Letupan Krakatau itu mulai menyambut Inada Dao (Bunda Dao) untuk bercerita tentang anak-anaknya lewati gambar-gambar hidup. Fenomena letusan itu seperti mengajak kita untuk mendengar Inada Dao bercerita. Setelahnya akan muncul rangkaian gambar hidup mengenai suasana kolonial, yang mungkin juga akan memilukan sebuah bangsa nestapa kala itu yang ribuan tahun mendiami mendiami nusantara ini. Akan tergambar bagaimana orang-orang ribumi direkrut menjadi kuli kontrak untuk perkebunan. Diantara kuli itu mungkin juga beberapa dari mereka yang akan menjadi korban Poenale Sanctie dari onderneming (perkebunan), salah satunya di Deli, tempat mereka menyambung hidup. Seorang penginjil yang berkuda dengan diantar oelh seorang pribumi yang berjalan telanjang kaki akan terekam. Dimana penginjil itu itu mengalami nasib malang karena jatuh ke air ketika menyeberangi sungai.
Kisah Moeder Dao masih panjang. Di Bowomataluo, sebuah kampung penting di Teluk Dalam Nias Selatan, para ksatria Nias dengan pakaian kebesarannya berkumpul didepan rumah pemuka mereka, tepat ditempat yang sekarang biasa diadakan Hombo Batu (lompat batu Nias). Kemajuan jaringan kereta api dan konsumsi mobil oleh orang-orang kaya di Hindia Belanda juga disajikan. Mobil begitu ekskusif seolah hanya dinikmat oleh orang-orang Eropa kaya yang tinggal di tanah Jawa. Kala itu, 1912 hinga 1932, kereta api telah mampu melewati perbukitan, sungaiyang curam di Jawa Tengah. Inada Dao juga bercerita tentang suasana para buruh pabrk di Balikpapan bekerja di bengkel trem (kereta), sebuah kendaraan yan hilang dan tidak mungkin lagi ditemui di kota itu. Sejarah pelayaran modern di nusantara akan diwakili oleh seuah kapal milik Kononkljk Packetvart Maatschappij (KPM) yang melayari sungai besar di Kalimantan Bagian Selatan. Pemandangan aneh anak Bali yang merokok juga direkam dengan baik dalam film okumenter ini. Rasanya bukan cuma itu yang akan diceritakan Bunda Dao tentang Nusantara.
Selama 88 menit, mata penonton akan lihat bagamana nusantara, nama paling indah untuk menyebut kepulauan raya ini, dalam kurun waktu 1912 hingga 1932. Zaman dimana lebih banyak diputar film-film bisu di nusantara ini. Film ini tidak bercerita seperti film-film komersil. Gambar film ini berbicara lewat potongan-potongan film yang dirangkai Vincent Monnikendam sang sutradara.
Film ini dirilis pada 1995. Gambaran nusantara dalam film ini tidak disajikan secara runtut oleh Monnikendam. Sajian gambar secara acak itu cukup artistik, walaupun ketika gambar hdup itu diambil dalam kurun waktu 1912 hingga 1932 bukanlah untuk tujuan artistik.
Monnikendam kumpulkan rangkaian film-film bisu yang diambil oleh kameramen Belanda pada tahun 1912 hingga 1932. Dari gambar kita lihat dalam film itu, tampaknya sang kameramen harus mengunjungi daerah-daerah terpencil yang kala itu dalam genggaman Sang Ratu Wilhelmina dari Belanda. Betapa, dengan susah payah sang kameramen harus membawa peralatannya ke daerah yang sulit djangkau mesin mobil kala itu. Bisa di bayangkan bagaimana sulitnya dengan teknologi rekam gambar hidup yang jauh dengan masa sekarang. Demi Ratu Belanda, rasanya kameramen itu sajikan bagaimana Nusantara yang telah digenggam imperium keluarga wanita yang mungkin hanya bersolek di Istana Negeri Belanda.
Sangat menarik dari judul film ini adalah mengambil istilah Nias untuk ibu atau Bunda, "Inada". Inada Dao adalah sosok yang sangat dipuja oleh masarakat Nias kuno. Konon, manusia diturunkan oleh Bunda Dao ke dunia disebuah tempat yang disebut "Bumi Manusia" atau Tana Niha (pulau Nias). Bunda Dao bisa dipadankan dengan ibu pertiwi. Inada Dao mungkin hanya istilah orang Nias saja, namun itu sudah cukup untuk menyebut sosok yang melahirkan manusia nusantara, yang bercerita dalam film ini. Inada Dao bercerita tentang nusantara untuk mencintainya. Cinta yang akan menerangi manusia nusantara itu, seperti dalam sebuah lagu, "Bagai sang surya menyinari dunia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar