Tak terasa tiga tahun berlalu. Aku bisa injakan kakiku lagi di kota itu. Senang bisa hirup udara Sanga-sanga lagi. Pemandangannya masih sama seperti dulu. Setelah aku lewati jalan-jalan aspal yang hancur oleh ulah mobil-mobil pertambangan yang penuh muatan. Masih seperti Sanga-sanga yang dulu. Kota tua ini masih saja seperti dulu dengan rumah-rumah tua. Bangsal-bangsal, sebagian orang menyebut rumah-rumah panjang yang disekat untuk beberapa keluarga pegawai minyak di kota minyak bernama Sanga-sanga itu.
Ibu membawaku ketika aku masih bayi. Dimana ibu yang lain juga memiliki bayi yang usianya dua bulan lebih muda daripada aku. Aku ingat kakak lelaki dari ibuku beserta keluarganya tinggal di bangsal-bangsal itu. Kakal lelaki ibuku, yang biasa kupanggil "Pakde" itu memiliki dua anak wanita dan satu anak lelaki yang masih bayi. Aku tidak mengenal mereka seperti sekarang. Aku memanggil mereka "Mbak" dan "Mas" untuk anak lelakinya.
Hal paling kusuka dari Sanga-sanga adalah menjelajahinya dengan berjalan kaki. Aku tidak akan merasa lelah. rumah-rumah tua adalah sajian favorit mataku di Sanga-sanga. Terakhirkali disana, aku masih sempat menyaksikan pemandangan itu. Rasanya aku tak perlu sesali hidup dengan sajian seperti itu.
Seperti biasa, Bude--biasa aku memanggil istri dari kakak lelaki ibuku--itu pasti menyimpan sambalnya yang buat lidah bergoyang. Kali ini ada menu udang, makanan yang dalam setahun belum tentu kumakandi Jogja atau Jakarta. Makan makanan laut dikota itu rasanya tidak akan senikmat memakannya di Sanga-sanga, atau kota pesisir lain di kalimantan Timur. Aku ingat, ayah kawanku yang pernah jadi serdadu dan dinas di Sanga-sanga bercerita, badan gatal-gatal karena terlalu banyak makan udang di Sanga-sanga.
Seperti biasa, Bude ajak aku ke daerah Muara naik mobil. Bude lagi mau borong udang yang banyak untuk pernikahan Mbak-kuyang kedua. Kami naik mobil dan nikmati Sanga-sanga yang tereksploitasi. Di sepanjang jalan, selain kampung, banyak pertambangan batu-bara. Ini mungkin surga bagi sebagian orang yang menggantungkan hidup dari tambang-tambang itu. Monster-monster bernama "Dump Truck" belum terlihat. Hanya saja perut bumi Sanga-sanga masih terus dikeruk. Hidup memang memilih, pasti ada yang terkorbankan. Apalagi kalau bukan alam dan masa depan Sanga-sanga.
Berdasarkan catatan Wikipedia, Sanga-sanga adalah: "Kecamatan Sanga-Sanga memiliki luas wilayah mencapai 233,4 km2 yang dibagi dalam 5 kelurahan. Sementara jumlah penduduk kecamatan ini mencapai 11.855 jiwa (2005). Kecamatan ini merupakan salah satu wilayah penghasil minyak bumi yang sangat penting di Kalimantan Timur sejak sumur minyak Louise untuk pertama kalinya mulai berproduksi pada tahun 1897, disamping sumur minyak Mathilde yang ada di Balikpapan.
Sanga-Sanga juga terkenal dengan sebuah peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947 ketika para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bahu membahu bersama rakyat mempertahankan Sanga-Sanga dari gempuran Belanda, meski akhirnya korban banyak berjatuhan dari pihak pejuang dan rakyat Sanga-Sanga. Untuk mengenang peristiwa yang disebut sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sanga-Sanga ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selalu menggelar upacara peringatan peristiwa tersebut setiap tanggal 27 Januari".
Kota kecil ini, memiliki sejarahnya yang cukup gemilang karena kandungan emas hitam yang terkandung di dalam tanahnya.
1 komentar:
tolong buat story museum tentang kutai kertanegara spesial mitos guanya yang punya 7 lubang yang tembusan kemana2
Posting Komentar