Senin, Januari 28, 2008

Penentu Sejarah Baru

Tidak ada kata pahlawan dan pengkhianat dalam sejarah. Bilapun ada hal itu tidak jauh dari amis politis rezim.Kejaksaan baru saja membakar buku-buku sejarah, seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Entah apa maksud dari kejaksaan itu. Kejaksaan saat ini tidak ada bedanya dengan Kejaksaan zaman orde lama yang doyan menghanguskan piringan hitam The Beatles pada dekade 1960an.Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.

Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.

Seperti ada pihak yang menolak paradigma baru sejarah Indonesia yang berusaha lebih terbuka untuk melakukan rekonsiliasi nasional atas peristiwa berdarah sekitar 1965/1966, seperti yang mungkin termuat dalam buku-buku sejarah yang dibakar tadi.
Pembakaran buku-buku itu, salah satunya karena kasus G 30 S yang belum selesai. G 30 S/PKI seolah menjadi kasus yang sudah selesai oleh orang-orang yang umumnya menjadi bagian dari orde baru. Paradigma lain dengan istilah G 30 S berusaha meluruskan sejarah negeri yang bengkok. Apakah G 30 S harus pakai embel-embel PKI atau tidak, masih menjadi masalah yang tidak akan selesai hingga kini.

Dalam pembelajaran sejarah di sekolah, buku-buku sejarah harus menjadikan buku putih yang berjudul Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI Di Indonesia yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, keduanya pejabat rezim lalu yang sudah tumbang—dimana PKI ditampilkan sebagai pelaku tunggal G 30 S. begitupun yang diterbitkan Sekretaris Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Setelah reformasi bergulir, banyak pendapat yang bertentangan dengan dua pejabat rezim orba itu, beberapa cetakan buku tidak memakai istilah PKI dibelakang G 30 S.
Sekarang permasalahannya tidak lagi pada pakai PKI atau tidak pakai PKI dalam istilah G 30 S. Hak setiap orang untuk menggunakan untuk memakai istilah G 30 S atau G 30 S/PKI—tidak peduli itu sejarahwan atau bukan karena menafsirkan sejarah adalah hak siapa saja, termasuk orang-orang awam dipinggir jalan sekalipun.
Sangat disayangkan adalah pembakaran itu telah menampilkan pembakar sebagai penentu kebenaran sejarah, dimana darinyalah semua boleh dipercaya. Kejaksaan rupanya telah memiliki fungsi baru sebagai penentu kebenaran sejarah di negeri ini. Sejarahwan paling kesohor sekalipun tidak akan mau menjadi penentu kebenaran karena bagaimanapun tugas sejarahwan bukan menentukan kebenaran, melainkan menafsirkan sebuah peristiwa sejarah.
Sejarahwan hampir selalu dikejar pertanyaan "mana yang benar?" oleh banyak orang. Ini pertanyaan sulit dijawab oleh sejarahwan karena kebenaran itu nisbi. Sejarahwan tidak perlu menjawab mana yang benar. Dengan memberikan penafsiran atas sebuah peristiwa sejarah saja, kendati menurut paradigmanya sendiri, sebenarnya sejarahwan telah melakukan tugasnya.
Sejarahwan besar saja tidak pernah merasa bahwa apa yang menjadi analisisnya adalah sebuah kebenaran. Begitupun sejarahwan lain, mereka lebih suka menafsirkan daripada membuat kebenaran. Dunia pendidikan Indoensia masih berusaha diarahkan ke alam fasis dimana institusi negara selalu benar—seperti dalam novel 1984 karya George Orwell. Paradigma pendidikan Indonesia, dalam memandang sejarah, tidaklah bersikap adil dan cenderung berpihak pada kekuasaan dan kemapanan.
Disayangkan pembenaran sejarah yang sering dilakukan rezim yang sudah lewat, tidak lebih untuk melegalisasi kekuasaannya agar terus bertahan. Akibatnya, lawan politis sang penguasa masuk keranjang sampah bergelar pengkhianat dan sang penguasa dan yang segaris dengan penguasa akan menjadi pahlawan.
Sejarah dijadikan daftar yang memuat para pahlawan dan pengkhianat, padahal sejarah mengajarkan manusia untuk tidak lebih bodoh daripada keledai. Nyatanya dengan paradigma sejarah yang dianut orba lebih menjadikan manusia Indonesia lebih bodoh daripada keledai. Dimana manusia Indonesia hanya dijadikan robot demi kekuasaan rezim.
Pelajaran sejarah disekolah menjadi lahan empuk bagi penguasa macam ini, dimana mereka menentukan sejarah mereka sendiri tanpa peduli paradigma sejarah menyesatkan generasi muda mereka. Sah sekali membakar buku bila buku itu tidak sesuai dengan paradigma mereka—begitupun mengganti kurikulum bila dirasa membahayakan.


1 komentar:

chendi mengatakan...

kamu tau pat...
jamannya aku masih di jakarta. penerbitku diundang ke kejaksaan terutama editornya untuk ditanyai perihal buku sejarah yang mereka bakar..mereka begitu ketakutan karena buku sejarah smp dan sma begitu mengeksploitasi pki..
ahh..mana tau anak-anak yang sedang belajar itu tentang manipulasi sejarah, tentang siapa sebenarnya dalang pki atau pemprakarsa serangan 1 maret..tapi nyatanya kejaksaan begitu ketakutan..akibatnya buku sejarah smp dan sma milik penerbit diambil dari gudang dan dibakar..it's abhorrent