Senin, Maret 26, 2012

Sepanjang Jalan Sudirman

Sepanjang jalan Sudirman, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan Sudirman kau peluk diriku mesra

Jalan ini begitu lebar. Aspalnya hitam dan mulus. Nyaris tanpa lubang. Ditengah jalan ada pepohonan atau taman mungil. Di sisi kanan kirinya ada trotoar. Jalan ini pasti jalan ramai di sebuah kota.

Hampir setiap kota di Negeri ini punya jalan ini. Meski hanya beberapa kilometer saja. Jalan ini begitu ramai. Biasanya, beberapa kantor pemerintahan atau perusahaan besar ada di jalan ini. Pasar rakyat atau mall juga di jalan ini.

Jalan Protokol

Nyaris semua warga kota pasti pernah melintasinya. Entah untuk pergi ke kantor, pasar, sekolah atau yang lainnya. Jalan ini tak pernah sepi setiap harinya. Minggu pagi, meski lengang, ada saja yang melintas. Entah orang jogging atau pedagang keliling. Minggu pagi memang waktu yang tepat jalan-jalan pagi bersama yang tersayang atau binatang kesayangan.

Jalan ini, sedari dulu umumnya sudah jadi jalan penting. Dari zaman Ratu (Belanda) jadi penguasa Nusantara—nama Indonesia sebelum ada istilah Indonesia. Jalan ini sengaja dibuat lebar. Sebagai jalan penting, jalan ini sering dipakai parade. Di jaman kolonial dulu tiap 31 Agustus. Dan berubah jadi 17 Agustus setelah Republik Indonesia berkuasa.

Di tiap kota, di masa lalu nama jalan ini berbeda. Suka-suka siapa yang berkuasa. Di jaman kolonial dulu pakai nama Belanda pastinya. Entah nama raja atau ratu, atau nama tempat di Negeri Belanda sana.

Waktu Indonesia merdeka, nama jalan itu otomatis berubah juga. Tentu saja atas nama Nasionalisme. Nama jalan yang semula memakai nama asing diubah jadi nama-nama Indonesia. Begitulah era Sukarno.

Nama jalan besar itu bukan sekali dua kali berganti. Setelah Sukarno—salah seorang pendiri Negara Indonesia—ditumbangkan secara terselubung, nama-nama jalan berubah lagi. Nama-nama Jenderal pun banyak dipakai. Tak ada Jenderal, nama Kolonel, Letnan Kolonel, Mayor dan lainnya juga boleh dipakai. Jika perlu nama kopral pun dipakai juga.

Sukarno merubah nama jalan, itu perkara identitas. Demi sebuah negeri yang disebut Indonesia. Sementara itu, Suharto—dengan sok heroik—merubah nama jalan menjadi nama-nama serdadu. Suharto, tanpa sadar merusak Indonesia dengan membohongi rakyat dengan memperbanyak nama jalan dengan memakai nama serdadu. Seolah-olah jaman revolusi dulu yang berjuang dan menderita hanya serdadu TNI. Nyatanya banyak pejuang non tentara. Mereka ogah jadi tentara bahkan ketika mereka ditawari jadi tentara.

Jika Sukarno ubah nama jalan karena perkara identitas, maka Suharto ubah nama jalan karena perkara politis. Jelas sekali terasa. Nama jalan berbau militer. Dia ingin memperkuat pengaruh militer dalam semua lini kehidupan agar kekuasaannya terjaga. Tidak heran nama jalan protokol ini penting bagi penguasa.

Sebagai Dagangan Historis

Yani, Letnan Jenderal Ahmad Yani, sebenarnya rival terselubung Ahmad Yani. Yani adalah orang yang berbahaya bagi karir militer Suharto. Banyak orang yakin jika masih hidup, dan Sukarno meninggal, maka Yani adalah Presiden Indonesia. Tapi berhubung Yani tewas, maka Suharto naik.

Orde Baru ikut memuji Yani. Rivalitas tak perlu diingat. Sebagai korban penculikan pasuka G 30 S pimpinan Letkol Untung, nama Yani sangat menjual bagi kampanye anti-komunis yang dilancarkan Orde Baru. Jualan orde baru adalah antikomunisme. Semua orang komunis dihabisi hidup dan penghidupannya. Orang-orang yang tidak disukai, entah karena bersebrangan dengan Suharto atau pendukung setia Sukarno, tinggal dicap komunis saja. Selanjutnya, habislah mereka atau setidaknya masuk kerangkeng orde baru.

Nama Yani diabadikan agar semua orang memusuhi orang-orang kiri (termasuk komunis) dan Suharto punya banyak pengikut. Sehingga kekuasaan Suharto aman. Nama jenderal lain adalah D.I Panjaitan—yang tidak suka pada Suharto dengan menolak Suharto sebagai ketua senat di Seskoad karena kasus korupsi Suharto di Jawa Tengah. Beruntung juga Suharto akhirnya, seperti Yani juga, Panjaitan diculik pasukan Untung. Nama Panjaitan harum dan Suharto semakin merajalela.

Nama-nama Pahlawan revolusi adalah paling laris. Namun, seperti dalam hirarki militer, maka harus ada nama Jenderal yang harus disebut. Tentu saja ini bukan Jenderal sembarangan. Nama Sudirman pun diangkat sebagai nama jalan. Sudah pasti ini jalannya bagus. Jalan yang mulus dan lebar. Rasanya selalu nama jalan protocol di kota-kota di Indonesia.

Orde baru memang orde militer. Kebanyakan pemimpin dan juga nama-nama jalan adalah nama orang militer. Orde baru memang bau kacang ijo.

Jalan Kenangan

Jalan punya banyak peran dalam hidup manusia. Dimana banyak manusia melintas. Sejarah juga melintas disana.

Jalan Sudirman di Jakarta jelas penting. Gedung-gedung perkantoran mengapit di dua sisi. Untuk memperjelas nama jalan itu Jalan Jenderal Sudirman, maka sebuah patung Jenderal Sudirman dibangun disana.

Di kota lain pun hampir serupa, setidaknya jadi pusat keramaian. Jalan Jenderal Sudirman pun memang sohor. Tak ada Jalan Jenderal Sudirman pun, dia tetap kesohor dan jadi idola. Entah di kalangan orang Muhamadiyah, karena Sudirman guru di sekolah Muhamadiyah. Juga sebagian kalangan prajurit. Dalam sejarah perang, Sudirman adalah Jenderal yang memimpin perang dengan satu paru-paru.

Jalan menyimpan banyak memori. Ribuan kenangan banyak orang tersimpan disana. Mulai dari yang kecelakaan lalu-lintas, ditilang Polantas, kecopetan atau yang lainnya. Bagi yang kasmaran, pasti akan ingin melintasi jalan itu bersama pasangannya. Naik sepeda motor, sepeda, angkot, jalan kaki pun tak masalah asal gandengan. Ada yang masih sekedar khayalan atau sudah jadi kenyataan. Dan, jalan Sebagian warga kota biasanya punya kenangan tertentu disana. Semua kenangan itu juga tak lepas adanya fungsi jalan dalam tataran pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

Jalan Sudirman pun tak lagi perkara identitas seperti Sukarno; perkara politis seperti Suharto, tapi juga perkara romantis bagi sebagian warga kota. Tinggal pelesetkan lirik sebuah lagu lawas: “sepanjang jalan kenangan, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra” menjadi “sepanjang jalan Sudirman, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan Sudirman kau peluk diriku mesra”

Sepanjang Jalan Sudirman menyimpan kenangan. Barangkali ini yang paling berkesan bagi banyak orang. Jalan bukan perkara identitas apalagi perkara politis, ini perkara romantisme dan pragmatisme juga. Jalan penuh kenangan.

Tidak ada komentar: