junker' di Eropa. Dimana anak laki-laki keluarga bangsawan menjadi perwira militer. Hamid lalu masuk Koninklijk Miliaitre Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda) di Breda, Negeri Belanda. Tamat dari sana Hamid meraih pangkat letnan II pada kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sebelum PD II, hanya sekitar 20an pemuda pribumi saja yang menjadi kadet KMA.
Hamid berdinas di KNIL hingga mendaratnya Balatentara Jepang. Belanda dan sekutunya dan sekutunya kalah. Kala Jepang mendarat, Hamid menjadi Letnan I KNIL di Balikpapan. Pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan bebas ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendaratan Jepang adalah masa buruk baginya, sebagai perwira KNIL yang ditawan juga sebagai anak dari Sultan Pontianak yang dibunuh Jepang. Setelah comeback-nya Belanda, mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Hamid adalah orang pribumi (Indonesia) termasuk orang dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, walau dia tidak lagi pegang komando dalam pasukan KNIL semasa revolusi Indonesia. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda.
Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Hamid menjadi orang penting dalam masa-masa itu. Sebagai ketua delegasi BFO di KMB. Inilah mengapa banyak orang menilainya sebagai seorang pengkhianat revolusi Indonesia.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Hamid masih menjadi orang penting di Nusantara, dimana dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Selama jabatannya sebgai menteri negara itu dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Hamid seolah tidak puas dengan posisinya ini. Hamid menginginkan kursi Menteri Pertahanan yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kawan ELS Hamid di Yogyakarta dulu.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia teknis untuk membuat lambang negara dengan nama 'Panitia Lencana Negara'. Dimana Hamid menjadi koordinator. Susunan panitia teknis ini terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Menurut Bung Hatta dalam “Bung Hatta Menjawab” ditulis, "untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang". Setelah rancangan dipilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan akhir lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan akhir lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Hamid kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. A.G .Pringgodigdo dalam “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, "rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini".
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan lambang negara itu terus berjalan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. (Wikipedia.com)
Bagaimanapun ini juga karya Hamid, yang juga anak dari bangsa yang bernama Indonesia ini. Kendati Hamid punya sikap berbeda dengan bangsa ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya. Hamid telah bersekongkol dengan Westerling. Setelah gagal dengan "Kudeta 23 Januari 1950", tanggal 24 Januari 1950 sekitar pukul 15.30 sore, Westerling mendatangi Hamid di hotel Des Indes bersama bekas Inspektur Polisi Frans Nayoan. Pertemuan itu melahirkan rencana membunuh Sri Sultan HB IX (Menteri Pertahanan), Ali Budiarjo (Sekretaris Jenderal Pertahanan) lalu T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang RIS) Dalam sidang menteri RIS di Pejambon. Dalam adegan pembunuhan itu, nantinya Hamid akan ditembak kakinya, sementara tiga orang yang disebut tadi akan dibunuh. Nyatanya Westerling dan pasukannya tidak jadi menyerbu dan hanya berputar dengan mobil di sekitar Pejambon. Westerling dan beberapa kawannya putus asa setelah gerakannya gagal. Semetara itu sidang menteri RIS tidak berjalan sebagai-mana mestinya, bubar sebelum waktunya karena Jakarta dianggap tidak aman.
Setelah konspirasi yang gagal itu Hamid hidup sebagai tahanan RIS.
Bagai kehidupan Hamid selanjutnya, seperti dicatat Wikipedia.com: "Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang."
Melihat Burung Garuda Pancasila yang dia rancang itu, rasanya tidak bijak jika mencap Hamid sebagai pengkhianat dalam sejarah Indonesia. Dia juga punya sumbangan lebih, lambang Garuda Pancasila, dibanding orang-orang yang mengatakannya 'pengkhianat'.
Mengapa perancang burung Garuda itu dilupakan. Sejarah, yang ditulis kaum nasionalis negeri ini, seperti membuang nama tokoh ini dalam keranjang sampah. Sebagai orang yang tidak sejalan dengan kemauan besar orang-orang Indonesia, Revolusi dengan produk sebuah negara kesatuan, bukan federalis--seperti impian perancang burung garuda tadi.
Syarif Abdul Hamid Alkadrie, terlahir sebagai putra Sultan Pontianak--di Pontianak,Kalimantan Barat, 13 Juni 1913. Sebagai anak orang terpandang, Hamid bisa bersekolah di sekolah dasar untuk anak-anak Eropa, Europe Lager School. ELS Hamid dijalani dibeberapa kota seperti di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Tamat ELS, Hamid belajar di sekolah menengah untuk anak Eropa dari yang biasanya lulusan ELS, Hogare Burger School. Tamat HBS, Hamid meneruskan ke Technische Hoge School Bandung (ITB sekarang, namun tidak sampai tamat. Sebagai Pangeran, Hamid seolah terobsesi dengan 'junker' di Eropa. Dimana anak laki-laki keluarga bangsawan menjadi perwira militer. Hamid lalu masuk Koninklijk Miliaitre Academie (Akademi Militer Kerajaan Belanda) di Breda, Negeri Belanda. Tamat dari sana Hamid meraih pangkat letnan II pada kesatuan KNIL (Koninklijk Nederlandsche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Sebelum PD II, hanya sekitar 20an pemuda pribumi saja yang menjadi kadet KMA.
Hamid berdinas di KNIL hingga mendaratnya Balatentara Jepang. Belanda dan sekutunya dan sekutunya kalah. Kala Jepang mendarat, Hamid menjadi Letnan I KNIL di Balikpapan. Pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan bebas ketika Jepang menyerah kepada Sekutu. Pendaratan Jepang adalah masa buruk baginya, sebagai perwira KNIL yang ditawan juga sebagai anak dari Sultan Pontianak yang dibunuh Jepang. Setelah comeback-nya Belanda, mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Hamid adalah orang pribumi (Indonesia) termasuk orang dengan pangkat tertinggi dalam KNIL, walau dia tidak lagi pegang komando dalam pasukan KNIL semasa revolusi Indonesia. Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda.
Setelah ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda. Hamid menjadi orang penting dalam masa-masa itu. Sebagai ketua delegasi BFO di KMB. Inilah mengapa banyak orang menilainya sebagai seorang pengkhianat revolusi Indonesia.
Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Hamid masih menjadi orang penting di Nusantara, dimana dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Selama jabatannya sebgai menteri negara itu dia ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Hamid seolah tidak puas dengan posisinya ini. Hamid menginginkan kursi Menteri Pertahanan yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kawan ELS Hamid di Yogyakarta dulu.
Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia teknis untuk membuat lambang negara dengan nama 'Panitia Lencana Negara'. Dimana Hamid menjadi koordinator. Susunan panitia teknis ini terdiri dari Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Menurut Bung Hatta dalam “Bung Hatta Menjawab” ditulis, "untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang". Setelah rancangan dipilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Tanggal 8 Februari 1950, rancangan akhir lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan akhir lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.
Hamid kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. A.G .Pringgodigdo dalam “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, "rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini".
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.
Penyempurnaan lambang negara itu terus berjalan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. (Wikipedia.com)
Bagaimanapun ini juga karya Hamid, yang juga anak dari bangsa yang bernama Indonesia ini. Kendati Hamid punya sikap berbeda dengan bangsa ini.
Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya. Hamid telah bersekongkol dengan Westerling. Setelah gagal dengan "Kudeta 23 Januari 1950", tanggal 24 Januari 1950 sekitar pukul 15.30 sore, Westerling mendatangi Hamid di hotel Des Indes bersama bekas Inspektur Polisi Frans Nayoan. Pertemuan itu melahirkan rencana membunuh Sri Sultan HB IX (Menteri Pertahanan), Ali Budiarjo (Sekretaris Jenderal Pertahanan) lalu T.B. Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang RIS) Dalam sidang menteri RIS di Pejambon. Dalam adegan pembunuhan itu, nantinya Hamid akan ditembak kakinya, sementara tiga orang yang disebut tadi akan dibunuh. Nyatanya Westerling dan pasukannya tidak jadi menyerbu dan hanya berputar dengan mobil di sekitar Pejambon. Westerling dan beberapa kawannya putus asa setelah gerakannya gagal. Semetara itu sidang menteri RIS tidak berjalan sebagai-mana mestinya, bubar sebelum waktunya karena Jakarta dianggap tidak aman.
Setelah konspirasi yang gagal itu Hamid hidup sebagai tahanan RIS.
Bagai kehidupan Hamid selanjutnya, seperti dicatat Wikipedia.com: "Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang."
Melihat Burung Garuda Pancasila yang dia rancang itu, rasanya tidak bijak jika mencap Hamid sebagai pengkhianat dalam sejarah Indonesia. Dia juga punya sumbangan lebih, lambang Garuda Pancasila, dibanding orang-orang yang mengatakannya 'pengkhianat'.
Penentu Sejarah Baru
Tidak ada kata pahlawan dan pengkhianat dalam sejarah. Bilapun ada hal itu tidak jauh dari amis politis rezim.Kejaksaan baru saja membakar buku-buku sejarah, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Entah apa maksud dari kejaksaan itu. Kejaksaan saat ini tidak ada bedanya dengan Kejaksaan zaman orde lama yang doyan menghanguskan piringan hitam The Beatles pada dekade 1960an.Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.
Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.
Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, buku-buku sejarah harus menjadikan buku putih yang berjudul Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI Di Indonesia yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, keduanya pejabat rezim lalu yang sudah tumbang—dimana PKI ditampilkan sebagai pelaku tunggal G 30 S. begitupun yang diterbitkan Sekretaris Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Setelah reformasi bergulir, banyak pendapat yang bertentangan dengan dua pejabat rezim orba itu, beberapa cetakan buku tidak memakai istilah PKI dibelakang G 30 S.
Sekarang permasalahannya tidak lagi pada pakai PKI atau tidak pakai PKI dalam istilah G 30 S. Hak setiap orang untuk menggunakan untuk memakai istilah G 30 S atau G 30 S/PKI—tidak peduli itu sejarahwan atau bukan karena menafsirkan sejarah adalah hak siapa saja, termasuk orang-orang awam dipinggir jalan sekalipun.
Sangat disayangkan adalah pembakaran itu telah menampilkan pembakar sebagai penentu kebenaran sejarah, dimana darinyalah semua boleh dipercaya. Kejaksaan rupanya telah memiliki fungsi baru sebagai penentu kebenaran sejarah di negeri ini. Sejarahwan paling kesohor sekalipun tidak akan mau menjadi penentu kebenaran karena bagaimanapun tugas sejarahwan bukan menentukan kebenaran, melainkan menafsirkan sebuah peristiwa sejarah.
Sejarahwan hampir selalu dikejar pertanyaan "mana yang benar?" oleh banyak orang. Ini pertanyaan sulit dijawab oleh sejarahwan karena kebenaran itu nisbi. Sejarahwan tidak perlu menjawab mana yang benar. Dengan memberikan penafsiran atas sebuah peristiwa sejarah saja, kendati menurut paradigmanya sendiri, sebenarnya sejarahwan telah melakukan tugasnya.
Sejarahwan besar saja tidak pernah merasa bahwa apa yang menjadi analisisnya adalah sebuah kebenaran. Begitupun sejarahwan lain, mereka lebih suka menafsirkan daripada membuat kebenaran. Dunia pendidikan Indoensia masih berusaha diarahkan ke alam fasis dimana institusi negara selalu benar—seperti dalam novel 1984 karya George Orwell. Paradigma pendidikan Indonesia, dalam memandang sejarah, tidaklah bersikap adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan dan kemapanan.
Disayangkan pembenaran sejarah yang sering dilakukan rezim yang sudah lewat, tidak lebih untuk melegalisasi kekuasaannya agar terus bertahan. Akibatnya, lawan politis sang penguasa masuk keranjang sampah bergelar pengkhianat dan sang penguasa dan yang segaris dengan penguasa akan menjadi pahlawan.
Sejarah dijadikan daftar yang memuat para pahlawan dan pengkhianat, padahal sejarah mengajarkan manusia untuk tidak lebih bodoh daripada keledai. Nyatanya dengan paradigma sejarah yang dianut orba lebih menjadikan manusia Indonesia lebih bodoh daripada keledai. Dimana manusia Indonesia hanya dijadikan robot demi kekuasaan rezim.
Pelajaran sejarah disekolah menjadi lahan empuk bagi penguasa macam ini, dimana mereka menentukan sejarah mereka sendiri tanpa peduli paradigma sejarah menyesatkan generasi muda mereka. Sah sekali membakar buku bila buku itu tidak sesuai dengan paradigma mereka—begitupun mengganti kurikulum bila dirasa membahayakan.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.
Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.
Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, buku-buku sejarah harus menjadikan buku putih yang berjudul Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI Di Indonesia yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, keduanya pejabat rezim lalu yang sudah tumbang—dimana PKI ditampilkan sebagai pelaku tunggal G 30 S. begitupun yang diterbitkan Sekretaris Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Setelah reformasi bergulir, banyak pendapat yang bertentangan dengan dua pejabat rezim orba itu, beberapa cetakan buku tidak memakai istilah PKI dibelakang G 30 S.
Sekarang permasalahannya tidak lagi pada pakai PKI atau tidak pakai PKI dalam istilah G 30 S. Hak setiap orang untuk menggunakan untuk memakai istilah G 30 S atau G 30 S/PKI—tidak peduli itu sejarahwan atau bukan karena menafsirkan sejarah adalah hak siapa saja, termasuk orang-orang awam dipinggir jalan sekalipun.
Sangat disayangkan adalah pembakaran itu telah menampilkan pembakar sebagai penentu kebenaran sejarah, dimana darinyalah semua boleh dipercaya. Kejaksaan rupanya telah memiliki fungsi baru sebagai penentu kebenaran sejarah di negeri ini. Sejarahwan paling kesohor sekalipun tidak akan mau menjadi penentu kebenaran karena bagaimanapun tugas sejarahwan bukan menentukan kebenaran, melainkan menafsirkan sebuah peristiwa sejarah.
Sejarahwan hampir selalu dikejar pertanyaan "mana yang benar?" oleh banyak orang. Ini pertanyaan sulit dijawab oleh sejarahwan karena kebenaran itu nisbi. Sejarahwan tidak perlu menjawab mana yang benar. Dengan memberikan penafsiran atas sebuah peristiwa sejarah saja, kendati menurut paradigmanya sendiri, sebenarnya sejarahwan telah melakukan tugasnya.
Sejarahwan besar saja tidak pernah merasa bahwa apa yang menjadi analisisnya adalah sebuah kebenaran. Begitupun sejarahwan lain, mereka lebih suka menafsirkan daripada membuat kebenaran. Dunia pendidikan Indoensia masih berusaha diarahkan ke alam fasis dimana institusi negara selalu benar—seperti dalam novel 1984 karya George Orwell. Paradigma pendidikan Indonesia, dalam memandang sejarah, tidaklah bersikap adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan dan kemapanan.
Disayangkan pembenaran sejarah yang sering dilakukan rezim yang sudah lewat, tidak lebih untuk melegalisasi kekuasaannya agar terus bertahan. Akibatnya, lawan politis sang penguasa masuk keranjang sampah bergelar pengkhianat dan sang penguasa dan yang segaris dengan penguasa akan menjadi pahlawan.
Sejarah dijadikan daftar yang memuat para pahlawan dan pengkhianat, padahal sejarah mengajarkan manusia untuk tidak lebih bodoh daripada keledai. Nyatanya dengan paradigma sejarah yang dianut orba lebih menjadikan manusia Indonesia lebih bodoh daripada keledai. Dimana manusia Indonesia hanya dijadikan robot demi kekuasaan rezim.
Pelajaran sejarah disekolah menjadi lahan empuk bagi penguasa macam ini, dimana mereka menentukan sejarah mereka sendiri tanpa peduli paradigma sejarah menyesatkan generasi muda mereka. Sah sekali membakar buku bila buku itu tidak sesuai dengan paradigma mereka—begitupun mengganti kurikulum bila dirasa membahayakan.
Rabu, Januari 16, 2008
Bang Ben Ngerock
Siapa tidak kenal Benyamin Suaeb? Anak muda sekarang, mungkin hanya mengenalnya sebagai pelawak dari film-film komedi Benyamin yang diproduksi dekade 1970an, yang sering diputar televisi swasta di era redupnya film nasional Indonesia dekade 1990an silam. Banyak yang kurang mengenal sebagai musisi rock pada zamannya. Orang lebih mengenal Benyamin sebagai musisi tradisional dengan gambang kromong Betawi-nya. Benyamin memang menjadi legenda dunia hiburan dan panggung komedi Indonesia. Dia juga telah menjadi inspirasi, setidaknya panutan, bagi beberapa seniman muda Indonesia. Kiprah Benyamin sebagai musisi rock n roll pada paruh kedua dekade 1960an seperti terlupakan, padahal lagu 'Kompor Bledug' terbilang dasyat sebelum God Bless dan raksasa rock tanah air lainnya muncul dalam kanca musik rock Indonesia.
Wajah Benyamin kerap hiasi layar kaca Indonesia tahun 1970an. FIlm Benyamin umumnya adalah genre komedi. Film Benyamin mendapat tanggapan positif publik. Film "Intan Berduri" yang dibintanginya mendapatkan piala Citra pada 1978. Benyamin juga pernah memerankan tokoh Doel dalah "Si Doel Anak Modern" bersama rocker legendaris Ahmad Albar.
Benyamin juga pernah merintis karir sebagai musisi sebelum terjun ke dunai film pada dekade 1970an. Benyamin pernah memainkan Gambang Kromong hingga rock n roll. Di dunia musik Benyamin cukup cemerlang. Sebagai musisi rock Benyamin bisa dibilang sukses. Selama orde lama berkuasa, tidak akan ada Beatles, Bee Gees, Everly Brother dan musik lainnya.
Ketika musik rock dilarang pada dekade 1960an, Benyamin seolah melawan meanstream politik yang ada. Sukarno melarang lagu barat yang 'Ngak Ngik Ngok' seperti rock n roll. Orang orde lama bilang musik rock adalah musik setan. Seperti juga Koes Bersaudara, benyamin juga pernah merasakan bui karena ideologi musiknya yang nekad membawakan lagu barat.
Lagu rock n roll paling sukses dipasaran yang dibawakan Benyamin adalah "Kompor Bledug". Lagu ini keluar dipasaran setelah musim anti rock n roll baru saja berlalu. Arransemen lagu ini bisa dibilang Ngerock pada tahun perilisannya, dengan iringan organ dan sound drum yang unik. Mungkin saja arransemen lagu ini tergolong mutakhir pada zamannya. Tentu saja arransemen lagu ini dipengaruhi langsung musik rock n roll dari luar. Lagu ini seperti judulnya juga meledak di pasaran.
Lagu "Kompor Bledug" memiliki persamaan, walau tidak 100%, dengan lagu-lagu rock n roll yang diusung Naif selama beberapa tahun terakhir ini. Naif bahkan pernah bermimpi untuk berkolaborasi dengan Benyamin, namun Benyamin keburu meninggal. Mereka memiliki kecocokan, 'retro banget'.
Benyamin Sueb (1939 - 1995) lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Benyamin telah menghasilkan 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut. Perhatian Benyamin pada Gambang Kromong, secara tidak langsung, mentasbihkannya sebagai tokoh kesenian Betawi.
Wajah Benyamin kerap hiasi layar kaca Indonesia tahun 1970an. FIlm Benyamin umumnya adalah genre komedi. Film Benyamin mendapat tanggapan positif publik. Film "Intan Berduri" yang dibintanginya mendapatkan piala Citra pada 1978. Benyamin juga pernah memerankan tokoh Doel dalah "Si Doel Anak Modern" bersama rocker legendaris Ahmad Albar.
Benyamin juga pernah merintis karir sebagai musisi sebelum terjun ke dunai film pada dekade 1970an. Benyamin pernah memainkan Gambang Kromong hingga rock n roll. Di dunia musik Benyamin cukup cemerlang. Sebagai musisi rock Benyamin bisa dibilang sukses. Selama orde lama berkuasa, tidak akan ada Beatles, Bee Gees, Everly Brother dan musik lainnya.
Ketika musik rock dilarang pada dekade 1960an, Benyamin seolah melawan meanstream politik yang ada. Sukarno melarang lagu barat yang 'Ngak Ngik Ngok' seperti rock n roll. Orang orde lama bilang musik rock adalah musik setan. Seperti juga Koes Bersaudara, benyamin juga pernah merasakan bui karena ideologi musiknya yang nekad membawakan lagu barat.
Lagu rock n roll paling sukses dipasaran yang dibawakan Benyamin adalah "Kompor Bledug". Lagu ini keluar dipasaran setelah musim anti rock n roll baru saja berlalu. Arransemen lagu ini bisa dibilang Ngerock pada tahun perilisannya, dengan iringan organ dan sound drum yang unik. Mungkin saja arransemen lagu ini tergolong mutakhir pada zamannya. Tentu saja arransemen lagu ini dipengaruhi langsung musik rock n roll dari luar. Lagu ini seperti judulnya juga meledak di pasaran.
Lagu "Kompor Bledug" memiliki persamaan, walau tidak 100%, dengan lagu-lagu rock n roll yang diusung Naif selama beberapa tahun terakhir ini. Naif bahkan pernah bermimpi untuk berkolaborasi dengan Benyamin, namun Benyamin keburu meninggal. Mereka memiliki kecocokan, 'retro banget'.
Benyamin Sueb (1939 - 1995) lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939. Benyamin Sueb memang sosok panutan. Kesuksesan di dunia musik dan film membuat namanya semakin melambung. Benyamin telah menghasilkan 75 album musik dan 53 judul film yang ia bintangi adalah bukti keseriusannya di bidang hiburan tersebut. Perhatian Benyamin pada Gambang Kromong, secara tidak langsung, mentasbihkannya sebagai tokoh kesenian Betawi.
Nagabonar: Satu dari banyak Jenderal Batak
Pencopet jadi Jenderal? Rasanya itu cerita film Nagabonar yang digarap Asrul Sani tahun 1986. Nagabonar, mantan copet itu jadi jenderal, "Apa kata dunia?". Bagaimana mungkin, kapan dia lulus akademi militer, atau sudah berapa lama dia jadi serdadu hingga berani dia jadi Jenderal. Zaman revolusi adalah masa-masa penuh kekacauan. Apa saja juga bisa terjadi. Nyatanya Nagabonar pun jadi Jenderal. Anggap saja Nagabonar Jenderal yang diangkat oleh kekacauan zaman revolusi itu, seperti kata beberapa tulisan lain. Nagabonar menjadi kisah fiktif yang menarik. Semacam roman historis yang kocak dan memberikan gambaran pada kita betapa kacaunya negeri ini dimana sebuah negara baru harus lahir dimasa kekacauan ini. Nagabonar juga satu dari sekian pelaku dimasa yang kacau itu.
Tanah Batak punya banyak Jenderal. Buku sejarah nasional Indonesia pasti menulis nama Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang. Keduanya termasuk pembangun Tentara Nasional Indonesia. Nama mereka akanselalu diingat dalam sejarah militer Indonesia. Masih ada lagi, Donald Izacus Panjaitan yang gugur sebagai pahlawan Revolusi. Di Balige, tempat kelahiran D.I. Panjaitan, patung jenderal ini berdiri tegak dijalan penting antar kota dalam provinsi Sumatra Utara.
Masih ada Jenderal-jenderal Batak lain di negeri ini. Entah apa tanggapan orang Batak yang bukan serdadu pada saudara setanah Batak mereka yang menjadi Jenderal. batak tidak termasuk suku penyumbang pemudanya dalam kemiliteran zaman kolonial. Hanya sedikit pemuda Batak yang menjadi serdadu KNIL.
Mengapa orang Batak punya banyak Jenderal. Sebagai daerah yang menjadi lahan pergerakan Zending pasca berakhirnya perang Sisingamangaraja XII, banyak sekolah model barat yang dikelola oleh Zending berdiri. Pendidikan model barat ini banyak dinikmati oleh sebagian orang-orang Batak khususnya orang-orang terpandang disana.
Majunya pendidikan modern di tanah Batak, walau tidak dirasakan semua orang Batak, memungkinkan beberapa pemuda Batak memperoleh ijazah MULO (Meer Uitgebrijd Leger Onderwijs: setingkat SMP sekarang). Bahkan ada yang AMS (Algemene Middelsbare School: setingkat SMU). Ijazah setara AMS merupakan akses untuk menjadi calon perwira seperti A.H. Nasution dan T.B. Simatupang. Mereka menjadi segelintir pemuda pribumi yang dididik sebagai kadet KMA (Koninlijk Militaire Academie: Akademi Militer Kerajaan)di Bandung.
Kedua kadet Batak tadi tergolong orang Batak yang pertama-tama menjadi Jenderal dalam dinas militer reguler TNI. Jumlah itu tentunya semakin bertambah. Tanpa bermaksud mengolok, apalagi menghina, tanah Batak juga memiliki Jenderal unik. Jenderal dadakan semasa revolusi kemerdekaan. Nama Jenderal ini adalah Timur Pane. Sebelum revolusi, jenderal ini pernah berprofesi sebagai pencopet.
Pencopet jadi jenderal? kita akan ingat nama Nagabonar. Film yang dibuat oleh Asrul Sani yang kemudian sekuelnya digarap oleh Deddy Mizwar. Deddy Mizwar masih memegang kuat karakter Nagabonar. Tetap jago mencopet, keras, kocak dan tulus. Bedanya kali ini Nagabonar sudah tua. Darimana Asrul Sani dapat ilham Nagabonar-nya. Bisa jadi Timur Pane adalah ilham itu, seperti pernah ditulis Aboebakar Loebis dalam biografinya tentang kunjungannya ke Sumatra Utara semasa Revolusi kemerdekaan sebagai utusan pemerintah pusat jakarta.
Saat itu, zaman revolusi Indonesia sedang bergolak, Aboebakar Loebis mendengar ada seorang mantan copet bernama Timur Pane yang menjadi pejuang yang bergerak melawan Pasukan Militer Belanda di tanah Batak, Sumatra Utara. Pejuang bekas pencopet ini, memiliki banyak pasukan, mengangkat dirinya sebagai Jenderal Mayor. Tentu saja pengangkatan Timur Pane sebagai Jenderal itu tidak sesuai dengan instruksi militer pusat di Jawa.
Apapun yang dilakukan Timur Pane, termasuk mengangkat diri sebagai Jenderal, pastinya juga ada jasa dia dalam mempertahankan tanah Batak dari pendudukan militer Belanda dimasa revolusi. Tidak diketahui nasib Timur Pane setelah revolusi. Namanya hilang setelah militer Belanda angkat kaki dari tanah Batak dan kepulauan Nusantara ini.
"Apa kata dunia?" nama jenderal copet itu terlupakan juga. Tenang saja, setidaknya ada jenderal Batak lain, 'jenderal beneran' pake bintang di pundak dan naik mobil, bukan jenderal copet yang naik kuda atau menggendong emaknya seperti di film Nagabonar.
Tanah Batak punya banyak Jenderal. Buku sejarah nasional Indonesia pasti menulis nama Abdul Haris Nasution dan Tahi Bonar Simatupang. Keduanya termasuk pembangun Tentara Nasional Indonesia. Nama mereka akanselalu diingat dalam sejarah militer Indonesia. Masih ada lagi, Donald Izacus Panjaitan yang gugur sebagai pahlawan Revolusi. Di Balige, tempat kelahiran D.I. Panjaitan, patung jenderal ini berdiri tegak dijalan penting antar kota dalam provinsi Sumatra Utara.
Masih ada Jenderal-jenderal Batak lain di negeri ini. Entah apa tanggapan orang Batak yang bukan serdadu pada saudara setanah Batak mereka yang menjadi Jenderal. batak tidak termasuk suku penyumbang pemudanya dalam kemiliteran zaman kolonial. Hanya sedikit pemuda Batak yang menjadi serdadu KNIL.
Mengapa orang Batak punya banyak Jenderal. Sebagai daerah yang menjadi lahan pergerakan Zending pasca berakhirnya perang Sisingamangaraja XII, banyak sekolah model barat yang dikelola oleh Zending berdiri. Pendidikan model barat ini banyak dinikmati oleh sebagian orang-orang Batak khususnya orang-orang terpandang disana.
Majunya pendidikan modern di tanah Batak, walau tidak dirasakan semua orang Batak, memungkinkan beberapa pemuda Batak memperoleh ijazah MULO (Meer Uitgebrijd Leger Onderwijs: setingkat SMP sekarang). Bahkan ada yang AMS (Algemene Middelsbare School: setingkat SMU). Ijazah setara AMS merupakan akses untuk menjadi calon perwira seperti A.H. Nasution dan T.B. Simatupang. Mereka menjadi segelintir pemuda pribumi yang dididik sebagai kadet KMA (Koninlijk Militaire Academie: Akademi Militer Kerajaan)di Bandung.
Kedua kadet Batak tadi tergolong orang Batak yang pertama-tama menjadi Jenderal dalam dinas militer reguler TNI. Jumlah itu tentunya semakin bertambah. Tanpa bermaksud mengolok, apalagi menghina, tanah Batak juga memiliki Jenderal unik. Jenderal dadakan semasa revolusi kemerdekaan. Nama Jenderal ini adalah Timur Pane. Sebelum revolusi, jenderal ini pernah berprofesi sebagai pencopet.
Pencopet jadi jenderal? kita akan ingat nama Nagabonar. Film yang dibuat oleh Asrul Sani yang kemudian sekuelnya digarap oleh Deddy Mizwar. Deddy Mizwar masih memegang kuat karakter Nagabonar. Tetap jago mencopet, keras, kocak dan tulus. Bedanya kali ini Nagabonar sudah tua. Darimana Asrul Sani dapat ilham Nagabonar-nya. Bisa jadi Timur Pane adalah ilham itu, seperti pernah ditulis Aboebakar Loebis dalam biografinya tentang kunjungannya ke Sumatra Utara semasa Revolusi kemerdekaan sebagai utusan pemerintah pusat jakarta.
Saat itu, zaman revolusi Indonesia sedang bergolak, Aboebakar Loebis mendengar ada seorang mantan copet bernama Timur Pane yang menjadi pejuang yang bergerak melawan Pasukan Militer Belanda di tanah Batak, Sumatra Utara. Pejuang bekas pencopet ini, memiliki banyak pasukan, mengangkat dirinya sebagai Jenderal Mayor. Tentu saja pengangkatan Timur Pane sebagai Jenderal itu tidak sesuai dengan instruksi militer pusat di Jawa.
Apapun yang dilakukan Timur Pane, termasuk mengangkat diri sebagai Jenderal, pastinya juga ada jasa dia dalam mempertahankan tanah Batak dari pendudukan militer Belanda dimasa revolusi. Tidak diketahui nasib Timur Pane setelah revolusi. Namanya hilang setelah militer Belanda angkat kaki dari tanah Batak dan kepulauan Nusantara ini.
"Apa kata dunia?" nama jenderal copet itu terlupakan juga. Tenang saja, setidaknya ada jenderal Batak lain, 'jenderal beneran' pake bintang di pundak dan naik mobil, bukan jenderal copet yang naik kuda atau menggendong emaknya seperti di film Nagabonar.
Sejarahku Jangan Kau Paksa Dengan Sejarahmu
Di sekolah sejarah seperti menjadi kitab keramat yang membosankan. Terserah orang bilang sejarah membosankan dan tidak berguna. Ada dua kemungkinan alasan mereka berkata begitu, pertama mereka bodoh dan kedua mereka bukan manusia. Umumnya orang berpikir manusia tidak menyejarah, padahal manusia itu hidup dilingkupi sejarah. Tanpa manusia tidak akan ada sejarah dunia.
Tidak ada Manusia hidup tanpa sejarah. Hanya orang orang bodoh yang tidak setuju pernyataan tadi. Orang selalu terjebak bahwa sejarah sebagai hapalan memuakan dan membosankan di sekolah. padahal sejarah itu apa saja yang dialami kita semua dalam hidup. Termasuk apa yang kita lakukan beberapa menit yang lalu. Belajar sejarah tidak harus menghapal tanggal peristiwa besar, sebab sejarah mencakup semua, termasuk sejarah kecil yang unik.
Sejarah dalam pembelajarannya di Indonesia telah dihancurkan begitu rupa. Dimana para siswa selalu dijebak dengan sejarah elitis.Hal ini semakin menjauhkan siswa dari kehidupan riilnya. Hanya ada Jenderal Sudirman, Sukarno, Suharto atau tokoh nasional siapalah.
Sejarah sebagai ilmu humanis tidak pernah dipaku untuk hanya mengkaji hal besar. Banyak hal kecil yang sebenarnya mempengaruhi kehidupan manusia. Belajar sejarah sebenarnya berusaha membuat manusia menjadi arif, bukan sekedar menjadi hapal semua hal yang ada di buku sejarah. Apalagi yang ada di buku sejarah milik penguasa.
Menjadi bijak tidak perlu belajar dari tokoh besar semata. Belajar dari tuykang becak pun bisa membuat kita menjadi manusia humanis, yang juga memiliki kearifan. Ini lebih baik dibandingkan dengan belajar dari tokoh besar yang diagungkan, dimana banyak hal disekitar tokoh itu dimanipulasi. Artinya tokoh besar lenbih banyak dilingkupi kebohongan sejarah. Sudah waktunya pembelajaran sejarah Indonesia keluar dari meanstream sejarah orang besar. Sudah waktunya menilik sejarah kecil. Bukan lagi menghafal yang ditekankan dikelas, melainkan menangkap sisi yang manusiawi dari sejarah, peristiwanya, tokohnya dan apa saja yang melingkupinya.
Pembelajaran sejarah yang ada juga tidak jarang mematikan kreasi siswa. Sudah waktunya siswa memiliki sejarahnya sendiri. Biarkan anak tukang becak memahami sejarah tukang becak, atau sejarah apapun yang ingin dikajinya dan jangan pernah memaksakan padanya sesuatu yang sudah dikultuskan oleh otoritas penguasa yang selalu menjadikan sejarah sebagai alat. Ingat hidup adalah memilih. Siswa yang tidak mendapat nilai bagus di kelas bukanlah manusia yang buruk.
Mempertahankan apa yang terjadi diruang kelas saat ini akan membuat siswa seperti robot. Tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia dipastikan gagal dimasa depan. Jangan bertanya bila suatu hari nanti siswa-siswa akan berkata "We Don't need no education!"
Tidak ada Manusia hidup tanpa sejarah. Hanya orang orang bodoh yang tidak setuju pernyataan tadi. Orang selalu terjebak bahwa sejarah sebagai hapalan memuakan dan membosankan di sekolah. padahal sejarah itu apa saja yang dialami kita semua dalam hidup. Termasuk apa yang kita lakukan beberapa menit yang lalu. Belajar sejarah tidak harus menghapal tanggal peristiwa besar, sebab sejarah mencakup semua, termasuk sejarah kecil yang unik.
Sejarah dalam pembelajarannya di Indonesia telah dihancurkan begitu rupa. Dimana para siswa selalu dijebak dengan sejarah elitis.Hal ini semakin menjauhkan siswa dari kehidupan riilnya. Hanya ada Jenderal Sudirman, Sukarno, Suharto atau tokoh nasional siapalah.
Sejarah sebagai ilmu humanis tidak pernah dipaku untuk hanya mengkaji hal besar. Banyak hal kecil yang sebenarnya mempengaruhi kehidupan manusia. Belajar sejarah sebenarnya berusaha membuat manusia menjadi arif, bukan sekedar menjadi hapal semua hal yang ada di buku sejarah. Apalagi yang ada di buku sejarah milik penguasa.
Menjadi bijak tidak perlu belajar dari tokoh besar semata. Belajar dari tuykang becak pun bisa membuat kita menjadi manusia humanis, yang juga memiliki kearifan. Ini lebih baik dibandingkan dengan belajar dari tokoh besar yang diagungkan, dimana banyak hal disekitar tokoh itu dimanipulasi. Artinya tokoh besar lenbih banyak dilingkupi kebohongan sejarah. Sudah waktunya pembelajaran sejarah Indonesia keluar dari meanstream sejarah orang besar. Sudah waktunya menilik sejarah kecil. Bukan lagi menghafal yang ditekankan dikelas, melainkan menangkap sisi yang manusiawi dari sejarah, peristiwanya, tokohnya dan apa saja yang melingkupinya.
Pembelajaran sejarah yang ada juga tidak jarang mematikan kreasi siswa. Sudah waktunya siswa memiliki sejarahnya sendiri. Biarkan anak tukang becak memahami sejarah tukang becak, atau sejarah apapun yang ingin dikajinya dan jangan pernah memaksakan padanya sesuatu yang sudah dikultuskan oleh otoritas penguasa yang selalu menjadikan sejarah sebagai alat. Ingat hidup adalah memilih. Siswa yang tidak mendapat nilai bagus di kelas bukanlah manusia yang buruk.
Mempertahankan apa yang terjadi diruang kelas saat ini akan membuat siswa seperti robot. Tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia dipastikan gagal dimasa depan. Jangan bertanya bila suatu hari nanti siswa-siswa akan berkata "We Don't need no education!"
Langganan:
Postingan (Atom)