Yang saya dapati sejarah Sulawesi Selatan, cukup menarik dikaji. Sulawesi Selatan dalah daerah termaju di Indonesia Timur.
Sebelumnya saya mengenal Sulawesi Selatan hanya dari buku atau hanya dari cerita kawan-kawan saya ketika kecil. Suatu kali Indonesia Boekoe, tempat saya pernah bekerja memberi tugas pada saya untuk menulis salah satu tokoh wanita dari Sulawesi Selatan, We Tenriolle. Tokoh ini sangat asing sekali dalam sejarah Indonesia.
Bukan Sekedar Sejarah Kekerasan
Sejarah Sulawesi selatan cukup disoroti dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, dalam Sejarah Nasional Indonesia yang disusun Nugroho Notosusanto, kebanyakan hanya berupa kekerasan saja. Dimana ditemukan tentang perang Sultan Hasanudin melawan VOC. Juga memposisikan Arung Palaka pengkhianat karena bersekutu dengan VOC melawan Sultan Hasanudin. Lalu ada cerita heroik Walter Monginsidi dan selanjutnya ada pemberontakan Kahar Muzakar yang dituduh antek DI/TII, padahal pemberontakan terjadi karena pemerintah tidak bisa bertrima-kasih kepada bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian ikut berontak dengan Kahar Muzakar.
Sayangnya, Sejarah intelektulitas masyarakat Sulawesi Selatan tidak diangkat. Padahal orang-orang Sulawesi Selatan punya cendikiawan sekelas Karaeng Patinggalong, Syech Yusuf dan lain-lainnya. Bicara soal hukum dan lautan, orang Bugis-Makassar memiliki Amanna Gappa. Sejarah Nasional Indonesia, yang enam jilid dan belum lama cetak ulang itu, kebanyakan berbicara Jawa jauh lebih banyak daripada yang lainnya.
Pergerakan nasional, sebagai titik penting Sejarah Nasional Indonesia, dianggap banyak sejarawan sebagai masa berakhirnya perlawanan fisik rakyat Indonesia yang menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dengan kata lain, masa pergerakan, sesudah 1908, adalah waktunya berjuang dengan otak dan otot tidak lagi dipakai. Berarti beberapa tokoh yang melakukan perlawanan seperti Kiai Hasan di Cimereme dan tokoh lain ditempat yang lain tidak lebih daripada perusuh saja. Mereka tentu tidak akan menjadi pahlawan nasional karena dianggap perusuh.
Perjuangan tanpa kekerasan, atau yang dianggap perjuangan gaya modern, yang pakai otak, sebenarnya dimulai sebelum 1908. Sebelum meninggalnya ditahun 1904, Kartini sudah berusaha mencerdaskan kaum putri.
Sejarah Sulawesi Selatan sendiri, tidaklah hanya diisi dengan sejarah kekerasan yang memakan nyawa saja. Tradisi intelektual sebenarnya sudah dimulai juga menjelang abad XX. Dimana beberapa orang tua dari kalangan berada memasukan anak-anaknya ke sekolah modern, dan jauh sebelumnya lagi mengirim anaknya ke pesantren.
Meski orang tua terkesan opurtunis, dengan anaknya belajar di sekolah modern, maka si anak akan mengerti perkembangan dunia dan juga bisa mengenali musuh-musuhnya. Jangan heran jika keluarga bangsawan Jawa, juga Bugis, mengirim anakanya ke sekolah modern.
Meski di Makassar pada zaman kolonial, hanya ada sekolah menengah. Yakni hanya sekelas Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) saja, tidak ada Algemene Midelsbare School (AMS; setara SMA) maupun Hogare Burger School (HBS; sekolah menengah 5 tahun yang lulusannya setara lulusan SMA). Jika ingin sekolah lebih tinggi maka pemuda sulawesi selatan harus pergi ke pulau Jawa—dimana akses pendidikannya paling maju di zaman kolonial.
Tradisi sekolah di Sulawesi Selatan, sebenarnya tidak hanya dilakukan pemerintah kolonial pada kalangan terbatas. Banyak juga tokoh pribumi yang membuka sekolah. We Tenriolle adalah salah satunya di Sulawesi Selatan. Raja wanita dari Tanette ini pernah mendirikan sebuah sekolah. Dimana sebagian muridnya adalah wanita. Dengan sekolah ini, modernisasi di Sulawesi Selatan bisa berjalan meski palan. Karena terbatasnya akses sekolah.
Sebenarnya, sejak dulu, dari apa yang saya baca tentang Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan memiliki produk intelektual yang hebat. Mulai dari Sureq La Galigo sampai etika kelautan Amanna Gappa. Tradisi menulis juga dilakukan dalam lontara’ dengan huruf Bugis yang bentuknya berbeda dengan huruf Jawa.
Bicara soal La Galigo, untuk sementara saya menilai, cerita ini asli dan tidak mengadaptasi dari cerita lain dari luar. Berbeda dengan beberapa karya Jawa seperti Arjunawiwaha yang lebih banyak dipengaruhi oleh cerita Ramayana maupun Baratayudha. Menurut saya La Galigo jelas asli Sulawesi Selatan. Tentunya orang Sulawesi Selatan harus bangga pada La Galigo.
Dari budaya pemkiran yang ada tadi, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Sulawesi Selatan punya kebudayaan intelektual. Sayangnya, banyak pemberitaan di media mengidentikan daerah ini dengan kekerasan saja. Begitu juga dalam sejarah Indonesia, dimana sejarah Sulawesi Selatan lebih banyak hanya menonjolkan perang dan kekerasan tanpa mengangkat sejarah intelektualnya. Tidak mengangkat sastra dan produk hukum lautnya.
Yang Termaginalisasi
Kota Makassar sudah menjadi pusat politik sejak lama. Ketika Revolusi Indonesia terjadi, Makassar juga masih menjadi kota penting. Makassar juga menjadi pusat sebuah Negara Boneka buatan Van Mook, selaku kolonialis sejati yang berusaha menegakan kembali Hindia Belanda di tanah yang sudah menyatakan diri Indonesia.
Negara Indonesia Timur buatan van Mook itu dicap oleh sejarah Indonesia sebagai kelompok pendukung politik kembalinya kolonialisme di nusantara. Dengan kata lain, orang-orang NIT banyak dicap sebagai antek-antek Belanda.
Dengan politik Devide et Impera gaya barunya Van Mook tampak ingin memecah belah Indonesia. Dengan BFO yang kemudian berdiri dan diketuai oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, semua Negara buatan Van Mook bersatu. Sebagai pihak ketiga, selain Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dan setelah tentara Belanda ditarik, maka kaum federalis yang dulu pernah dalam BFO dan lain sebagainya adalah pihak yang paling disalahkan dalam sejarah.
Ada tidaknya BFO dan Negara-negara bagian buatan Van Mook itu, tetap saja Indonesia merdeka dan akan memperoleh wilayah nusantara sebagai wilayah kekuasaan, seperti wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena situasi dunia pasca Perang Dunia II, nyatanya lebih mendukung Indonesia ketimbang Belanda. Negara-negara boneka itu juga didirikan pasca perundingan yang mempersempit wilayah RI.
Negara-negara bagian itu sempat bersatu dengan RI dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun Negara federal itu tidak bertahan lama ditahun 1950. beberapa kerusuhan seperti Peristiwa Westerling di Bandung dan Jakarta, dan juga Peristiwa Andi Aziz di Makassar, maka antipati terhadap Negara federal pun tumbuh dan RIS kemudian bubar. Negara federal lalu disalhakan dan siapapun yang mendukungnya berarti menolak Negara kesatuan dan harus berhadapan dengan TNI. Sistem federal lalu disamakan dengan disintegrasi dan pengkhianatan.
Dalam sejarah Indonesia, Peristiwa Andi Azis dianggap sebagai contoh sejarah atas buruknya sistem federal. Dimana kaum federalis itu dianggap menolak Republik Indonesia di Makassar, meski sebanarnya mereka cukup mengakui pemerintahan RI di Makassar, namun kebijakan RI atas NIT terkesan tidak menghargai bekas kaum federalis. Kota Makassar adalah saksi dikambinghitamkannya sistem federal. Karenanya pasca reformasi 1998, otonomi daerah menjadi jembatan anatara sistem federal dengan Negara kesatuan.
Masalah federalisme pun bisa teratasi namun pengkambinghitaman terhadap kaum pendukung federalisme di Indonesia terus berlangsung. Tidak banyak yang menyadari, bahwa kaum federalis disamakan dengan menolak NKRI dan dianggap pengkhianat.
Kaum federalis bukan satu-satunya yang termarginalisasi. Tokoh penting Sulawesi Selatan yang temarginalisasi dlam sejarah adalah Arung Palaka. Dirinya dianggap berkhianat kepada Indonesia, entah Indonesia yang mana? Ini karena persekutuannya dengan VOC melawan Sultan Hasanudian, Raja Gowa yang dizamannya telah menjajah Bone—tanah kelahiran Arung Palaka.
Sejarah Nasional umumnya sulit berkata jujur, dan hanya mengambil sisi praktis semata untuk pemerintah yang hanya ingin kestabilan dan menghindari keadilan sejarah. Dan soal gelar pahlawan yang diberikat Negara pada seorang tokoh, juga predikat pengkhianat pada yang tidak sejalan jelas adalah hal yang sangat politis. Meski Negara bisa stabil oleh politisasi sejarahnya yang tidak jujur dan tidak adil, namun kebohongan akan tercium dan akan bisa merusak citra Negara tersebut, khususnya di kalangan intelektualnya.
Penulisan Sejarah Sulawesi Selatan
Tidak ada yang mengalahkan kebenaran sejarah nasional yang disusun pemerintah. Apalagi untuk Negara macam Indonesia. Wacana buku Sejarah Nasional Indonesia, dijadikan sesuatu yang dibenarkan. Tentunya wacana-wacana itu dimasukan dalam pelajaran sejarah sekolah dari SD hingga SMA.
Jika wacana sejarah ala pemerintah tadi memuat ketidak-adilan sejarah, maka penulisan sejarah alternatif harus dilakukan. Sangat penting menulis sejarah dari sudut pandang berbeda, jika ada sebuah wacana yang secara politis memelintir sebuah fakta sejarah dan berpihak pada sebuah golongan khususnya golongan penguasa. Karenanya penulisan sejarah haruslah beragam dari sudut pandang yang berbeda, yang tentunya berusaha berpihak pada kemanusiaan saja.
Penulisan sejarah ini tentu saja tidak bermaksud membuat masyarakat bingung untuk mengikuti yang mana. Sebenarnya, justru masyarakatlah yang seharusnya menjadi juri yang menilai kebenaran sejarahnya. Selama ini, pemerintah yang begitu dominan dalam menentukan mana wacana sejarah yang dibenarkan dan harus dianut oleh masyarakat. Hingga pembodohan sejarah pun menjadi penyakit akut masyarakat Indonesia. Penting sekali untuk menjadikan masyarakat Indonesia sebagai juri pengadilan sejarah Indonesia yang berhak menilai kebenaran sejarah. Sementara itu tugas sejarawan, yang selama ini dianggap sebagai sumber kebenaran, sebenarnya hanyalah menafsirkan fakta-fakta sejarah yang ada. Sejarawan tidak berhak menjadi orang yang merasa diri dan karyanya paling benar.
Soal penulisan sejarah Sulawesi Selatan, saya melihat ada dua macam penulis. Pertama penulis atau peneliti asing. Mereka bisa berlatarbelakang Sejarah maupun ilmu-ilmu social lain. Jumlah saya pikir cukup banyak. Sebut saja Leonard Andaya, Christian Pelras dan lainnya. Tentunya mereka-mereka ini bukan berdarah Sulawesi Selatan, malainkan dari luar Sulawesi Selatan. Mereka adalah peneliti yang cukup mumpuni di bidangnya masaing-masing dan telah memiliki karya ilmiah penting tentang Sulawesi Selatan.
Kedua, penulis asli Sulawesi Selatan. Mereka tentunya berdarah Sulawesi Selatan, bahkan masih berdomisili di Sulawesi Selatan. Mereka bisa berasal dari etnis Bugis maupun Makassar biasanya. Diantaranya adalah Haji Daeng Mangemba, Ahmad Ubbe dan lain-lain. Sebagian dari mereka adalah akademis yang berpengalaman dalam penelitian. Sebagian lagi, meski bisa jadi tidak memiliki pendidikan tinggi formal, namun mereka adalah orang yang mengerti dan peduli pada sejarah lokal Sulawesi Selatan. Mereka memiliki ikatan emosi yang cukup kuat dengan daerahnya.
Dari beberapa buku tentang Sulawesi Selatan yang saya baca, tulisan-tulisan tentang Sulawesi Selatan sudah cukup banyak. Baik yang ditulis oleh peneliti asing maupun pemerhati lokal yang berdarah asli Sulawesi Selatan. Meski saya lihat cukup banyak ditengah payahnya tradisi menulis di Indonesia, namun beberapa pihak menyatakan kurang. Sebuah hal yang wajar. Tradisi menulis sejarah di Indonesia, yang saya lihat paling menonjol adalah deerah Jawa secara umum, lalu disusul Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Di Sumatra Barat, penulisan sejarah kota lebih menonjol. Sementara itu di Sulawesi Selatan adalah sejarah tokoh.
Penulisan sejarah tentang Sulawesi Selatan juga cukup terbantu dengan adanya buku biografi maupun autobiografi tokoh yang berasal Sulawesi Selatan seperti Jenderal M. Yusuf, Bahar Mattalioe, Arung Palaka (yang ditulis Leonard Andaya), dan tokoh-tokoh lain. Keberadaan biografi maupun autobiografi tokoh Sulawesi Selatan yang ada itu tentu sangat membantu penelitian maupun penulisan sejarah di masa mendatang.
Sementara itu beberapa penulis asli Sulawesi Selatan, meski tulisannya terkesan sebuah penelitian ringan, yang tentunya bukan berupa tesis maupun disertasi, tetap saja karya-karya tersebut penting dalam memperkaya khasanah penulisan dan tentunya pengetahuan tentang daerah Sulawesi Selatan apapun judulnya.
Semua penulisan sejarah tadi sangat penting dalam mendokumentasikan pentingnya Sulawesi Selatan dalam sejarah. Khususnya bagi Indonesia bagian timur. Apalagi sejarah kejayaan etnis-etnis di Sulawesi Selatan yang memiliki karya besar dan pengaruh politiik yang cukup besar juga di nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar