Beradab, ternyata hanya pembeda usang warisan era kolonial. Ternyata, akademisi Indonesia yang Nasionalis pun masih ada jiwa orientalismenya.
Lagi-lagi mendengar pernyataan konyol hari ini. Seorang akademisi bilang kalau Papua gagal “diberadabkan”. Si akademisi memang berjilbab. Sebagai manusia, saya merasa terganggu dengan kalimat tersebut. Arti dari pernyataan itu jelas menyudutkan semua orang Papua. Ini gila.
Keberagaman yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika jelas cuma omong-kosong. Apalagi si akademisi yang punya pernyataan tadi adalah orang bayaran pemerintah alias PNS. Dan rakyat Papua juga ikut bayar gaji mereka juga. Benar-benar tidak berilmu dan tahu malu.
Tidak lama setelah pernyataan bodoh itu terucap, saya bertanya pada seorang Arkeolog senior, Bambang Budi Utomo, disela-sela makan siang gratis di sebuah Hotel di Palembang. Padanya, saya bertanya apa ukuran dari peradaban? Saya lupa kalimat tepatnya, hanya yang saya tangkap adalah manusia dikatakan beradab ketika mengenal tata kehidupan. Apapun bentuknya. Ketika saya berkomentar jika peradaban bukan masalah level, Arkeolog senior kita mengamininya.
Lebih lanjut, Arkeolog kita menjelaskan peradaban alias Civilization, itu berasal dari pandangan orang-orang Barat ketika Orientalisme Berjaya lebih dari seabad lalu. Sekitar abad XIX. Maksudnya, tak lain untuk membedakan orang Eropa, yang levelnya lebih tinggi, dengan orang-orang Timur yang kala itu banyak menjadi korban dan budak eksploitasi bangsa Barat yang kolonialis. Artinya kata civilization adalah pembeda gila yang menyatakan bahwa manusia itu bertingkat.Dimana yang mirip dengan baratlah yang beradab dan yang tidak mirip dengan barat adalah tidak beradab. Ini jelas bertentangan dengan Firman Tuhan—yang menyatakan bahwa semua manusia adalah sama.
Ternyata, pandangan barat soal civilization tinggalan kaum orientalis masih pula dianut oleh akademisi Indonesia. Tidak termasuk saya tentunya. Pandangan usang itu masih ada dalam pembelajaran di sekolah. Dimana pola pikir, tingkah laku dan lainnya haruslah sesuai dan berdasar apa yang berlaku di barat. Ya, harus diakui kita tidak akan dianggap rapi jika tidak memakai kemeja, celana bahan dan sepatu kantoran yang sering dipakai hampir semua orang barat di abad lalu.
Orang Indonesia memang jago meniru agar terlihat sama dengan penjajahnya. Sebuah pendidikan karakter yang gagal.
Baik, kita kembali ke orang-orang Papua. Adalah salah jika kita anggap orang Papua tidak beradab karena mereka memakai koteka. Orang berpakaian biasanya menyesuaikan kondisi alam. Bukan sekedar ikut trend atau ideologi seperti manusia modern dewasa ini. Jika laki-laki Papua merasa nyaman pakai koteka, ya biarkan saja. Itu tidak akan mempengaruhi hidup mati orang lain. Itu perkara pilihan.
Kita semua tahu, hidup orang Papua asli begitu bersahaja. Mereka hanya ingin babi dan ubi untuk dimakan. Bukan uang. Bukan pula KTP. Orang Papua tidak butuh mall layaknya orang Indonesia yang konsumtif macam saya. Mereka cuma butuh hutan yang tidak terkontaminasi oleh industri. Hutan yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Di hutan, mereka akan hidup, makan, berbahagia dan bersatu dengan Alam juga Tuhan.
Rasanya, kita harus menyanyikan lagu dari Slank tentang orang Papua. “Aku gak butuh uang ribuan….Asal ada ubi untuk kumakan. Asal ada babi untuk kupanggang, aku cukup senang.” Rasanya, itu akademisi harus hidup bersama orang Papua yang sederhana dan bersahaja. Racun orientalisme gaya baru begitu kuat di kepalanya meski tidak menyadarinya. Orientalisme gaya baru yang saya maksud adalah menganggap orang yang berbeda dengan kita sebagai orang yang kurang beradab. Biarkan saja orang lain dengan pilihannya. Orang Papua juga sama dengan kita semua, meski punya gaya hidup yang berbeda dengan kita. Tidak ada yang salah dan rendah dengan apa yang mereka jalani di hutan-hutan Papua. Menjadi modern atau tradisional adalah pilihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar