Nasionalisme dan Disiplin akan digalakkan dalam program wajib bernama Bela Negara. Lantas apakah ini karena rakyat Indonesia tidak disiplin?
WACANA Bela Negara pun jadi pembicaraan. Bahkan, karena kurang jelasnya informasi diserap, membuat orang menganggapnya sebagai Wajib Militer. Kita tahu, wajib militer seperti di Amerika, tak terjadi di Indonesia. Buat apa diadakan wajib militer, jika pendaftaran prajurit karir saja masih sangat ramai oleh pemuda-pemuda Indonesia yang merasa gagah jika memakai seragam militer? Meski hidupnya dianggap jauh dari sejahtera, militer (Anggota TNI) adalah profesi impian selain Pegawai Negeri Sipil. Lalu muncul klarifikasi, bukan wajib militer rupanya melainkan hanya latihan sebulan.
Tentu saja, gambaran latihan Bela Negara yang jelas militeristik itu, membuat saya membayangkan Masa Pendudukan Jepang dulu yang Cuma seumur jagung (1942-1945). Selain membangun tentara sukarela “setengah jadi” bernama: Gyugun (di Sumatra) dan Pembela Tanah Air (di Jawa)—karena Jepang tak mau sepenuh hati memberikan ilmu militer dan bertempurnya kepada pemuda Indonesia yang bisa berontak kapan saja—Pemerintah Militer Jepang itu pun lebih massif dalam membuat organisasi semi militer macam Seinendan (Barisan Pemuda); Keibodan (Satuan Pembantu Polisi); Jibakutai (Pasukan Berani Mati) dan lainnya. (Peringatan keras dari saya: Jangan samakan jika Jibakutai dengan pilot Kamikaze! Karena kamikaze dilatih banyak soal persenjataan, sementara Jibakutai hanya ala kadarnya saja!)
Dulu, Jibakutai itu hanya dilatih sebentar. Mereka tidak di asramakan. Setelah latihan selesai mereka kembali ke kehidupan normal. Yang sebelumnya petani kembali mencangkul di sawah, yang buruh kembali ke pabrik, yang tukang becak mengayuh becaknya lagi. Jika kondisi bahaya maka mereka akan diikutkan dalam perlawanan. Balatentara Jepang ketika sedang menyiapkan orang-orang itu untuk menghadapi sekutu dalam Perang Pasifik. Betapa luar biasanya Jepang, untuk membangun Kekaisaran yang dipimpin Tenno Heika mereka, orang Indonesia mereka suruh siap mati untuk Tenno Heika. Orang-orang sipil yang malang. Tak diberi makan, tak diberi senjata disuruh siap mati. Sebuah penghinaan di abad XX lalu.
Lalu mau dikemanakan alumni Bela Negara itu? Kata pemerintah, mereka yang lulus akan dapat Kartu Bela Negara. Setelah menghadapi Ujian Nasional yang maha berat, selepas SMA mereka masih harus lulus Latihan Bela Negara. Harapannya agar jadi orang yang nasionalis dan disiplin.
Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Hartind Asrin menambahkan, materi Bela Negara nantinya meliputi, pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI. Juga ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara. Latihan fisik tidak menjadi prioritas. "Fisik cuma baris berbaris saja. Rohaninya yang kita isi dengan jiwa nasionalisme," kata Sang Jenderal.
Kata pejabat pembikin Bela Negara, program ini adalah untuk menanamkan sikap Nasionalisme dan disiplin. Apa ini Departemen Pertahanan, yang dipimpin Jenderal Ryamizard Ryacudu, sudah tidak percaya lagi pada Rakyat Indonesia? Apakah rakyat-rakyat Indonesia yang maha banyak ini tidak nasionalis lagi? Juga tak punya disiplin? Seolah selama ini rakyat tak peduli pada pembangunan. Ancam sang jenderal, jika tidak mau ikut silahkan angkat kaki! Luar biasa, sudah dihina, diancam diusir pula. Memangnya rakyat tidak pernah setor pajak pada pemerintah, yang juga untuk bayar gaji dan tunjangan para punggawa negara?
Apakah orangtua masa kini ogah sekolahkan anaknya untuk jadi cerdas dan bisa membaca tanda bahaya yang mengancam hidup mereka? Apakah orangtua sekarang tidak pernah lagi menyuruh anaknya ikut latihan beladiri? Dimana anak mereka bisa menjadi kuat dan waspada pada bahaya? Apakah kaum pekerja di negara ini tak mau lagi bayar pajak? Kurang nasionalis disiplin apa sih rakyat Indonesia sekarang?
Soal disiplin, apalagi yang harus dituntut pada rakyat sipil? Kalau rakyat belum disiplin di mata mereka, lantas apakah semua jajaran pemerintah sudah disiplin? Para tukang sayur sudah bangun sebelum azan subuh untuk ke pasar. Para siswa dan gurunya, berjuang keras masuk ke sekolah sebelum jam pelajaran di mulai. Mayoritas rakyat, juga bayar pajak sebelum jatuh tempo. Kalau terlambat toch juga mereka harus bayar denda. Semua untuk negara juga? Apakah itu semua bukan disiplin?
Mengapa hanya baris-berbaris yang menjadi ukuran disiplin? Apakah orang yang tidak bisa baris tidak disiplin? Sepengalaman saya, sebagai murid dan juga pengajar, anak-anak Paskib (yang jago baris di sekolah) pun banyak yang telat masuk ke sekolah, telat mengumpulkan tugas. Semoga tidak telat datang bulan. Baris-berbaris, walau bagi sebagian orang melatih disiplin, nyatanya tak betul-betul mampu menegakkan disiplin. Sejatinya, ada banyak kegiatan yang bisa memupuk disiplin dan nasionalisme sekaligus. Selain Pramuka, setidaknya ada Pencak Silat, Tarian Tradisional dan Pecinta Alam. Dengan Pramuka atau pandu, seseorang terdidik untuk mandiri dan kuat. Belajar tari tradisional juga membuat seseorang disiplin dalam mengikuti irama sekaligus menjaga budaya lokal. Dengan pencak silat seorang remaja bisa kuat menjaga diri, menghargai budaya nasional dan belajar menahan diri. Nah melalui pecinta alam, seseorang akan melihat betapa indahnya Indonesia, juga belajar menjaganya.
Nasionalisme dan disiplin tak bisa disimulasikan hanya dengan baris-berbaris dan doktrinasi dalam kelas. Harus ada kegiatan konkret yang sifatnya tak melulu sekedar pengetahuan, tapi juga pengalaman dan pemahaman. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak sekolah justru lebih nasionalis ketimbang orang dewasa. Kita tahu korupsi lebih banyak dilakukan oleh orang-orang berseragam, dimana sebagian dari mereka ketika baru jadi orang berseragam dilatih baris-berbaris. Ketika mereka korupsi bahkan ketika tak bisa melayani publik dengan baik, mereka sendiri sudah tidak disiplin.
Apalah gunanya menghabiskan uang negara yang berasal dari pajak yang dibayar rakyat untuk membentak-bentak hanya karena si kaum rakyat pembayar pajak ini salah gerakan dalam berbaris? Jika terjadi, itu sebuah penghinaan di awal abad XXI bagi rakyat Indonesia. Sebaiknya uang itu untuk perbaikan pendidikan dan kesehatan rakyat saja. Katanya hidup harus realistis!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar