Roem adalah salah satu sosok muda dalam pergerakan. Dia tidak hanya tumbuh dan berkembang, tetapi juga berperan dengan para senior pergerakan yang pengaruhnya lebih besar. Dari dunia pergerakan pula karir politik negarawan awal kemerdekaan, termasuk Roem dimulai.
Orang-orang lebih sering mendengar namanya sebagai wakil Indonesia dalam perundingan Roem-Royen tanggal 7 Mei 1948 di Jakarta. Tidak salah. Setidaknya itulah yang tercatat dalam buku-buku sejarah, baik dari tingkat SD sampai SMA. Atau mungkin juga menjadi diktat-diktat dosen sejarah di perguruan tinggi.
Roem masih muda ketika dunia pergerakan nasional bergulir. Namun, bukan berarti saat itu Roem dan sebagian kawan sebayanya hanya berkutat dengan pelajarannya di sekolah-sekolah Belanda saja. Pengarus kakak iparnya di Pekalongan ikut membuatnya masuk dalam lingkungan kaum pergerakan Islam. Dunia pergerakan juga yang mengantarkan Roem sebagai tokoh nasional hingga mewakili delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen dalam rangka menuntaskan sengketa Indonesia-Belanda dimasa revolusi kemerdekaan Indonesia itu.
Perjalanan Bocah Parakan
Roem lahir pada 16 mei 1908, putra keenam dari seorang lurah Klewongan bernama Djulkarnain Djojosasmito di Parakan, Temenggung. Untuk ukuran masa itu Roem beruntung bisa bersekolah. Roem menjalani pendidikan formal barat-nya di
Hollandsche Inlandsche School (HIS)
, sebuah sekolah dasar ‘kelas dua’ pribumi-kelas satu-nya adalah
Europe Leger School (ELS). Ketika Roem masih muda, masih berlaku aturan, siswa lulusan HIS bisa melanjutkan ke
School tot Opleiding voor Artsen(STOVIA) di Batavia. Setamat HIS, pada awalnya Roem, masuk sekolah dokter pribumi itu. Tingkat persiapan dalam sekolah itu berhasil dilalui oleh Roem pada tahun 1927. Roem tidaklah menikmati pendidikan disini, dia lalu melanjutkan pendidikannya ke Algemene Middelsbare School (AMS)-setaraf SMU sekarang ini. Roem berhasil lulus sekolah itu pada tahun 1930. Roem tidak masuk
Geneeskundige Hoge School-sekolah tinggi kedokteran pengganti STOVIA di Batavia-karena dua kali gagal dalam ujian masuk.
[i]
Diluar pendidikan sekulernya di sekolah-sekolah Belanda, Roem juga mengenyam pendidikan agama Islam dari pak Wongso-seorang kyai. Dari kyai ini Roem bersentuhan dengan nilai-nilai Islam. Dimata Roem sendiri, sang ayah-yang menyuruhnya belajar agama Islam-bukanlah seorang yang agamis apalagi ahli tentang agama Islam. Sang ayah bahkan masih terpengaruh tradisi sinkretisme Islam dengan Jawa yang berkembang ratusan tahun di tanah Hindia, khususnya di pulau Jawa. Kendati begitu, keempat anak laki-laki Djulkarnain Djojosasmito diberikan nama dari nama-nama khalifah ar-Rasyidin, sedangkan nama Roem sendiri berasal dari kata surat dalam Al Qur’an yang berkisah mengenai bangsa Romawi. Ini adalah bukti sang ayah memiliki kesadaran historis, dimana sang anak menjadi monument atas kesadarannya itu.
[ii]
Di usianya yang ke 11 tahun, Roem mulai bermukim di Pekalongan, sebuah kota penting pada awal-awal kehidupan Roem. Kota dimana roem menjalani sisa-sisa masa kecilnya. Kepindahan Roem tersebut dikarenakan Parakan sedang dilanda wabah kolera. Dilain waktu Parakan juga diserang wabah pest. Pekalongan, yang terletak di jalur pantai utara Jawa, adalah pusat gerakan revformasi Islam di Jawa. Di kota ini, semangat puritanisme Muhammadiyah dan gagasan sosialisme Islam ala Cokroaminoto berbaur. Roem tinggal bersama kakak wanitanya, dimana kakak iparnya duduk sebagai sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) sekaligus tokoh Muhammadiyah Pekalongan.
[iii]
Tuntutan pendidikannya, memaksa Roem harus meninggalkan Pekalongan menuju Batavia, masuk STOVIA sebelumnya akhirnya pindah ke AMS. Di Batavia, ketika masih berstatus sebagai pelaajar, Roem menjadi anggota Jong Jawa-sekelompok pemuda Jawa yang semula bernama Tri Darmo Kondo-salah satu inspirasi ini adalah aktifitas dari kakak iparnya di PSII atau Muhammadiyah di Pekalongan. Tidak heran Roem muda dengan jelas memahami gerakan PSII daripada gerakan politik lain yang ada dan berkembang pada masa itu.
[iv]
Masuk Pergerakan
Karena dua kali gagal masuk kuliah, selama dua tahun Roem menganggur. Waktu lowong itu, diisi dengan mengikuti kegiatan PSII. Sekitar tahun 1930, Roem sering berkunjung ke rumah tokoh-tokoh PSII bersama Kasman Singodimedjo dan Suparmo. Salah satu toko itu adalah Agus Salim yang memang dikagumi oleh Roem. Tokoh yang kemudian menjadi sangat penting bagi masa muda Roem dalam pentas pergerakan. Sebagai kawan perjuangan juga sebagai penuntun jalan Roem dimasa pergerakan kemerdekaan. Sejak 1925, Roem sudah mengenal sosok idolanya itu sejak berdirinya Jong Islamiten Bond. Pengaruh Agus Salim diterima oleh Roem lewat tulisan-tulisan di surat kabar
Hiindia Baru, Tajuk, Mimbar Jum’at. Kesadaran Roem pada tanah Hindia yang merdeka terinspirasi dari pidato Salim yang menyatakan ‘betapa masyarakat Hindia terutama kalangan intelektual dicekam dibawah sugesti superior barat’. Karenanya, Roem menyadari bahwa ia dan kawan-kawannya yang aktif dalam Jong Java dan JIB, menyadari bahwa dengan berorganisasi kelak mereka akan menjadi pimpinan bangsa. Pengaruh Salim, sebagai sosok yang dikagumi Roem, menentukan arah-arah politik Roem dikemudian hari.
[v]
Sejak 1925, Roem aktif dalam JIB dan menjadi anggota
National Indonesische Papvinderij (Natipij)-organisasi kepanduan JIB. Namun keanggotaan Roem disini tidak berlangsung lama. Aktifitasnya di JIB terhenti setelah Roem diterima di
Recht Hoge School (RHS)-sekolah tinggi hukum di Batavia. Roem tidak berhenti berorganisasi setelah diterima di RHS. Roem hanya menyesuaikan diri dengan kuliahnya, karenanya Roem berkegiatan dalam organisasi yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan dan tidak menggangu kuliahnya. Bagaimanapun, berorganisasi adalah kebutuhan baginya. Bersama Jusuf Wibisono, Roem mendirikan
Studenten Islamitische Studie Club. Masa-masa kuliah ini, sangat penting dalam kiprah awal Roem di dunia politik, sebagai anggota PSII. Roem mulai aktif di PSII sebelum dirinya menjadi anggota, Roem bahkan pernah menjadi ketua panitia Kongres PSII di Batavia.
[vi]
Sebagai anggota PSII, Roem yang masih berstatus mahasiswa hukum aktif membela perkara orang-orang PSII di meja hijau tingkat negeri pemerintah kolonial. banyak perkara yang ditanganinya meliputi kasus tanah partikelir dan sikap tuan tanah yang sewenang-wenang pada penggarap tanahnya. Kegiatannya ini dilakukan bersama Agus Salim. Saat itu keduanya masih di PSII. Mereka
keluar dari PSII setelah pernyataan Salim ‘agar PSII tidak terisolir harus melaksanakan kebijaksanaan koperasi’. Karenanya sebagian besar pimpinan dan anggota PSII tidak setuju dengan pendapat Salim, maka Salim-pun disingkirkan dari organisasi. Salim bersama tigapuluh orang pendukungnya dipecat dari PSII berdasar sidang dewan partai dan
ladjnah tanfidzijah tanggal 19 Desember 1936.
[vii]
Agus Salim lalu mendirikan Penyedar, dimana Roem ikut didalamnya bersama A.M. Sangadji dan Soedjono Hardjosoediro. Posisi Roem disini adalah sebagai ketua Komite Central Eksekutif. Barisan Penyedar berusaha menyadarkan para pimpinan dan anggota partai mengenai perlunya penggunaan azas nonkoperatif sebagai taktik belaka.
[viii]
Partai ini lebih koperatif daripada PSII. Semua dilakukan karena tekanan pemerintah kolonial semakin keras saja pada kaum pergerakan non koperatif pasca gagalnya pemberontakan PKI 1926, pembabatan PNI 1928 juga. Stress juga mendera pemerintah kolonial setelah
malaise (depresi ekonomi dunia) ikut juga menghantam perekonomian Hindia Belanda
. Penyedar yang koperatif ini mendukung petisi Soetardjo 1938, yang menuntut pemerintahan yang otonom diatas tanah Hindia Belanda, meskipun petisi itu akhirnya juga terjungkal oleh politik kolonial elit birokrat kerajaan Belanda.
[ix]
Kendati aktif dalam pergerakan, kuliah Roem di RHS Batavia berhasil diluluskannya pada 1939. Dia sempat mendirikan kantor pengacara,
advocat en procuereur,lembaga hukum itu miliknya sendiri. Dalam kehidupannya sehari-hari, diluar lingkup pergerakan, profesi pengacara adalah lahan Roem mencari nafkah hidupnya. Profesi ini dijalani setelah masa-masa pergerakan sudah dilampauinya.
[x]
Posisi Roem sebagai pengacara-yang pastinya mengerti prodesedur hukum, termasuk hukum kolonial, pasti akan menyelamatkan dirinya dari jeratan pasal-pasal karet ciptaan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sudah banyak memakan korban. tidak hanya dirinya yang terlindungi, mungkin juga kawan-kawan pergerakan lainnya. Jadi keberadaan Roem sebagai ahli hukum bermanfaat dalam pergerakan mereka, juga menyelamatkan mereka dari berbagai jebakan legal dari pemerijntah kolonial.
Catatan Roem Tentang Dunia Pergerakan
Kongres Nasional SI yang diadakan di Bandung itu, diadakan selama sepekan, sejak 17- 24 Juni 1916. Hajatan SI itu lebih mirip pekan pasar malam daripada sebuah kongres. Sebagai ketua panitia, Roem punya cerita tentang hajatan besar SI itu:
“Panitia Kongres bertekad membuat waktu itu djuga mendjadi pekan untuk berpesta. Seluruh alun-alun dipadjang, tarup pesta jang besar dibangun, dimana dibuka buffet untuk mendjual makanan dan minuman jang dapat mengelus-elius lidah. Gubuk-gubuk dibangun berderet-deret dalam garis jang rapih, dimana dipamerkan dan didjual matjam-matjam barang keradjinan rakjat. Hasil bersih dari usaha itu akan didermakan kepada Sekolah Agama Islam jang belum berselang lama didirikan.”
[xi]
Mengenai kongres Sarekat Islam Roem mencatat juga pemberitaan harian-harian besar Hindia. saat itu dirinya masih kecil. Atas Kongres Sarekat Islam itu, tanggal 6 Agustus 1916, Limburg van Stirum-yang kala itu menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda-menulis surat pada Menteri tanah Jajahan Belanda, Pleyte. Limburg merasakan sebuah ketakutan atas terselenggaranya kongres itu. Sebuah bahaya sudah dilihat orang nomor satu di tanah Hindia Belanda itu. Isi surat tersebut adalah:
“Tuan tentu sudah mengikuti laporan kongres SI, seperti saya dengan penuh perhatian. Sikap mereka tepat sekali (correct), dan kita tidak dapat mengharapkan lebih dari itu. Saja pertjaja bahwa sebelum mereka mengadakan pertemuan lagi, Dewan Djajahan sudah terbentuk, meskipun parlemen sedang sibuk. Hindia tidak dapat menunggu.; semoga itu disadari negeri kita. Kedudukan kita sekarang baik, dan adalah ditangan kita sendiri untuk memelihara keadaan ini. Saja berbitjara tentang situasi dalam negeri, tidak Internasional.”
[xii]
Kecurigaan pejabat kolonial atas kegiatan SI bukan hal biasa, dari prasangka pejabat-pejabat itu bisa tersusun skenario yang menjatuhakan orang-orang pergerakan kedalam bui. Limburg van Stirum juga menganggap pemimpin pergerakan macam Cokroaminoto dan Abdul Muis adalah sombong lagi berbahaya. Mereka berdua juga yang lainnya adalah orang-orang berbahaya yang harus selalu diawasi. Berbeda dengan pendapat Hazeu-penasihat urusan pribumi. Menurut Hazeu, orang-orang macam Cokroaminoto, Abdul Muis, Hasan Djajadiningrat, dan lainnya masihlah loyal pada pemerintah kolonial dan bisa dipercaya. Hazeu menambahkan, bila pemerintah kolonial tidak memiliki itikad baik untuk memperbaiki keadaan di tanah jajahan, sikap mereka akan berubah dan menimbulkan kegoncangan di tanah Hindia juga. Tanggal 29 September 1916, Hazeu menulis surat pada Limburg Stirum, yang merupakan laporan atas Kongres tersebut. “Umumnja para utusan mengikuti pembitjaraan- pembitjaraan dengan perhatian. Tampak ada perhatian jang besar, kesungguhan dan tertib.”
[xiii]
Sikap mencurigai pemerintah kolonial terhadap kaum pergerakan, terus berlangsung sampai pemerintah kolonial Hindia Belanda bertekuk lutut kepada Jepang. Semakin hari Limburg van Stirum semakin keras menyikapi kaum pergerakan. Setelah Limburg tidak lagi menjadi Gubernur Jenderal, penerus-penerusnya juga rajin membuang orang pergerakan ke Digul atau ketempat lain yang jauh dari pulau Jawa. Roem menulis: “ada seorang Gubernur Djenderal jang mengira bahwa Pemerintah kolonial dapat bertahan lama.” Gubernur Jenderal yang dimaksud Roem adalah de Jonge. Berkatalah dengan angkuhnya de Jonge, sang Gubernur Jenderal itu: ” Kami bangsa Belanda disini sudah 300 tahun. Kami akan disini 300 tahun lagi. Sesudah itu kita boleh bertjakap-tjakap.”
[xiv]
Bagi Roem: “Hubungan pendjadjahan memang tidak wadjar dan bertentangan dengan martanat manusia. Hanja dalam dunia jang bebas, berdasarkan persamaan, manusia dari berbagai-bagai bangsa dan agama dapat harga-menghargai, pertjaja-mempertjajai serta bersahabatan jang murni.”
[xv]
Roem, dasarnya sama saja dengan sebagian orang-orang dizamannya, menginginkan sebuah perubahan yang menghargai sesama manusia, tidak seperti apa yang diterapkan oleh politik kolonial yang membumi di tanah Hindia kala itu. Roem merasa menjadi Inlander sangat tidak manusiawi bahkan menyakitkan, lantaran kerap dihina oleh orang-orang Belanda totok juga Indo.
Banyak hal membuat Roem menyadari hal-hal macam itu, pendidikan modern barat yang didapatnya sejak di HIS, AMS bahkan RHS membawanya sampai pada logika bahwa semua manusia pada dasarnya sama dan rasialisme tidak bisa diterima Roem sebagai dasar stratitifikasi sosial masyarakat di Hindia. Pergerakan, seperti yang disadari banyak orang-orang cerdas pribumi yang peduli dan menginginkan persamaan sebagai manusia, adalah jalan menuju perubahan. Pergerakan apapun, entah Islam atau sekuler sekalipun.
Roem, dimasa pergerakan belumlah menjadi raksasa pergerakan seperti Agus Salim, idolanya. Roem sedang tumbuh besar dimasa itu dengan jalan yang dipilihnya. Roem hanya segelintir orang muda yang mulai dipandang kepemimpinan dan pengaruhnya bahkan nyaris tidak diperhitungkan oleh kawan dalam pergerakan atau oleh musuh bersama pergerakan, pemerintah kolonial. Bisa dibilang Roem adalah anak yang baru tumbuh dibawah bayangan raksasa pergerakan bernama Agus Salim yang pengaruh sudah diperhitungkan oleh orang pergerakan maupun oleh pemerintah kolonial sendiri.
Dia hanya seorang pemuda yang sedang mencari jatidirinya. Disaat itu pula dia sudah memperlihatkan kepemimpinan dengan baik, sebagai ketua Comite Sentral Barisan Penyedar, sebuah organisasi yang berani menempuh jalan berbeda dari pecahannya, PSII. Keterlibatannya bersama Agus Salim itu membawa Roem berperan dalam dunia pergerakan nasional.
Seperti banyak tokoh-tokoh nasional yang populer diawal kemerdekaan, dimasa mudanya pastilah melewati masa pergerakan, seperti halnya Roem. Masa dimana mereka masih duduk sebagai siswa sekolah menengah. Masa dimana mereka mulai berdiskusi dengan kawan sebaya, orang yang lebih tua atau bahkan sudah mulai bergerak seperti Roem
[i] Fachri Ali, Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, Yanto Bashri &Retno Suffatni (ed),Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta, LKiS, 2005. h. 219.
[iii] Fachri Ali,
Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalamYanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 224: lihat cover belakang Mohamad Roem,
Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
[iv] Fachri Ali,
Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 224
[vii] Fachri Ali,
Muhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon,
Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2007. h. 761.
[viii] Fachri Ali,
Mauhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon., h. 761
[ix] Fachri Ali,
Mauhamad Roem: Diplomat Pejuang, dalam Yanto Bashri &Retno Suffatni, (ed)., h. 228-229: Parakirti Simbolon., h. 761.
[x] Lihat cover belakang Mohamad Roem,
Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.
[xi] Mohamad Roem,
Bunga Rampai Dari Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1972. h. 15.