Senin, Januari 06, 2014

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Belanda

Nabi Muhamad SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.” Dan, trend zaman Kolonial yang western, menuntut pemuda belajar ke Negeri Belanda.

Orang Indonesia masa kini masih selalu menganggap barat adalah hebat dalam banyak hal. Meski pengetahuan yang berkembang di barat pun sebelumnya berkembang di Arab, bahkan sebelumnya lagi Yunani, China dan entah dimana lagi. Jadi, pengetahuan bukan milik dan karena orang barat. Seperti halnya di Arab, maka di Barat (maksudnya Eropa) pun hanya numpang berkembang saja.
Kekaguman pada barat (Eropa, dan sekarang plus Amerika) bukan hal baru. Di abad XVII (tahun 1600an) ada orang Indonesia asal Makassar yang mengoleksi banyak buku, peta dan juga globe dari Eropa. Itu karena orang yang bernama Karaeng Patinggaloang mencintai ilmu pengetahuan. Bukan sekedar gengsi.
Agama Islam boleh dominan di Indonesia. Tapi, tak semua orang Indonesia mau dan punya keinginan belajar ke Arab atau ke negeri yang terkenal Islamnya.  Orang Islam sebenarnya punya cara sendiri dalam menafsir sabda Nabi Muhamad SAW: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.”  Banyak yang memahami carilah ilmu pengetahuan dimana saja. Bahkan di tempat yang jauh sekalipun. Tak harus ke negeri China. Di jaman Nabi, China dianggap jauh.
Nah, di masa kolonial, karena pengaruh barat yang kuat serta dorongan untuk hidup mapan, maka banyak orang-orang Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Belanda (dari level sekolah dasar macam Hollandsch Inlandsch School atau Europe Lager School; level menengah Meer Uitgebrid Lager Onderwijz, Alegemene Midelsbare School, Hogare Burger School) bahkan ke level perguruan tinggi yang didirikan Belanda baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Tak perlu heran jika orang macam Hatta pergi ke Belanda untuk kuliah. Walau ujung-ujungnya, Hatta kembali sebagai sarjana ekonomi dan belakangan jadi orang pergerakan nasional yang sampai mati tak pernah kaya. Hatta bukan kembali untuk jadi orang mapan, walau dia pernah sebentar kerja pada pamannya, Mak Etek. 
Selain Hatta ada juga seorang dokter Minang bernama Abdul Rivai yang ingin kuliah untuk mencapai persamaan status dengan dokter Belanda. Sebelumnya Rivai hanya dokter lulusan STOVIA Batavia yang hanya disebut dokter jawa (yang mungkin hanya setara mantri atau mungkin diatas mantra dibawah dokter). Jadi dokter yang dipersamakan dengan dokter Belanda tentu akan mendapat gaji yang lebih baik. Di jaman kolonial ada perbedaan gaji antara orang Belanda dengan orang pribumi.
Ada pula Tan Malaka yang pergi ke Belanda untuk sekolah singkat untuk menjadi tenaga pengajar. Tan Malaka memang pulang untuk jadi tenaga pengajar namun belakangan dia lebih dikenal sebagai legenda dari  dunia pergerakan nasional Indonesia.
Sebelum Tan Malaka, ada seorang pelopor pendidikan modern Indonesia bernama Willem Iskander datang ke Belanda untuk belajar tentang pendidikan. Dia datang dua kali. Yang kedua setelah usahanya membuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) sukses di Tapanuli. Sayang, nama Willem Iskander  kalah populer daripada Ki Hajar Dewantara. Padahal Willem jauh lebih dulu.
Ada juga Arnold Mononutu yang masa mudanya sempat diisi foya-foya dan kuliahnya tak rampung, dia juga bagian dari kaum pergerakan nasional juga. Arnold punya kenalan lain seperti Setiadjid dan Abdulmadjid, keduanya masih keturunan priyayi Jawa. Namun belakangan keduanya jadi tokoh kiri terkenal dalam sejarah Indonesia.
Ada hal yang agak menarik bagi orang Indonesia. Ternyata, ada orang Indonesia yang harus merasakan sakitnya menjadi penghuni kamp konsentrasi NAZI di tengah ganasnya perang Eropa. Hal ini dialami Parlindungan Lubis. Bahkan kawannya, Darmasetiawan, yang asal Indonesia, harus meninggal selama di kamp. Mereka berdua datang ke Negeri Belanda sebagai mahasiswa. Lubis adalah mahasiswa kedokteran dan lulus sebagai dokter. Perang Eropa menyisakan trauma mengerikan dalam hidupnya. 
 Tak hanya nama-nama diatas. Ada nama-nama lain lagi. Selain yang datang untuk belajar, ada juga yang hanya singgah dan berkunjung. Menariknya lagi, ada juga orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga alias Jongos di Negeri Belanda. Sebelum ke Arab Saudi dan Malaysia, ternyata ada orang-orang Indonesia yang jadi pembantu di Eropa.
Buku yang dalam Bahasa Indonesia berjudul Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri belanda 1600-1950) ini disusun oleh Harry Albert Poeze (dengan dibantu juga oleh Cees van Dijk dan Inge van der Meulen). Para pecinta Sejarah tentu taka sing dengan nama Harry Poeze yang lebih dari 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Buku ini jelas referensi yang baik untuk mendalami sejarah Indonesia. Terutama yang ingin mempelajari hubungan Indonesia dengan Belanda.
Orang Indonesia masa kini masih selalu menganggap barat adalah hebat dalam banyak hal. Meski pengetahuan yang berkembang di barat pun sebelumnya berkembang di Arab, bahkan sebelumnya lagi Yunani, China dan entah dimana lagi. Jadi, pengetahuan bukan milik dan karena orang barat. Seperti halnya di Arab, maka di Barat (maksudnya Eropa) pun hanya numpang berkembang saja. Kekaguman pada barat (Eropa, dan sekarang plus Amerika) bukan hal baru. Di abad XVII (tahun 1600an) ada orang Indonesia asal Makassar yang mengoleksi banyak buku, peta dan juga globe dari Eropa. Itu karena orang yang bernama Karaeng Patinggaloang mencintai ilmu pengetahuan. Bukan sekedar gengsi. Agama Islam boleh dominan di Indonesia. Tapi, tak semua orang Indonesia mau dan punya keinginan belajar ke Arab atau ke negeri yang terkenal Islamnya. Orang Islam sebenarnya punya cara sendiri dalam menafsir sabda Nabi Muhamad SAW: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.” Banyak yang memahami carilah ilmu pengetahuan dimana saja. Bahkan di tempat yang jauh sekalipun. Tak harus ke negeri China. Di jaman Nabi, China dianggap jauh. Nah, di masa kolonial, karena pengaruh barat yang kuat serta dorongan untuk hidup mapan, maka banyak orang-orang Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Belanda (dari level sekolah dasar macam Hollandsch Inlandsch School atau Europe Lager School; level menengah Meer Uitgebrid Lager Onderwijz, Alegemene Midelsbare School, Hogare Burger School) bahkan ke level perguruan tinggi yang didirikan Belanda baik di Indonesia maupun di negeri Belanda. Tak perlu heran jika orang macam Hatta pergi ke Belanda untuk kuliah. Walau ujung-ujungnya, Hatta kembali sebagai sarjana ekonomi dan belakangan jadi orang pergerakan nasional yang sampai mati tak pernah kaya. Hatta bukan kembali untuk jadi orang mapan, walau dia pernah sebentar kerja pada pamannya, Mak Etek. Selain Hatta ada juga seorang dokter Minang bernama Abdul Rivai yang ingin kuliah untuk mencapai persamaan status dengan dokter Belanda. Sebelumnya Rivai hanya dokter lulusan STOVIA Batavia yang hanya disebut dokter jawa (yang mungkin hanya setara mantri atau mungkin diatas mantra dibawah dokter). Jadi dokter yang dipersamakan dengan dokter Belanda tentu akan mendapat gaji yang lebih baik. Di jaman kolonial ada perbedaan gaji antara orang Belanda dengan orang pribumi. Ada pula Tan Malaka yang pergi ke Belanda untuk sekolah singkat untuk menjadi tenaga pengajar. Tan Malaka memang pulang untuk jadi tenaga pengajar namun belakangan dia lebih dikenal sebagai legenda dari dunia pergerakan nasional Indonesia. Sebelum Tan Malaka, ada seorang pelopor pendidikan modern Indonesia bernama Willem Iskander datang ke Belanda untuk belajar tentang pendidikan. Dia datang dua kali. Yang kedua setelah usahanya membuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) sukses di Tapanuli. Sayang, nama Willem Iskander kalah populer daripada Ki Hajar Dewantara. Padahal Willem jauh lebih dulu. Ada juga Arnold Mononutu yang masa mudanya sempat diisi foya-foya dan kuliahnya tak rampung, dia juga bagian dari kaum pergerakan nasional juga. Arnold punya kenalan lain seperti Setiadjid dan Abdulmadjid, keduanya masih keturunan priyayi Jawa. Namun belakangan keduanya jadi tokoh kiri terkenal dalam sejarah Indonesia. Ada hal yang agak menarik bagi orang Indonesia. Ternyata, ada orang Indonesia yang harus merasakan sakitnya menjadi penghuni kamp konsentrasi NAZI di tengah ganasnya perang Eropa. Hal ini dialami Parlindungan Lubis. Bahkan kawannya, Darmasetiawan, yang asal Indonesia, harus meninggal selama di kamp. Mereka berdua datang ke Negeri Belanda sebagai mahasiswa. Lubis adalah mahasiswa kedokteran dan lulus sebagai dokter. Perang Eropa menyisakan trauma mengerikan dalam hidupnya. Tak hanya nama-nama diatas. Ada nama-nama lain lagi. Selain yang datang untuk belajar, ada juga yang hanya singgah dan berkunjung. Menariknya lagi, ada juga orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga alias Jongos di Negeri Belanda. Sebelum ke Arab Saudi dan Malaysia, ternyata ada orang-orang Indonesia yang jadi pembantu di Eropa. Buku yang dalam Bahasa Indonesia berjudul Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri belanda 1600-1950) ini disusun oleh Harry Albert Poeze (dengan dibantu juga oleh Cees van Dijk dan Inge van der Meulen). Para pecinta Sejarah tentu taka sing dengan nama Harry Poeze yang lebih dari 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Buku ini jelas referensi yang baik untuk mendalami sejarah Indonesia. Terutama yang ingin mempelajari hubungan Indonesia dengan Belanda.

Tidak ada komentar: