Senin, September 16, 2013

Yang Katanya Negara Agraris

“Orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi”

Nasi goreng sudah mendunia. Berdasar survey media kesohor dunia, nasi termasuk makanan paling enak di dunia. Ini makanan sudah ada sedari jaman kolonial. Ini makanan lahir karena masuknya orang-orang Belanda yang susah ketemu roti di Indonesia. Akhirnya nasi pun mereka makan, tentu setelah menggorengnya.
            Nasi bukan satu-satunya makan di Indonesia. Meski harus kita akui, “orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi.” Entah ini dosa rezim siapa? Sepertinya ratusan tahun silam tak seperti itu. Orang Madura biasa makan jagung. Orang Papua atau Maluku punya tradisi makan sagu. Kata seorang kawan, satu pohon sagu bisa mengisi perut satu keluarga selama beberapa bulan. Dalam sebuah acara di televisi, cacing yang ditemukan di pohon sagu pun bisa dimakan
Indonesia memang punya banyak makanan enak. Tak melulu yang dari beras. Papeda juga makanan enak dari sagu. Kata seorang anak Digulis, "asal bisa mengolah. Ikan dan sagu bisa menjadi makanan enak." Begitu kenangan ibu-ibu tua di masa bocahnya di pedalaman Papua, Boven Digoel.
Ada semacam konversi pangan. Nasi dijadikan makanan pokok Indonesia. Tak masalah jika itu hanya berlaku di Jawa, atau daerah-daerah yang bisa ditanami padi. Tap bagaimana dengan orang Papua dan Maluku yang sudah terbiasa dengan sagu? Kelaparan yang terjadi di Papua beberapa tahun silam jangan-jangan dosa pemerintah yang mengkonversi makanan pokok menjadi nasi. Nampaknya, ini hanya bagian dari bisnis. Agar orang-orang diluar Jawa tergantung pada beras. Agar orang terpaksa membeli beras. Tapi, rupanya pemerintah pun gagal sediakan beras murah.
Tak hanya itu, petani beras pun tak pernah untung. Rupanya, diam-diam pemerintah masih import beras. Meski begitu tak pernah ada himbauan yang jelas dari pemerintah pada rakyat untuk mencari sumber makanan lain selain beras. Sedari dulu pertanian pribumi adalah eksploitasi yang memiskinkan. Petani adalah kaum paling menderita sepanjang sejarah. Di jaman kerajaan, petani adalah kelompok yang sudah pasti paling sering dipungut berasnya oleh raja-raja. Di jaman kolonial, dengan perantara priyayi, para petani dipaksa menanam tanaman komoditas, non beras, hingga lupa tanam padi. Akhirnya mereka kelaparan. Sekarang pun, di jaman kemerdekaan, petani Indonesia belum merdeka. 
Masalah pertanian rakyat pribumi juga menjadi perhatian Husni Thamrin. Masalah pemasaran gula, kedelai beras di dalam negeri dipelajarinya dengan teliti bahkan diperdebatkan dengan sengit jika masalah ini menyangkut kaum petani sebagai produsen lokal yang harus diperjuangkannya. Dalam sebuah sidang delegasi pada 24 Februari 1934 telah gagal dibatasinya Import beras. Thamrin kemudian mendesak untuk pemerintah segera mengubah tanah-tanah yang disewa perusahaan besar agar dikembalikan kepada petani untuk menanam padi pada musim hujan.  Karena import beras yang harga pasarannya rendah maka terjadi banjir beras, baik yang berasal dari Jepang maupun dari Thailand. Dalam hal ini Thamrin mendesak dilakukannya keseimbangan antara beras lokal dengan beras import. Desakan Thamrin gagal, import beras telah mendorong gagalnya produksi beras dalam negeri, pemerintah juga rupanya lebih senang mengimpor beras Thailand yang lebih murah. Import beras mendatangkan rezeki bagi importir maupun pedagang Cina menangguk banyak untung. Pemerintah kolonial juga tidak lepas beruntungnya dengan bertambahnya keuangan mereka dari import beras ini. (Bob Hering , M.H. Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941 ,  hlm.  241)
 Kata seorang kawan, seorang dosen pertanian di UGM, maaf off the record, para petani Indonesia beserta lahan-lahan yang ada sebetulnya mampu memberi makan semua orang Indonesia. Itu belum termasuk sagu-sagu orang Papua dan Maluku, juga belum termasuk jagung-jagung orang Madura. Tapi, kenapa masih impor beras? Padahal, waktu Syahrir jadi perdana Menteri, beras-beras Karawang pernah dikirim ke India yang kelaparan. Indonesia punya sejarah manis itu. Tapi sekarang bertolak belakang. Apa yang terjadi sejak masa Suharto dan setelahnya nampaknya pengulangan jaman kolonial.  Untuk bangsa yang katanya anti kolonial, kita masih menganut kebijakan impor beras macam kolonial Belanda dulu. Itu sama saja NKRI meludahi wajah dan perjuangan Husni Thamrin. 

Tidak ada komentar: