Rabu, November 11, 2015

Bukan Jokowi Yang Harus Minta Maaf

Jika masih hidup, Suhartolah yang  harus minta maaf pada Sukarno.
Akar masalahnya barangkali TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967. Isinya tuduhan bahwa Presiden Soekarno telah mendukung G30S yang juga dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin ada kepentingan di sana. Keluarga besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tak mau embel-embel G 30 S atau PKI itu melekat pada Sukarno. Ini masalah nama baik.
Soal negara harus meminta maaf atau tidak, rasanya Suharto ada di belakangnya. Orang-orang Indonesia masa kini nyaris semua tidak mau disangkut-pautkan dengan PKI atau kominis (baca: komunis). Walau reformasi sudah bergulir, dengan percuma, kominis tetaplah kambing hitam atas berbagai kecelakaan dan petaka sejarah di negeri in, terkhusus dalam kasus G 30 S 1965. Itu harga mati.
Mari kita menerawang pada masa-masa sebelum 1965. PKI jelas kekuatan besar yang sangat ditakuti, tentu oleh negara kapitalis macam Amerika Serikat. Musuh PKI tentu makin bertambah dengan konsep “Tujuh Setan Desa” –yakni: (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa—yang harus dilawan.
Poin ke-6 (pemungut zakat) jelas membuat orang-orang Islam naik darah. Tentu saja kapitalis dapat bahan bakar tambahan untuk memberangus PKI. Hingga kini, selain alasan PKI atau kominis dicap atheis, poin ke-6 itu alasan kenapa kominis dibenci oleh orang-orang Islam dan tak boleh hidup di Indonesia.
Di masa Orde Lama, PKI yang punya banyak pendukung, bagi Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Sukarno, jelas kekuatan besar yang bisa mengawal revolusi. Kita tahu Sukarno tak menyukai segala bentuk imperialisme dan kolonialisme yang ada kaum kapitalis di dalamnya. Semua tahu yang belajar sejarah tahu imperialisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan panjang rakyat Indonesia selama ratusan tahun di bawah VOC Belanda.
Untuk melawan Neo Kolonialisme Imperialisme (NEKOLIM), tentu saja PKI adalah sekutu potensial. Karena dalam Pemilu 1955, PKI adalah partai yang masuk empat besar (bersama PNI, Masyumi, dan NU). Di tahun yang sama, Sukarno berhasil mengumpulkan bekas negara terjajah dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung. Bersama beberapa negara yang ogah terlibat dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, Sukarno bikin Gerakan Non Blok. Itulah peran besar Sukarno, Sang Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, dari Indonesia dalam percaturan politik dunia.
Lalu, kenapa Sukarno dekat dengan komunis? Baik PKI maupun negara Blok Timur. Masih ingat Operasi Pembebasan Irian Barat (Papua)? Waktu Indonesia mau beli senjata pada Amerika Serikat, negara adi daya pimpinan Blok Barat itu menolaknya. Beruntung Uni Sovyet, pimpinan Blok Timur itu, mau berbagi kecanggihan teknologinya pada Indonesia. Hingga Indonesia punya armada tempur (darat, laut dan udara) yang ditakuti di belahan dunia selatan. Wajar bukan kalau Sukarno dekat dengan Uni Sovyet dan negara Blok Timur lainnya?
Patut dicatat, meski dekat dengan Sovyet, Indonesia bisa memposisikan diri sejajar dengan Uni Sovyet. Bukan negara selalu patuh dan rela menuruti kebijakan negara yang beri bantuan. Bukan budak tapi sahabat. Tak ada alasan baik untuk dekat pada negara Blok Barat saat itu. Tapi bukan tidak mau berusaha bersahabat. Nyatanya John F Kennedy cukup akrab dengan Sukarno.
Menurut saya, politik luar negeri Indonesia masih bebas aktif. Justru negara petinggi Amerika yang berusaha menjatuhkan Sukarno dengan memperalat PRRI/Permesta. Tujuannya jelas untuk menghancurkan komunis di Indonesia agar nantinya investasi dan perusahaan-perusahaan Amerika dan lainnya bisa masuk dan beroperasi di Indonesia.
Sialnya, politik luar negeri yang dijalankan Sukarno itu dicap tidak bebas aktif oleh rezim Orde Baru yang berkuasa setelah Sukarno dijatuhkan. Ketika saya belajar IPS di Sekolah Dasar, di zaman Orde Baru, bahkan saya belajar tambahan untuk ikut serta dalam Lomba Mata Pelajaran—di mana saya hanya Juara Tiga se-Kelurahan—saya membaca di buku pelajaran: Sukarno lebih condong ke Blok Timur karena politik luar negeri Indonesia tidak bebas aktif.
Sebagai anak SD tentu saya percaya saja. Sukarno seolah dianggap komunis. Anak SD seolah harus tahu hal itu. Setelah kuliah sejarah, saya paham itu adalah usaha Orde Baru untuk menyudutkan Sukarno.
Akan banyak yang marah kalau saya bilang negara salah. Kalau negara minta maaf kepada Sukarno, berarti negara salah dong? Negara kan sudah akui Sukarno sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setelah Suharto lengser bahkan sudah masuk liang kubur.
Nah, mari kita ambil jalan tengahnya. Rehabilitasi saja nama Sukarno? Karena Sukarno bukan penculik dan juga bukan pembunuh para jenderal itu! Salah satunya dengan mencabut TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 untuk perbaiki nama baik Sukarno.
Lalu siapa yang harus minta maaf pada Sukarno? Menurut saya, jika masih hidup, Suharto sebagai manusia atau mantan Presiden, seharusnya buang jauh-jauh gengsinya untuk meminta maaf kepada Sukarno. Mungkin bukan karena rezim Orde Baru, di awal-awal berkuasa saja dia sudah menciptakan suasana yang memperburuk kesehatan Sukarno hingga ada foto Sukarno dipapah untuk berjalan.
Suharto, jika masih hidup, sebagai manusia, sebagai presiden kedua yang menggantikan Sukarno, sebagai jenderal yang seharusnya jujur dan ksatria, haruslah meminta maaf atas rusaknya nama baik Sukarno dalam sejarah Indonesia.
Tapi, itu semua tidak mungkin terjadi, karena baik Sukarno dan juga Suharto sudah lama masuk liang lahat.

Tidak ada komentar: