Di sebuah kadipaten kere bernama Lebak kedatangan bule humanis, yang kebetulan kaki tangan pemerintah kolonial Belanda juga. Namanya Max Havelaar. Pegawai muda ini tiba bersama Tine, istrinya dan anak semata wayangnya yang lucu. Max diantar oleh residen. Sebelumnya, Max pernah bertugas di luar Jawa. Max orang yang sangat peduli pada orang pribumi yang dulunya seharga sampah, alias tak berarti. Max orang yang siap susah. Dia bahkan pernah berduel dengan Letnan KNIL yang kurang ajar. Perwira itu melecehakan seorang wanita pribumi berwajah cukup manis. Max berhasil melukai lawannya. Namun Max menyesalinya.
Tahun 1850an, Jawa sudah jadi pulau termaju di Hindia Belanda. Kepindahan dinas Max ke pulau Jawa, sebenarnya menyenangkan istrinya pada awalnya. Apalagi, Max yang karirnya tak terbilang bagus, kini diangkat jadi Asisten Residen. Namun begitu sadar di daerah yang miskin, rasa gembira Tine berkurang. Di Lebak, mereka menempati rumah asisten residen lama. Bekas Nyai Asisten Residen lama tinggal tak jauh dari rumah itu. Asisten Residen lama, Mr Slotering, sebetulnya mati diracun orang-orang setia sang Adipati. Namun, laporan pemerintah menyebut, Slotering mati karena liver. Max terkejut. Di pulau yang katanya punya budaya luhur itu, rakyat jelata diperlakukan oleh para penguasa lokal. Dimana ada orang-orang tak dibayar yang diharuskan bekerja membersihkan rumput di pekarangan kadipaten. Max marah atas penghisapan, yang bagi kaum feudal Indonesia adalah wajar jika rakyat jelata harus menurut apa saja perintah Adipati. Orang-orang itu disuruh pulang. Sang Adipati lalu mengirim orang-orang untuk memberishkan pekarangan rumah Max. Dengan tegas Max menolak.
Max juga kemudian harus menyaksikan demang dari kadipaten merampas kerbau keluarga Saidjah. Mereka tak berdaya dan takut melawan demang beserta centeng-centengnya. Ketika Max mendatangi mereka, tak ada seorang pun yang berani buka mulut soal perampasan itu, meski Max berjanji akan melindungi mereka. Rakyat jelata memang tak doyan melawan. Hidup Max tentu dibuat tak tenang. Ular-ular berbisa pun dikirim ke sekitar rumah Max. Max junior bahkan hampir mati dipatuk. Nyai dari Slotering lalu cerita pada Max, soal Slotering yang diracun. Max mulai waspada. Makin hari antek-antek sang Adipati makin menggila, mereka rela membunuh orangtua Saidjah. Namun mereka tak berani terang-terangan melukai Max.
Rupanya, kerbau-kerbau rampasan itu dijadikan hidangan sang Adipati yang sedang menjamu tamu jauh yang katanya agung dari Bandung. Max yang telah meminjamkan uang pada Adipati pun merasa kesal dan melapor pada residen. Namun residen beserta jajarannya lebih suka mendukung sang Adipati. Mungkin karena para adipati atawa Bupati yang sangat berjasa dalam membantu program tanam paksa yang berhasil menambah pemasukan Belanda. Belakangan Max pun dipecat. Sejatinya, dalam sejarah rakyat jelata adalah kelas yang selalu menderita. Itu seolah takdir yang diamini orang-orang. Rakyat jelata, mungkin sejak jaman orang-orang Indonesia kenal kerajaan, adalah orang yang boleh diperas: boleh diambil ternaknya; istrinya; anak gadisnya; atau apa saja yang berharga lainnya oleh para penguasa yang kadang berupa raja, bupati atau tuan tanah. HIngga hari ini, feodalisme, meski mulai ditinggalkan tetap saja ingin dipertahankan penguasa. Lihat saja para pejabat lokal Indonesia masa kini. Feodalisme, sebetulnya akar terbesar dari korupsi di Indonesia. Seorang feodal seperti raja selalu merasa apapun yang ada disekitar dirinya adalah miliknya. Boleh perintah orang seenaknya; semua uang atau apa saja yang ada didepan matanya adalah miliknya jadi boleh dia mabil dan pakai semaunya. Kalau sudah ada di wilayah mereka uang itu harus jadi milik mereka. Tak istilah uang rakyat lagi dimata mereka. Film Max Havelar yang sempat dilarang ini sebetulnya bisa membantu kita menelisik akar korupsi atau bentuk penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Mungkin itu juga alas an kenapa film ini pernah dilarang beredar di Indonesia. Sebuah film yang bagus, meski agak menyesakkan dada kaum nasionalis buta yang selalu bilang orang Belanda selalu jahat. Mereka tentu tak akan terima kalau ada priyayi Indonesia asli menindas bangsa sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar