Ada dua Douwes Dekker yang bikin kesal pemerintah kolonial, karena simpati mereka pada rakyat Hindia. Namun hanya EFE Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi saja yang bisa lihat Hindia menjadi Indonesia.
Heran juga ada bapak-bapak dengan rupa agak bule bernama Kesworo.[1] Usut punya usut, ternyata bapak-bapak bule ini anak dari Danudirja Setiabudi. Dia Pahlawan Nasional Indonesia. Seorang Indo, yang dimata orang Indonesia sebagai orang baik hati.
Orang lebih kenal Danudirja Setiabudi sebagai Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Kadang timbul salah tafsir jika Douwes Dekker yang dikenal sebagai Danudirja Setiabudi ini sama dengan Multatuli, karena sama-sama Douwes Dekker. Douwes Dekker yang Multatuli—yang menggegerkan Negeri Belanda karena buku Max Havelaar-nya mengkritik habis system tanam paksa, yang punya nama Edward Douwes Dekker, sebenarnya masih satu keluarga besar Douwes Dekker. Ada yang menyebut EFE Douwes Dekker keponakan dari Edward Douwes Dekker.[2] Mari kita sapa EFE Douwes Dekker sebagai Danu saja, agar lebih santai.
Sedari muda, Danu seorang petualang. Pecinta kebebasan. Lepas HBS[3] Danu pernah kerja sebentar di sebuah perkebunan kopi. Di usia yang baru 22 tahun, Danu bertualang ke Afrika Selatan. Terlibat dalam perang Boer. Dimana dia berada dipihak Boer dan melawan Inggris. Namun dia ditawan oleh tentara Inggris lalu ditahan di Srilangka sebentar. Danu, kemudian dibebaskan dan kembal ke Hindia Belanda (Indonesia).
Hidup baru setelah kebebasan dari penjara kolonial, dijalani Danu sebagai jurnalis. Dia pernah bekerja di De Locomotief dan beberapa suratkabar berbahasa Belanda lainnya. Selama menjadi jurnalis, Danu sempat mengunjungi Belanda, antara tahun 1909-1910. Sekembali dari Negeri Belanda, Danu lalu berhasil mendirikan harian De Express.
Danu kemudian teribat gerakan politik. Danu seperti wakil orang-orang Indo yang menginginkan adanya perubahan di Hindia Belanda. Selain Danu, beberapa orang dengan nama Douwes Dekker, tergabung dalam kelompok sosialis di Hindia Belanda.[4] Tentu saja, Danu berbeda dengan orang-orang Indo kebanyakan yang mengeklusifkan diri—karena kalah status dengan dan direndahkan oleh Belanda totok, juga tidak mau disamakan dengan pribumi.
Danu adalah orang terbuka. Nyata, dia bersama dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat adalah Tiga Serangkai pendiri Indische Partij. Sebuah partai terbuka bagi semua orang di Hinda, entah Indo atau pribumi. Kaum Indo kadang dikenal sebagai kaum Insulinde.
Indische Partij berdiri tepat Natal 25 Desember 1912, setelah Tiga Serangkai melakukan perjalanan propaganda keliling Jawa. Tahun 1913, adalah tahun pengusiran Danu karena aktifitas politiknya yang dengan pedas mengkriti pemerintah kolonial. Hingga Danu harus angkat kaki dar Hindia. Danu memilh ke Belanda dan memilih belajar di sana.
Danu baru kembali pada 1918. Dimana dia bergerak dibidang pendidikan. Dia menjadi direktur dari Ksatriaan Institut 1924.[5] Sebuah perguruan modern yang cukup dipandang sebagai pembibitan pemuda Indonesia. Di Ksatriaan Institut, pendidikan kepada anak-anak Indonesia semakin bisa semakin ternikmati. Salah satu jebolan Ksatrian Institut adalah Baharudin Muhamad Diah, yang dikenal sebagai tokoh pers Indonesia.
Ketika perang di Pasifik mulai bergolak, Danu mulai dekat dengan orang-orang Jepang. Seperti juga Husni Thamrin yang anggota Volksraad. Mereka berdua pun mulai diawasi pemerintah kolonial. Danu berencana mengirimkan beberapa pemuda lulusan Ksatrian Institut ke Jepang. Tentu saja ini membuat para pemerintah berang, meski Hindia Belanda dan Jepang belum terlibat perang secara langsung. Jika kemudian Danu ditangkap oleh aparat hukum kolonial pada Januari 1941 di Ngawi, maka Husni Thamrin harus meninggal dalam tahanan rumah.[6]
Selanjutnya, Danu jalani hukuman dari pemerintah kolonial untuk ketiga kalinya. Dia mengalami pembuangan ke Suriname. Tahun 1945, ketika di Negeri Belanda, Danu akhirnya mendengar kabar proklamasi Indonesia. Dia pun segera kembali ke Indonesia yang dia cintai. Beberapa waktu tinggal di Indonesia, ketika Syahrir menjadi Perdana Menteri, Danu dimasukan dalam kabinet sebagai Menteri Negara. Danu, pada 1952, meninggal dunia di tanah yang diperjuangkan kemerdekaannya.
Danu sempat menikah dua kali seumur hidupnya. Anak dari istri terakhirnya rela dinamai Kesworo, karena kecintaannya pada Indonesia. Nama Kesworo mengingatkan saya pada Kisworo alias Klowor alias Iswara NR yang pernah punya bajing yang dinamai Douwes Dekker. Bukan ingin merendahkan, tapi sebagai penghormatan unik ala kawan saya itu. Belakangan, bajing bernama Douwes Dekker itu kabur entah kemana? Yah Douwes Dekker memang berjiwa bebas dan tidak ingin hidup dalam sangkar. Bukan cuma Douwes Dekker si bajing, tapi juga dua orang bernama Douwes Dekker yang pernah hidup di Indonesia. Mereka berdua tidak melulu kejar kebebasan, tapi juga tidak ingin melihat orang lain menderita.
[1] Kesworo mengingatkan saya pada Kisworo alias Klowor alias Iswara NR yang pernah punya bajing yang dinamai Douwes Dekker
[2] Ensiklopedi Umum, Kanisius, 1973, hlm. 350-351.
[3] HBS: Hogare Burger School (sekolah menengah lima tahun). Sebuah sekolah elit yang hanya bias dimasuki anak dari kalangan keluarga berada saja.
[4] Periksa buku Hans Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta, Hasta Mitra, 2003.
[5] Surat Gubernur Jenderal tertanggal 15 Januari 1923 no. 3 A x Geheim, dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta, Balai Pustaka, 2008, hlm. 288.
[6] Tentang kematian Thamrin lihat dalam Bob Hering, M. H. Thamrin : Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar