Kota ini jarang disebut dalam sejarah Indonesia, juga sumatra. Tapi, tetap kota ini eksis dan tumbuh sebagai kota yang harus dilalui.
Ketika menginjakan kaki di kota ini (6/11/2011), Museum kebanggaan provinsi Lampung itu, sedang di renovasi, selama sebulan lebih. Itu adalah kesialan luar biasa bagi pejalan seperti saya. Artinya, saya tidak bisa nikmati wisata historis di kota ini. Hanya sampel rumah adat dan lumbung khas Lampung saja yang bisa dilihat.[1] Lebih sial daripada didamprat Paspampres di depan istana Negara.
Nama Lampung cukup jarang disebut dalam sejarah nasional. Tidak ada Lampung lautan api seperti di Bandung atau peristiwa semacamnya. Namun, ada pahlawan kebanggaan Lampung bernama Raden Inten. Sayangnya sejarah nasional Indonesia seolah tidak ruang untuk menuliskan soal perlawanan Raden Inten.[2] Yang barangkali tidak kalah heroiknya dengan Diponegoro di Jawa atau Basse Kajuara di Sulawesi Selatan. Konon, katanya ada makam raja Majapahit juga di Lampung? Entahlah, saya tidak bisa meyakininya.
Letusan Gunung Krakatau 1883, tidak akan lepas bagi sejarah Lampung, juga Banten—yang terpisah dari Lampung oleh Selat Sunda. Dimana Anak Krakatau membisul ditengah selat itu. Ada rambu2 laut yang terhempas sampai daratan Telukbetung. Betapa dasyat letusan itu. Di Indonesia, hanya letusan Toba Purba dan Tambora saja yang menyainginya. Gambaran letusan itu tergambar dalam filmKrakatoa buatan orang Belanda.[3] Juga sebuah buku tulisan Simon Winchester, Krakatoa.[4] Baik buku maupun film, menurut saya keduanya sangat bagus.
Dari cerita kawan, Bandar Lampung, dulunya disebut Tanjungkarang. Dimana sebuah stasiun kereta-api berdiri. Dimana jalur tua kereta-api di selatan Sumatra itu bermula. Sepertinya, pemerintah colonial anggap kota ini penting bagi Sumatra suatu hari kelak. Beberapa bangunan tua tampak masih kokoh dengan penampilan warna yang tampak baru. Namun, seperti kota lain juga, beberapa bangunan tua pasti juga tersulap oleh bangunan baru. Kota dan bangunannya adalah yang paling cepat berubah.
Soal bagaimana kota ini sekarang, kota ini sedang termodernisasi. Prilaku urban warganya adalah hal yang bisa dimaklumi. Seperti juga kota-kota lain di Indonesia. Bisa dibilang kota ini cukup heterogen. Banyak etnis hidup dalam kota dan sekitarnya. Pengguna bahasa Indonesia cukup baik jumlahnya dikota ini, meski beberapa menggunakan sedikit dialek Palembang atau Jakarta.
Satu hal penting yang teringat di kepala saya adalah, Lampung adalah daerah tujuan transmigrasi sejak jaman kolonial Hindia Belanda. Pastinya setelah politik etis dingiangkan. Migrasi, yang berupa transmigrasi, telah membuat banyak komunitas Jawa hidup di Lampung hingga saat ini. Ini karena pemerintah colonial gerah dengan kepadatan Jawa. Harapan pemerintah kolonial juga agar kolonialisasi di Lampung terbantu oleh para transmigran.
Peristiwa Talangsari 1989, juga peristiwa penting di Lampung, meski tidak banyak orang yang mau menyebut soal peristiwa itu. Talangsari, adalah salah satu hal yang membuat Lampung diketahui orang luar. Selain letusan Krakatau atau koloni transmigrasi pertama di Indonesia. Selebihnya, yang berasal dari Lampung adalah kopinya, kripiknya, juga Kangen Band—sebuah band peramai dunia musik Indonesia, band pengusung aliran musik yang rajin dihujat Rolling Stone Indonesia dan pengikutnya.
NB
[1] Rumah khas Lampung seperti rumah adat etnis-etnis di Indonesia yang lain. Sebuah rumah panggung, dari kayu dan juga tahan gempa. Mungkin punya banyak keunggulan lain.
[2] Nama yang terabadi sebagai nama Bandara dan kampus Universitas Islam Negeri di Lampung.
[3] Film ini sepertinya dibuat di Suriname, karena adanya kesamaan kultur dan geografis yang agak mirip sebagai sama-sama bekas koloni Kerajaan Belanda. Ada film lain berbahasa Indonesia yang bersetting tentang Krakatau. Sebuah film silat Indonesia yang dimainkan Dicky Zulkarnaen yang kesohor karena perannya sebagai Pitung, dalam beberapa film tentang Pitung.
[4] Buku ini sepertinya menjadi acuan bagi pembuatan film Krakatoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar