KKO AL punya pahlawan. Jadi, hak AL untuk memberi nama pada kapalnya, tak perlu dengar apa kata tetangga yang cerewet itu
Dulu, waktu Sukarno masih jadi presiden, waktu konfrontasi Malaysia, dua orang prajurit KKO bermasil memasuki Singapura dengan bantuan orang sipil bernama Gani. Dua KKO itu berhasil menuntaskan misi sabotase mereka. Peledakan Mcdonald House di Singapura sukses. Pengeboman MacDonald House terjadi pada tanggal 10 Maret 1965. Gedung ini merupakan gedung dari Hongkong and Shanghai Bank. Orang menyebutnya MacDonald House. Terletak di Orchard Road, Singapura. Tiga orang meninggal dunia (Dua korban yang tewas berasal dari suku Tionghoa sedangkan satunya lagi adalah orang Melayu) dan sedikitnya 33 orang cidera. Pengeboman di MacDonald House merupakan pengeboman yang paling serius dari seluruh pengeboman-pengeboman yang terjadi di Singapura. (The Straits Times, 11 Maret 1965) Misi boleh sukses. Pihak otoritas Singapura tentu tak diam. Pelaku peledakan diburu. Mereka ditangkap di sekitar Selata Malaka. Dua anggota KKO tertangkap. Mereka lalu di tahan cukup lama di penjara Changi. Setelahnya mereka di gantung dak tak pernah kembali pulang. (Sapuduto Citrowijoyo, Kompi X Siglayan, hlm. 14). Jika bicara soal hukuman, dari pihak Singapura jelas sudah impas.
Belakangan Singapura rebut. Mereka nampaknya tak suka rencana TNI AL memberikan nama Usman-Harun pada kapal perang terbaru mereka. Kapal tersebut didanai Indonesia, dan nama Usman Harun adalah pahlawan bagi Angkatan Laut Indonesia, jadi Angkatan Laut berhak memakai nama itu. Harun dan Usman bukan sosok prajurit dengan pangkat tinggi. Mereka hanya tamtama ketika mereka dikirim ke singapura untuk melakukan sabotase didalam wilayah singapura sendiri. Harun yang berpangkat Prajurit, kemudian menjadi Kopral Dua setelah dinyatakan gugur. Dan Usman yang semula kopral lalu dinaikan pangkatnya menjadi Sersan Dua. Upaya pembebasan dua KKO itu justru dilakukan setelah Sukarno tak berdaya lagi sebagai Presiden. Suharto sudah mulai naik dan usaha damai untuk menghentikan konfrontasi “Ganyang Malaysia” mulai dilakukan Suharto dan pengikutnya. Namun di masa transisi menuju perdamaian itulah hukuman gantung dijatuhkan pada 17 Oktober 1968. Karena konfrontasi sudah berhenti tak lama setelah 1965. Hukuman mati itu jelas di waktu yang salah, setidaknya terlambat sekali datangnya. Jika pihak Singapura ingin menghukum mati mereka, setidaknya tak lama setelah kejadian peledakan. Ini bukan bentuk perdamaian Indonesia, melainkan betapa murahnya nyawa manusia pada zaman orde baru.
Sebelum eksekusi, Usman dan Harun sempat bersurat pada keluarga mereka. Mereka minta kepada keluarga, mereka begitu tegar atas nasib buruk yang akan mereka alami. Kepada ibu-ibu dan keluarga besar mereka, mereka tidak sekedar meminta ampun atas dosa mereka perbuat semasa hidup. Tidak lupa mereka meminta keihklasan keluarga, apalagi ibu mereka, dalam menjalani hukuman. Mereka juga meminta keluarga mereka untuk tegar dan bisa menerima kenyataan akan hukuman mati yang akan mereka terima. Kematian dua KKO AL itu mengundang reaksi keras dari banyak orang Indonesia. Mereka menyatakan tidak bisa menerima tindakan pemerintah Singapura—yang bagi mereka berlebihan. Dari poster demonstrasinya, para demonstran yang tidak terima atas hukuman dua prajurit KKO, sudah bernada ingin membalas dan menghancurkan Singapura. Kedua prajurit KKO tadi lalu dimakamkan di Taman makam pahlawan Kalibata. Pangkat mereka juga dinaikan. Usman sebagai Sersan dan Harun menjadi Kopral.
Dua pahlawan itu lalu menjadi pahlawan kebanggaan korps marinir hingga kini. Terlepas nasib naas yang dialami oleh kedua prajurit KKO itu, sebenarnya misi yang mereka emban sukses. Misi sabotase di dalam daerah lawan itu sangat berhasil. Klendestin (penyamaran) prajurit KKO itu sukses. Kepanikan paska peledakan itulah yang membuat aparat keamanan Singapura berusaha keras mencari mereka, hingga akhirnya mereka tertangkap. Kematian dua pahlawan Dwikora itu adalah kisah menarik dalam sejarah Operasi Dwikora. Dimana kisah kepahlawanan itu seolah tidak mendapat porsi semestinya dalam sejarah Indonesia. Hal ini selain demi menjaga hubungan baik dengan Negara tetangga Singapura, jelas memiliki muatan politis di dalam negeri sendiri. Salah satunya untuk meminggirkan KKO, yang kemudian bersalin nama menjadi Korps Marinir, sendiri.
Tindak kepahlawanan Usman dan Harun, jelas tidak kalah Herois dengan kepahlawanan Toha dari Bandung selatan dimasa revolusi. Sayangnya, kepahlawanan Usman dan Harun yang gugur ditangan musuh dan telah merugikan musuh itu harus dikalahkan oleh pengkultusan tokoh-tokoh yang lebih banyak yang menghabisi para pemberontak yang tidak lain adalah suadara sendiri. Eksekusi mati atas Harun dan Usman adalah awal keangkuhan Singapura dalam menginjak-injak Indonesia. Dan, omong kosong besar jika Suharto adalah Presiden yang kuat di luar negeri. Jika kuat harusnya tak hukuman mati untuk dua KKO tadi. Jika Sukarno masih berkuasa, vonis mati pada Usman dan Harun, konfrontasi Malaysia bisa berubah jadi perang terbuka. Harga diri Indonesia nomor satu buat Sukarno, meski Sukarno gagal membangun ekonomi. Sukarno mungkin tak akan terima dua KKO itu dihukum oleh bekas Negara boneke bikinan nekolim (Inggris). Tribute to: Usman Harun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar