Saya pun hanya bisa bilang, berdasar perkiraan saya, jumlah korban masih dalam angka ribuan bukan puluhan ribu.
Ada taksiran jumlah korban mencapai 40.000 jiwa. Menurut Edward Polinggomang, Sejawarawan Sulawesi Selatan, angka ini berasal dari Kahar Muzakkar—ketika Kahar berada di Jawa semasa revolusi Indonesia—yang begitu prihatin terhadap pembantaian orang-orang Indonesia di Sulawesi Selatan.
Sementara itu, AD RI pernah melakukan penyelidikan jika jumlah korban yang terbunuh hanya 1700. Itu pun bukan memulu dilakukan tentara Belanda. Tapi juga milisi lokal pro Belanda. Saya pernah kutip ini dalam skripsi pertama saya yang gagal, Westerling Kudeta Yang Gagal.
Pemerintah Belanda mengaku hanya sekitar 3.000 sampai 5.000 orang saja korban pembantaian itu. Westerling sendiri, sebagai mahluk yang paling bertanggung-jawab disana mengaku hanya membunuh 400 sampai 700 saja. Tentu saja, Westerling hanya melihat korban-korban yang dia lihat saja. Westerling seperti lupa, jika tentara Belanda lainnya juga tidak ingin kalah kejam. Ternyata, sebagian orang Belanda, juga sebagian tentara Belanda pun, juga ngeri dengan aksi-aksi Westerling—yang diberi judul sebagai kampanye Pasifikasi itu. Meski disebut kampanye pasifikasi, orang-orang lebih merasa benar jika sebut itu pembantaian.
Berapapun jumlahnya, membunuh orang lain adalah salah. Seorang awan keturunan Bugis, yang dulu kuliah di Makassar, juga tidak yakin dengan jumlah korban mencapai 40.000 jiwa. Banyak orang di Makassar sendiri kurang yakin dengan angka itu. Bisa dipastikan, mereka sepakat jika pembantaian yang dilakukan Westerling mengerikan. Sebuah teror luar biasa diciptakan oleh tentara Belanda, baik KNIL atau KL.
Upaya Westerling cukup menebar terror juga. Pasca pembantaian yang berlangsung sejak Desember 1946 sampai akhir Februari itu, perlawanan gerilya di Sulawesi Selatan berkurang. Banyak gerilyawan mundur. Bukan untuk jadi pengecut tentuya. Tentu saja orang Bugis dan Makassar punya Sirri na Passe yang membuat mereka tidak punya alasan jadi pengecut.
Mengapa perlawanan mengendur? Kemanakah gerilyawan pro Republik ketika banyak orang tak berdosa dibantai? Tentu saja, posisi tentara Belanda jelas kuat. Gerilyawan lebih memilih bertahan di hutan atau gunung daripada masuk kampung dan orang kampung jadi korban tentara Belanda seperti ketika Westerling datang.
Yang terbunuh belum tentu orang yang membantu gerilyawan. Cara Westerling mencari gerilyawan atau orang-orang yang membantunya adalah dengan mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang. Selanjutnya, Westerling akan menunjuk salah satu dari mereka dan memaksa orang itu menunjukan siapa gerilyawan maupun orang-orang yang biasa bantu gerilyawan. Tentu saja orang itu dibawah todongan senjata api. Biasanya, orang yang dipaksa dan merasa terancam itu, akan menunjuk sembarangan agar terbebas dari tekanan dan kematian oleh peluru tentara Belanda. Bukan tidak mungkin si orang yang disuruh menunjuk itu akan menunjuk orang yang tidak disukainya di kampung.
Begitulah pembantaian Westerling. Hasilnya, banyak janda, anak yatim dan orang tua yang ditinggal mati anaknya. Trauma itu pasti ada. Jika orang-orang itu menuntut pada Pemerintah Belanda itu hal yang wajar. Peristiwa Rawagede adalah contoh bagaimana pemerintah Belanda berusaha bertanggungjawab. Bahkan Duta Besar Belanda minta maaf atas peristiwa Rawagede itu di hadapan keluarga korban.
Yang mati takkan pernah kembali pastinya. Hanya saja etiket baik dari orang-orang Belanda tentu haruslah dihargai. Kita tidak mungkin hidup dalam kebencian dan dendam. Harus ada perbaikan atas perasaan (negative) yang tidak kita ingini itu.
Pernah suatu hari, Linawati Sudarto, seorang kontributorWeekender, bertanya pada saya, berapa jumlah korban sesungguhnya dari aksi pasukan Westerling di Sulawesi Selatan. Sulit menentukan angka pastinya. Apalagi banyak saksi-saksi yang sudah meninggal.
Saya langsung terbayang jumlah pasukan Westerling dan tentara-tentara Belanda di Sulawesi Selatan yang ada disana yang ikut membantai, jumlahnya mungkin haya 1000an saja menurut saya. Juga lama operasi yang dijalankan Westerling, hanya sekitar dua bulan. Kampung-kampung yang mereka kunjungi dan mereka bantai penduduknya, menyebar di penjuru Sulawesi Selatan. Lokasi operasi pasukan itu tentu berpinda-pindah.
Selama dua bulan itu, belum tentu tentara-tentara Belanda setiap hari melakukan pembantaian. Bila hari efektif membantai adalah 60 hari dan setiap harinya mereka hanya membunuh sekitar 100 orang, jumlah korban sekitar 6.000 orang lebih, perkiraan saya. Tetap saja ini bukan angka kecil.
Saya pun tidak tahu angka pastinya. Saya hanya bisa bilang, berdasar perkiraan saya, jumlah korban masih dalam angka ribuan bukan puluhan ribu. Begitulah jawaban saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar