Minggu, Januari 06, 2008

Rock n Roll Indonesia (1): Dari Ngak Ngik Nguk hingga Deg Deg Plas

Suatu hari dibulan Desember 1999, aku alami kejadian yang tidak akan aku lupa. Aku tidak dendam atas hal itu. Ayahku marah dan punggungku dipukul. Habis kejadian itu aku langsung kabur. Entah kemana aku lupa. Semua bermula dari keisenganku pada lagu-lagu zaman dulu yang nggak ada matinya.Satu-satunya hiburan dihunianku yang sempit waktu kecil hanyalah piringan hitam. ya, piringan hitam milik ayah. Entah bagaimana dulu ayah mendapatnya. Itu barang berharga miliknya. Ayah akan marah bila aku memutar lagu Speed King dari piringan hitam Deep Purple miliknya. Dia hampir memukulku waktu aku ketangkap basah sedang memutar lagu dari barang keramat itu. Sejak itu selama beberapa waktu itu aku tidak menyentuh barang hebat itu lagi.
Persetan dengan kawan-kawan yang merasa hebat dengan lagu Backstreet Boy. Gila, ada juga anak-laki-laki penggemar Boyband. Entahlah, aku belum pernah dengan Beatle’s, Queen atau barang kali Pink Floyd yang dibilang ayah sebagai band hebat. Aku lebih tertarik mencari tahu nama besar band Inggris itu. Diantara piringan hitam ayah, terdapat lagu-lagu Koes Plus—paling tidak sekitar sepuluh album pop dan tidak termasuk lagu-lagu Melayu maupun keroncong.
Aku pernah menonton di tiga film Beatles akhir bulan ini. Aku tidak mengerti film itu. Hanya tergambar di kepalaku band itu selalu membuat para gadis zaman itu menjerit. Pernah juga aku dengar piringan hitam Beatles dilarang orde lama. Sukarno melarang lagu-lagu Beatles, Ngak Ngik Nguk katanya. Kata pendukung Sukarno zaman itu, lagu-lagu barat dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Negara rupanya berhak mengatur selera musik rakyat yang mereka tindas. Pemerintah waktu itu, seperti sering dihimbau dalam harian Rakyat milik PKI, masyarakat luas diminta menyerahkan piringan hitam Beatles atau musik barat lainnya secara sukarela. Rasanya tidak ada pemuda pecinta rock n roll yang rela menyerahkan piringan hitamnya.
Pemerintah orde lama paling paranoid soal musik, Koes Bersaudara harus masuk bui karena nekad membawakan lagu I Saw Her Standing There dalam sebuah acara. Dalam acara itu, sebuah keributan terjadi, atap di tempat konser dilempari batu oleh orang-orang yang katanya pendukung revolusi Sukarno yang anti kapitalis.
Anti rock n roll tidaklah lama di Indonesia. Politik Indonesia lalu menenggelamkan kekuasaan Sukarno. Bapak Pemimpin Besar Revolusi itu digulingkan secara merangkak oleh kekuatan siluman yang kemungkinan juga ada campir tangan asing. Kejatuhan Sukarno memberi nafas bagi berjayanya musik rock di Indonesia. Masa-masa kebangkitan rock Indoensia ini, Koes Plus merekam dan merilis Deg Deg Plas (1969). Album ini tidak terlalu sukses penjualannya, karena masyarakat saat itu belum bisa menerima lagu-lagu mereka. Beberapa lagu dalam album itu seperti Manis dan Sayang, Derita, Awan Hitam, Kembali Ke Jakarta, Cintamu Telah Berlalu adalah lagi-lalgu yang kemudian populer hingga saat ini. Takdir lagu itu harus mengalami penolakan terlebih dahulu sebelum publik bisa menerimanya.
Tersebutlah seorang pemuda kelahiran Tuban 19 Januari 1936 bernama Koestono Koeswoyo, anak dari Koeswoyo pegawai negeri di Depertemen Dalam Negeri. Pemuda ini begitu tertarik pada musik rock n roll yang sedang mengila di barat sana. Tony Koeswoyo, begitu orang mengenalnya dalam sejarah musik pop Indonesia, lalu mengajak saudara-saudaranya yang laki-laki untuk membentuk band keluarga. Tony setidaknya pernah bermain band bersama kawan-kawannya dalam Teruna Moeda. Salah satu personilnya adalah Sopan Sophian—mantan fungsionaris PDI P dan anggota DPR.
Band keluarga itu kerap mendapat job menggung. Bayarannya mungkin tidak sebeerapa, namun mereka jelas senang bisa manggung. Mereka sering mengisi acara pesta dimana mereka pasti bisa makan gratis dalam pesta remaja itu.
Mereka juga menyambangi sebuah perusahaan rekaman. Bersama perusahaan rekaman itu, anak-anak Koeswoyo membuktikan diri sebagai musisi rock n roll. Nama besar yang terlibat dalam rekaman itu adalah Jack Lesmana, ayah Indra dan Mira Lesmana yang orang kenal sebagai musisi Jazz kesohor tanah air.
Bagi Tony Koeswoyo, musik adalah hidupnya, meskipun bukan sebagai mata pencarian yang menjanjikan pada awalnya. Tony sempat bekerja di Perkebunan Nusantara. Tony terus melangkah bersama Band-nya yang berubah nama dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus karena Nomo keluarga. Dua adik Tony, Yon dan Yok tetap bersamanya. Abang mereka Jhon, yang pernah ikut dalam Band belakang tidak ikut lagi. Jhon merelakan sebagian gajinya dipakai untuk membeli alat band. Jhon, seperti juga ibu mereka, sering menjadi sasaran omelan Koeswoyo yang tampak tidak rela anak-anaknya bermain band karena masa itu menjadi musisi tidak akan bisa hidup mapan.
Tony memimpin adik-adiknya dan anggota baru mereka Murry dalam Koes Plus. Band ini menjadi legenda musik Indoensia. Mereka berjaya di tahun 1970an dengan lagu mereka yang easy listening dan sederhana. Musik yang diusung Tony Koeswoyo bersama band dan saudaranya itu menjadi pelopor perkembangan musik pop setelah kejatuhan Soekarno. Perjuangan Tony seperti menjadi perjuangan musik pop yang memang berbau barat berkembang di Indonesia. Tony dan saudara-saudaranya harus merasakan penjara karena kegilaan mereka ini. Meski Koes Plus tidak ngerock ditahun 1970an, mereka seperti menjadi pembuka lembaran baru bagi perkembangan musik rock tanah air lewat album Deg Deg Plas---yang dimata sebagaian pihak dianggap gagal dari sisi penjualan namun memiliki beberapa lagu pop dasyat yang selalu diaingat orang. Apapun musik yang diusung Tony Koeswoyo, sangat munafik menggeser namanya dari jajaran tokoh musik rock tanah air. Perjuangan Tony yang kerap mengusung lagu-lagu the Beatles diawal karir musik adalah usaha berani yang membuat mereka harus di bui di penjara Glodok.
Aku ingat lagi ditempat ayahku tinggal sekarang, piringan hitam Deg Deg Plas itu masih ada. Aku pernah memutarnya waktu SMP dulu. Lagu-lagu mereka tidak jelek dan masih nyaman didengar hingga sekarang. Omongan kawan-kawan sekolahku kalau lagu lama, seperti juga lagu-lagu Koes Plus, adalah ketinggalan zaman hanya omong kosong mereka sebagai anak kecil yang hanya tahu yang terbaru adalah yang terbaik. Musik masalah selera, setiap penikmat musik punya ukuran sendiri mana musik yang bagus. Anak kecil hanya bisa bilang musik terkinalah yang terbaik.
Album gagal dalam penjulan tidak selamanya buruk dari sisi musikalitas. Entah apa yang dipikirkan Tony, apakah album itu akan laris ketika dirilis kita tidak tahu. Orang pada masa itu boleh saja memasukan rekaman mereka ke tong sampah. Sekarang album yang katanya dulu tidak laris itu masih kerap diputar, walau semakin jarang yang memutarnya sekarang ini. Karena orang lebih menyukai lagu-lagu baru. Biar tidak ketinggalan zaman kata mereka. Bagaimanapun, Tony dan dua bandnya menjadi anak di zamannya dan menjadi salah satu mata rantai dalam perkembangan msuik pop tanah air hingga seramai dan beragam seperti sekarang ini.





1 komentar:

Anonim mengatakan...

Rock n Roll di Indonesia masa 60-an memang hidup dalam keadaan serba sulit. Tak hanya Koes Ploes, cobalah tengok sejarah God Bless awal berdirinya. Mereka sampai lari ke negeri Belanda, hanya untuk konser dan unjuk kebolehan memainkan musiknya di sana. Menerbitkan album-albumnya.

Hah, legalitas pemerintah, dengan mengatakan rock n roll tidak sesuai dengan pribadi bangsa nampaknya tak relevan tuh. Barangkali Soekarno, waktu itu tak berkaca, bahwa ilmu-ilmu yang didapatnya yang tergabung dalam Nasionalisme, Marxisme, dan Islam adalah produk luar negeri. Setidaknya, paham-paham tersebut adalah paham yang dipikirkan oleh orang yang berasal dari luar Indonesia. Dan bisa dikatakan, pemikiran tersebut tak sesuai dengan jiwa Indonesia, yang lebih terkesan nrimo(?). Tengok saja si Sugito ZR, yang pernah nulis diblognya tentang serat centhini (liat blognya deh, banyak nanti yang dijelaskan). Semua adalah hasil dari luar negeri yang terpadu menjadi khasanah Indonesia.

So, kenapa rock n roll ditakuti pada waktu itu (terkesan tak Indonesiawi)? Karena rock n roll adalah lambang pemberontakan, dan Soekarno (saat menjabat sebagai presiden) takut dengan pemberontakan, khususnya kudeta terhadap dirinya.

---by: tukang ngedumel---
ps. ojo dihapus meneh lho Pet, capekcapek nih gw nulisnya, dengan segenap jiwa-raga.

keep on rock n roll!!!!