Senin, Desember 10, 2012

Setelah 1945

Merdeka itu butuh aksi. Juga pengorbanan

Pada 13 November 1945: Demonstrasi rakyat Balikpapan di Karang Anyar, mengibarkan bendera merah putih. Demonstrasi ini dipelopori oleh rakyat  Komite Indonesia Merdeka (KIM) pimpinan Abdul Mutalib. Mereka menuntut, agar Belanda angkat kaki dari Indonesia. Pidato Abdul Mutalib yang berapi-api soal penolakan terhadap Belanda di Indonesia yang baru  merdeka itu membuat dirinya ditangkap. Akhirnya, Husein Yusuf membubarkan demonstrasi itu menghindari kerusuhan yang dirasa akan merugikan semangat perlawanan terhadap Belanda. Demonstrasi bubar teratur tanpa kekacauan. Sorenya, Abdul Mutalib yang ditangkap pihak berwenang pun dibebaskan, lalu di buang ke pulau Jawa.[1]
Sesekali terjadi aksi berani terhadap Belanda. Pada 18 November 1945, terjadi pelemparan granat di sentral NICA, Kampung Baru, Balikpapan. Dilakukan oleh Misbach dan Sabrie.[2]
Kaum pendukung kemerdekaan terus memperkuat diri. Pada 29 November 1945, Fonds Nasional Indonesia (Foni) didirikan, dipimpin Aminuddin Nata, Mas Saraman, dan S. Mawengkang.
NICA yang mulai menguasai Kalimantan Timur. Pengibaran bendera merah putih dilarang. Konferensi tentang kerajaan Kutai diadakan pada 17 Desember 1945. Dimana dibahas jika Kutai dibagi 5 Kepatihan: Kutai Selatan berpusat di balikpapan; Kutai Timur berpusat di Samarinda; Kutai Barat berpusat di Tenggarong; Kutai Tengah berpusat di Muara Muntai;  Kutai Ulu berpusat di Long Iram.  Keputusan ini baru diwujudkan tahun 1946. [3]
Kaum pro kemerdekaan pun menjadi bahan pengawasan bagi aparat NICA.  Di Samboja seorang mantan Gerindo bernama Djohan ditangkap NICA atas tuduhan kepemilikan senjata api. Di Balikpapan, Hasan Yusuf, yang juga mantan Gerindo,  ditangkap NICA juga.  Keduanya dulu aggota Gerindo.
Senjata api, sering dijual Tentara Australia yang berhasil merebut Balikpapan. Tentara Australia, sebelum meninggalkan Balikpapan sering menjual apa saja yang bisa mereka jual kepada warga Balikpapan yang kurang sandang, pangan, bahkan kelambu, pasca Perang Pasifik. Pakaian militer Australia pun tak ada masalah ketika dipakai orang sipil di Balikpapan selama tidak mengenakan tanda pangkat. [4]
Pada 6 Mei 1946, Kubu pertahanan Belanda Bronbeek (RSU Balikpapan, lahan Puskib) digempur pasukan Abdurrahman Muhidin dan Limpat (HA Talib). Sebulan kemudian, 5 Juni 1946, Partai Ikatan Nasional Indonesia didirikan di Balikpapan. Ketuanya Aminuddin Nata. Sebulan kemudian, pada 6 Juli 1946, Pasukan Limpat di Tanjung Batu, Balikpapan, diserang patroli BElanda. Pada 11 Juli 1946, Di Kampung Sepaku (PPU) pasukan Limpat dan pasukan Abdurrahman Muhididn diserang tentara Belanda. Pada 16 Juli 1946 Pasukan pecahan dari Muhidin/Limpat diserang di Kampung Riko (PPU) dan mundur ke Paser. Pada 14 Agustus 1946, Pasukan Limpat dan Abdurrahman Muhidin diserang di Paser. Sejumlah pejuang gugur. di Balikpapan, JF Sitohang dan Ny Suwito  membakar gudang NIGIO yang berisi hasil bumi untuk diekspor. Keduanya ditangkap di balikpapan. Pada 7 November 1946, Pasukan Anang Acil dkk menyerang Kamp Werk Kompie di Jembatan Bungkuk. Pada 11 November 1946, Markas Anang Acil di Kampung Damai, Balikpapan, diserang BElanda. Empat pejuang dan tujuh penduduk tewas. [5]
Aksi-aksi terus berlanjut, pada 30 November 1946, terjadi Pelemparan granat di Manila Club di Muara Rapak  yang epnuh tentara Belanda. Granat tidak meledak, tapi banyak yang tewas terinjak-injak. Kemudian, pada 1 Desember 1946, Seorang mata-mata Belanda mati dalam penyerbuan di Gunung Air Terjun. Polisi rupanya menyelidiki pelemparan granat di Manila Club.
Tanggal, 4 Desember 1946, Herman Rutambi berhasil melucuti patroli polisi di Sungai Wain, Balikpapan. Herman bergabung dengan pasukan Kasmani di Gunung Samarinda. Essok harinya, 5 Desember 1946, Penguasa militer Belanda melarang orang berjalan bergerombol lebih dari lima orang. [6]
Tanggal 10 Desember 1946, Tangsi Loc di Pandasari dan tangsi polisi NICA di Gunung Pipa, Balikpapan, diserang pasukan merah putih. Tanggal 11 Desember 1946, Bentrokan pasukan merah putih dengan serdadu Belanda di Muara Rapak. Tiga penduduk terkena peluru nyasar.
NICA tentu bertindak keras kemudian, pada 12 Desember 1946, Polisi NICA dibantu militer menyerang pasukan merah putih di Gunung Samarinda, Balikpapan. Seorang polisi NICA ditawan. Tanggal 14 Desember 1946, dengan senjata berta dan empat truk pasukan, Belanda menyerang pasukan Merah Putih di Gunung Samarinda. Pejuang mundur ke Kampung Damai. [7]
Tanggal 15 Desember 1946, Markas pejuang di Kampung Damai, Balikpapan. Puluhan pejuang Republik ditangkap. Esoknya, 16 Desember 1946: Pasukan Herman Ruturambi dan kawan-kawan yang lolos dari Kampung Damai kembali diserang di Gunung Bakaran, Balikpapan. Hingga tersisa lima pejuang, termasuk Herman, mereka mundur ke Handil Dua.
Tanggal 20 Desember 1946, Jip militer Belanda menggeledah rumah penduduk di Samboja termasuk kepala penjawat (camat) Abdul Gani. Ketika pulang ke Markoni, jip disergap pejuang. Seorang militer Belanda berpangkat vaandrig tewas.[8]
Kedua ada Jembatan Merah di Balikpapan, masih di zaman perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1945-1947, Jembatan Merah ini juga menjadi saksi bisu  pertempuran para pejuang Balikpapan. [9]


[1] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 17.
[2] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[3] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 19. 
[4] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[5] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[6] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[7] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30. 
[8] Kaltim Post Balikpapan - 14 Agustus 2012
[9] Abdul Gani, Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur, Samarinda&Jakarta, Jakarta Kaltim Group, 1993, hlm. 20-30.  



Tidak ada komentar: