Senin, Juni 28, 2010

Ziarah Minggu Pagi


Sekian lama di Makassar, saya lebih sibuk kunjungi kota diluar Makassar. Hari inilah saya bisa menyusuri sedikit situs sejarah Makassar dan Gowa.


Hari minggu lagi. Bangun pagi lagi. Kali ini, dengan sepeda motor pinjaman Acil. Dengan badan masih bau, saya meluncur ke Jalan Peristis Kemerdekaan-Urip Sumoharjo-A.P Petarani-Sultan Alaudin-Sultan Hasanudin. Acara pagi ini hanya cuci-mata. Tentu saja ke situs sejarah seperti biasa. Sebuah ritual yang terus saya lakukan sejak kuliah sejarah.

Ada yang kurang dalam perjalanan saya. Mengunjungi makam pemberontak terhebat dalam sejarah Indonesia. Arung Palaka namanya. Saya memasukannya, dan dengan bangga pernah menulis artikel tentangnya dalam buku Pemberontak Tak Selalu Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara.

Saya mengira Arung Palaka dimakamkan di Bone. Ternyata tidak. Di Bone hanya ada keturunan dan penerusnya saja. Beberapa minggu lalu, Andi Irvan Zulfikar menyarankan saya mengunjungi makamnya di Gowa. Dia juga menyarankan saya mengunjungi makam Syech Yusuf—seorang pemuka agama Islam tersohor asal Sulawesi Selatan. Mungkin sekarang saatnya.

Ketika mencapai perbatasan Makasar-Gowa, saya mulai menurunkan kecepatan motor. Saya mencari jalan masuk ke makam Arung Palaka. Saya tidak menemukan plang tulisan Makam Arung Palaka, padahal saya melihatnya tiga hari yang lalu ketika kembali dari Selayar.

Maksud hati saya semula adalah menuju Makam Arung Palaka, namun yang saya temukan justeru makam Sultan Hasanudin. Tanpa pikir panjang, saya ikuti juga plang itu dan berbelok, menuju Makam Sultan Hasanudin. Setelah bertanya arah makam pada seorang tukang besak, saya temukan juga makamnya. Sebuah bangunan gaya lama dan cukup besar.

Makam Sultan Hasanudin, nampaknya bergaya Eropa. Tentu saja ada plang bertulis Pahlawan Nasional-nya. Sayangnya saya hanya bisa memotret sedikit dari luar saja. Tak apalah, saya tidak bisa berlama-lama di depan makam. Saya kembali pada tujuan semula, makam Arung Palaka. Karena masih agak lupa saya ke Balalompoa, rumah kebesaran kerajaan Makassar di Gowa. Bangunan ini cukup megah dan menjadi symbol kebesaran Gowa dimasa lalu. Hanya sebentar saja di Balalompoa, yang masih dalam perbaikan. Hanya memotret dari jauh saja.

Saya pun kembali mencari makam Arung Palaka lagi. Saya kembali ke jalan yang saya lewati sebelumnya dan mengamati plang-plang dipinggir jalan raya yag saya lewati. Akhirnya saya menemukan gerbang bertulis Makam Arung Palaka. Saya pun girang dan langsung menuju makam.

Jalanan menuju Makam Arung Palaka tidak sebagus jalanan ke Makam Sultan Hasanudin. Namun makam Arung Palaka lebih mudah dijangkau dengan berjalan kaki dari jalan raya.

Seperti halnya Makam Sultan Hasanudin, Makam Arung Palaka juga bergaya Barat juga. Terbuat dari batu dan berwarna putih. Makamnya cukup megah dari luar meski agak berlumut, seperti bangunan tua lainnya. Meski dimakan usia, baik makam Sultan Hasanudin maupun Arung Palaka sama-sama masih tampak kokoh.

Rupanya makam Arung Palaka sedang terkunci, maka saya hanya memotret dari luar saja. Meski saya tahu Arung Palaka bukan komunis maupun Sosialis, namun karena perjuangannya juga melawan penindasan maka saya menyanyikan dalam hati lagu Internasionale yang legendaris itu. Sebagai bentuk penghormatan saya atas pejang kemanusiaan yang berani berontak melawan penindasan.


"Bangkitlah kaum yang tertindas. Bangkitlah kaum yang lapar. Cita mulia dalam perjuangan. Senantiasa bertambah besar. Pikirkan adat paham lama, kita masa rakyat yang sadar. Dunia telah berganti rupa, untuk kemenangan kita. Perjuangan Penghabisan, bangkitlah melawan. Internasionale pasti jaya di dunia.Perjuangan Penghabisan, bangkitlah melawan. Internasionalepasti jaya di dunia."

Ini adalah lagu pemberontakan rakyat tertindas di seluruh dunia. Namun Arung Palaka dan pembebas lain dunia banyak yang berjuang sebelum lagu ini ada. Setelah itu saya pergi dengan bangga karena pernah berkunjung ke makam Arung Palaka.

Selanjutnya saya memacu kendaraan saya ke arah Benteng Sombaopu. Benteng terpenting milik Kerajaan Makassar melawan VOC dan sekutunya. Hanya sekitar 30 ment saja dari Makam Sultan Hasanudin dan Makam Arung Palaka. Benteng ini cukup besar dan menjadi pusat perekonomian di Sulawesi Selatan abad XVII. Dimana beberapa perwakilan asing seperti Portugis, Denmark, China dan Belanda pernah berkantor di sekitar benteng.

Di komplek situs sejarah benteng Sombaopu, terdapat museum Kareng Patingalong. Sebagai penghormatan pada penguasa Tallo yang begitu peduli pada ilmu pengetahuan. Dia adalah guru dan pelindung Arung Palaka ketika di Gowa, sebelum berontak. Sangat sedikit koleksi museum ini.

Setelah puas memotret saya meninggalkan komplek benteng Sombaopu. Jadi saya sudah menziarahi empat situs sejarah. Mulai dari makam Sultan Hasanudin; Istana Bolalompoa; makam Arung Palaka dan Benteng Sombaopu. Selanjutnya saya meluncur dengan sepeda motor pinjaman ke arah kota Makasar. karena asal jalan, saya tersesat. berkat jurus primitif saya ketika tidak tahu, bertanya, maka saya pun selamat. Seseorang menunjukan pada saya arah jalan raya menuju Makassar. Tidak butuh uang, cukup bermodal senyum saja.

Ternyata saya menyusuri jalan raya yang melewati Trans Studio, sebuah tempat wisata yang cukup besar. Dimana Yusuf Kalla dianggap berjasa dalam pembangunannya. Setelah itu saya ,elewati pantai Losari yang cukup ramai. Maklum hari minggu. Sebenarnya saya ingin ke Fort Roterdam, namun saya tidak tahu persis dimana tempatnya. Maka saya tunda dulu.

Saya pun berjalan ke arah Masjid Al Markaz-yang dibangun mantan Jenderal M Yusuf. Saya pun teringat plang bertulis makam Diponegoro ketika baru sampai di Makassar, tiga minggu sebelumnya. Saya pun mencari plang itu dan menemukannya. Saya ikuti plang itu dan menemukan juga makam Diponegoro. Pemberontak yang tidak diakui oleh kaum nasionalis. Malang sekali.

Bagi saya Pangeran Diponegoro jelas-jelas berontak pada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Meski bukan hal memalukan, menganggap Diponegoro sebagai Pemberontak karena tujuan dia berontak sangat mulia juga, melawan keserakahan pemerintah kolonial yang sok modern dengan menyerobot tanah makam leluhur Diponegoro dan kemudian membangun rel keretapi diatasnya. Sebuah hal politis untuk mencap semua pemberontak adalah salah. Karena teladan dan kharisma Diponegoro yang besar, maka gelar suci Pangeran DIponegoro sebagai pemberontak hebat di nusantara pun dihilangkan. Dasar Nasionalis picik.

Kampung kelahiran nenek saya adalah kampng yang berdiri pasca Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro. Setelah Diponegoro ditawan, maka pengikutnya pun bubar dan membangun banyak kampung di sekitar daerah Temanggung, Bagelen dan lainnya. Jadi riwayat saya maski tersangkut oleh Diponegoro, meski saya bukan turunannya. Mungkn keturunan pengikutnya.

Dengan makam Pangeran Diponegoro, maka sudah lima situs saya ziarahi. Selanjutnya saya kembali lagi ke Tamalanrea, basecamp saya. Untuk menulis lagi tentang perjalanan ini. Dan tentu saja mengembalikan sepeda motornya Acil.

Jika saya hidup di zaman perang Jawa, saya memilih ikut berontak dengan Pangeran Diponegoro. Dan jika saya hidup di zaman orang Bone dikerja-paksakan, maka saya memilih bergabung dengan Arung Palaka, meski saya bukan orang Bugis.

1 komentar:

Mas Jenggot mengatakan...

saya orang wonosobo, perbatasan dengan temanggung. tulis lebih lengkap tempat alamat makam-makam tokoh-tokoh di makasar itu. saya senang. saya tidak belum bisa ke sana mesti sangat berhasrat. tapi dengan membaca tulisan anda imaginasi saya indah sekali. membayangkan tentang tempat-tempat bukti sejarah itu