Ini Kiai sosok menyejukan, tapi pengaruhnya mampu membangkitkan semangat perjuangan para santri. Dan, tergambar disini, pembunuh Mallaby adalah santri sang Kiai juga.
Lebih dari setahun silam, saya ikut casting film Sang Kiai, dan gagal. Tapi, sejujur-jujurnya, saya pribadi senang juga melihat film ini selesai, bahkan setelah menontonnya. Saya tidak akan menyoroti permainan para aktor dan aktrisnya. Setidaknya, Christine Hakim ikut sedikit menghidupkan dengan peran sebagai sang istri Kiai. Dan, Ikranegara mampu menampilkan Kiai Hasyim Azhari sebagai sosok yang menyejukan hati. Sudah seharusnya, ucapan bahkan wajah seorang Kiai itu mampu memberikan kesejukan bagi para santri dan siapapun di sekitarnya. Dan, yang tak kalah penting adalah bisa berpikir jauh ke depan. Seperti Sang Kiai dalam film Sang Kiai ini. Sang Kiai dalam film ini, bagi saya, mirip dengan cucunya, Abdurahaman Wahid alias Gus Dur. Terserah orang mau bilag dia Presiden gagal, tapi setidaknya Gus Dur punya sisi sebagai orang yang mampu memberi kesejukan sebagai tokoh nasional.
Bicara soal setting, saya tak merasakan aura masa lalu dalam film ini. Tapi, setidaknya terasa juga aura Jawa Timur, dimana pesantren-pesantren tersebar di banyak penjuru. Termasuk Tebuireng. Meski tak pernah Nyantri, saya bisa bayangkan begitulah pesantren Jawa Timur.
Hal fatal dalam film ini adalah sosok-sosok perwira Jepang yang tak terkesan Jepang sama sekali. Maklum, pemerannya lebih mirip orang Indonesia. Kebetulan mata mereka sipit. Harus diakui jika serdadu Jepang yang menduduki Indonesia memang kejam dan angkuh secara berlebihan. Harap maklum jika serdadu Jepang kejam, karena kebanyakan diantara mereka adalah veteran perang di China juga. Dan mereka baru saja merebut Indonesia dari tentara Hindia Belanda (KNIL). Orang-orang Jepang yang jadi serdadu itu nampaknya agak bodoh dalam memahami orang Indonesia. Kebencian pada Jepang Nampak berlebih. Namanya juga film.
Film ini jelas nampak berlebihan. Terkesan, fakta riil sejarah tak penting. Mungkin film ini tak dimaksudkan menjadi film sejarah. Boleh dong sang sutradara menafsir. Film Sukarno yang sebelumnya rilis justru malah lebih baik dalam hal riset. Perkara ini tampaknya bukan membuat film ini bohongan namun justru nampak lucu, karena hanya sedikit bagian, yang di mata saya sulit diterima.
Ada bagian yang sulit saya percaya. Soal pembunuh Brigadir Jenderal Mallaby? Banyak orang bertanya-tanya siapakah pembunuh Mallaby yang sebenarnya? Selama ini, sepengetahuan saya, tak ada yang tahu siapa nama pemuda yang membunuh Mallaby dalam jarak dekat. Benar-benar bonek (bondo-nekad)!!.
Saya bayangkan pembunuh Mallaby mirip dengan Orang-orang hanya bisa pastikan pembunuhnya pemuda yang mungkin berusia 16-18 tahun. Kemungkinan dia pemuda berdarah panas yang begitu terbakar oleh semangat revolusi. Setelah menembak sang jenderal, si pemuda ini terbunuh juga dalam huru-hara di Jembatan Merah. Tak ada yang tahu namanya. Dan, film ini berusaha memberikan jawaban dengan caranya. Ada sosok Harun, santri kesayangan Sang Kiai. Yang kemudian berbeda jalan, walau tak bisa disangkal betapa sayangnya si santri pada Sang Kiai. Nah sosok Harun inilah yang membunuh Mallaby.
Meski membuat saya ngakak, tetap saja ini bisa kita maknai positif. Bagaimanapun pembunuh Mallaby pemuda pahlawan yang revolusioner dan orang tak dikenal alias orang biasa. Dan, si pemuda ini adalah orang dari daerah dimana pesantren-pesantren memberi pengaruh luas. Termasuk sumbangsih dunia pesantren terhadap perjuangan Indonesia. Inilah bukti orang bersarung pun punya jasa pada Negara ini. Dan jangan pernah ada larangan bersarung!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar