Sabtu, Desember 29, 2007

KNIL di Nusantara

KNIL adalah didirikan pertama kali tahun 1830 ketika van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Selama puluhan tahun, KNIL dimata pemerintah kolonial di Batavia terbilang sukses dalam menumpas berbagai pemberontakan di nusantara—walaupun masih ada pemberontakan kecil yang terus meletup. Tujuan didirikannya KNIL jelas bisa ditebak, menegakan kekuasaan kolonial secara de facto atas Hindia Belanda dalam rangka memperkaya kerajaan Belanda dengan melakukan berbagai eksploitasi isi tanah Hindia Belanda. Penguasa lokal bisa menjadi pengha;lang rencana itu karena merasa terganggu. Hal itu bisa berbuah menjadi sebuah pemberontakan. Jadi tugas KNIL paling utama menghabisi perlawanan dalam negeri—didalam koloni Hindia Belanda—dan sebagai militer KNIL hanya difokuskan didalam negeri saja. KNIL bukanlah sebagai angkatan perang yang ditugaskan untuk menghadapi musuh dari luar

Perekrutan prajurit bawahan KNIL dilakukan hanya dibeberapa tempat saja di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, seperti memiliki kebijakan tidak tertulis, hanya merekrut prajurit KNIL dari daerah-daerah yang tidak terjadi pergolakan—atau setidaknya, selama beberapa waktu tidak memiliki permusuhan dengan pemerintah kolonial. pemuda-pemuda dari daerah-daerah sekitar Ambon, Menado, Minahasa adalah lokasi perekrutan ideal, sebelum akhirnya orang-orang Jawa dengan adanya basis militer Belanda di Gombong.
KNIL, dalam sejarah identik dengan suku Ambon yang dicap Belanda hitam—karena banyak yang melakukan Gelijkgesteld. Steriotip bahwa Ambon identik dengan KNIL telah banyak menjebak orang-orang untuk berpikir bahwa serdadu KNIL banyak yang berasal dari orang-orang Ambon. Sebenarnya sebagian besar serdadu KNIL berasal dari Jawa—saat itu Jawa sudahmenjadi pulau, juga suku, dengan populasi terbesar di Hindia Belanda. Hanya saja prajurit KNIL dari suku Ambon memiliki pengaruh dominan dalam KNIL.
Orang Ambon bersama orang-orang Menado dan Eropa lainnya adalah formasi terdepan dalam pertempuran. Orang-orang Ambon mungkin lebih dulu direkrut dalam dinas militer kolonial dibanding suku-suku lain di Indonesia—tercatat sejak zaman Kapitan Yonker. Karena hal ini orang-orang Belanda menganggap orang-orang Ambon loyal terhadap pemerintah kolonial—sehingga pemerintah kolonial memberikan orang-orang Ambon—seperti juga orang-orang Minahasa dan Menado—fasilitas yang lebih baik daripada prajurit KNIL dari suku lain.
Masalah agama juga menjadi sumber perbedaan diantara kalangan KNIL sendiri. Sekitar 7.500 personil KNIL adalah orang-orang Katolik, baik Eropa totok maupun Eurasia. Kalangan katolik dalam KNIL ini mendapat perhatian dari kaum misionaris Eropa yang menyebarkan agama katolik di Indonesia. keuntungan mendapat kenaikan gaji, dengan menjadi seorang kristen menjadi sesuatu yang menarik bagi prajurit rendahan—kendati tidak semua prajurit rendahan pribumi melakukannya. Masalah kedisiplinan religius yang besar harus dihadapi imam serdadu kolonial itu terkait kebiasaan memelihara nyai didalam tangsi.
Pernah ada keinginan dari beberapa prajurit KNIL agar mereka tidak lagi disatukan berdasarkan suku melainkan kesamaan agama. Dalam KNIL pengarush agama protestan, meski tidak dianut oleh sebagian besar serdadu KNIL, adalah sebuah agama yang dominan—seperti yang dianut beberapa serdadu KNIL Ambon. Seorang pater bernama H.C. Verbraak yang pernah terlibat dalam rehabilitasi serdadu KNIL tahun 1882 yang ditangkap lagi setelah desersi menulis: “Pagi ini salah seorang desertir berdamai kembali dengan Allah. Ia berhasil mealrikan diri bersama seorang teman selam tiga minggu. Mereka mengalami penderitaan kejam diantara orang-orang Aceh, dan malah jauh lebih menyedihkan lagi para desertir ini menganut agama Islam. Orang-orang ini tergoda oleh rumor palsu mengenai kehidupan mewah diantara orang-orang Aceh. Barangkali tidak ada lagi keinginan untuk hidup diantara orang-orang Aceh.”.
Pemerintah kolonial berusaha menegakan disiplin tentara dengan menggunakan imam iman katolik mungkin juga pendeta protestan. Semuanya, diharapkan oleh pemrintah, akan menghindari desersi serdadu kolonial ytang sangat dibutuhkan dalam penegakan kedaulatan Hindia Belanda—yang kerap dirong-rong oleh orang-orang lokal anti koloniliasi Belanda yang datang tanpa bisa ditebak kapan akan terjadi.
Agama barat itu diserap dengan sangat baik oleh banyak serdadu KNIL, khususnya yang berasal dari Ambon, Menado, Minahasa. Hingga berakhirnya KNIL banyak serdadu KNIL, bila memang beragama, adalah penganut protestan atau katolik. Mereka nyaris tidak bisa menyatu dengan prajurit TNI yang mayoritas dan dominan dengan dengan kultur Islam—yang diantara menganut Islma kejawen.
Perbedaan agama dengan mayoritas pribumi itu bisa jadi menjadi faktor selain politis dan ekonomis yang membuat mereka begitu ingin bertempur dengan tentara Indoensia yang umumnya berbeda keyakinan dengan mereka. Dimana pada akhirnya banyak bekas serdadu KNIL yang lebih memilih meninggalkan Indoesia tanpa harus berpikir dimana tanah air mereka sebenarnya. Salah satu harapan, mereka tidak perlu pusing untuk hidup dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Didepan mata mereka, sudah muncul suatu ramalan, dominasi agama besar yang berbeda dengan mereka akan membuat mereka menjadi korban diskriminasi sosial dimasyarakat dimasa mendatang.
Dalam pertempuran orang-orang Jawa, berada dibelakang barisan orang-orang Ambon, Menado dan Belanda. Karena formasi ini pula timbul pemikiran bahwa orang-orang Jawa tidak loyal—atau mungkin juga tidak mampu bertempur. Pemikiran macam ini jelas salah, banyak juga orang-orang Jawa terpilih untuk menjadi prajurit Marsose—pasukian khusus Belanda yang mampu bergerilya dan beradu klewang dengan pertempuran jarak dekat. Bukti ini dalam dilihat dalam kerkof (kuburan militer) di Aceh—terdapat nama-nama Jawa, Ambon, Menado yang gugur sebagai prajurit Marsose. Beberapa orang Jawa juga telah mendapatkan medali kehormatan militer Belanda atas keberanian mereka dalam pertempuran—Militaire Willemsorde kelas IV.
Karena diskriminasi fasilitas dalam KNIL—selain karena sedang terjadi revolusi kemerdekaan yang hebat di Jawa—mengakibatkan tidak ada rekrutmen serdadu KNIL lagi di Jawa dalam jumlah besar. Bekas KNIL suku Jawa—yang setelah Jepang menduduki Indonesia dibebaskan oleh Jepang—lebih senang menjadi prajurit TNI yang belum mapan daripada bergabung kembali masuk KNIL yang diskriminatif. Ambil contoh Soeharto, Gatot Subroto dari kelompok bintara. Dari kelompok bintara ini KNIL, banyak yang kemudian diterima oleh Jepang untuk dijadikan perwira dalam PETA. Tentara pendudukan Jepang tidak menerima bekas perwira karena telah menerima pengaruh profesionalisme barat. Kepada prajurit PETA, para Jepang instruktur Jepang cenderung mendiskreditkan KNIL. Pamoe Rahardjo, mantan PETA, menulis: “saya lalu teringat dalam indoktrinasi sewaktu di PETA, selalu diajarkan bahwa KNIL adalah pasukan yang menjadi musuh pokok bangsa Indonesia”.
Banyak orang berpendapat bahwa orang-orang yang bekjerja untuk kepentingan pemerintah kolonial akan mendeapat banyak kesenangan. Hal ini tidak berlaku bagi KNIL. Sebagai serdadu KNIL mereka mendapat uang yang mungkin cukup untuk hidup dan sedikit bersenang-senang. Sebagai alat pemerintah mereka seolah diberi predikat pahlawan dimana orang-orang di Hindia menghormati mereka. Hal yang terjadi pada prajurit KNIL itu bukan sebagai orang yang dihormati sebagai pahlawan yang menegakan kekuasaan kolonial di nusantara. Serdadu KNIL, terutama prajurit rendahan sebenarnya berada dalam kondisi terisolasi dalam struktur masyarakat kolonial. Bukan hanya ketika sedang mengikuti ekspedisi namun ketika berada di garnisun tentara ketika tidak berperang. Meraka, prajurit KNIL itu hanya bisa bergantung pada diri sendiri dan kawan-kawan seprofesinya. Penduduk kota biasanya memandang sebelah mata pada mereka, para serdadu KNIL.
Mereka tidak temukan kenyamanan untuk bergaul dengan orang-orang biasa diluar tangsi kecuali kedai minum dan tempat prostitusi karena kebiasaan mereka pada minuman dan wanita. karenanya, prajurit itu lebih nyaman berada ditengah kawan-kawan KNIL-nya. Hal ini semakin lama makin mengisolasikan mereka baik dari masyarakat kolonial bangsa Eropa maupun orang-orang pribumi. Dimata banyak orang-orang pribumi profesi prajurit kolonial adalah rendah. Mungkin orang memandang mereka pembunuh, penzinah dan pemabuk—bukan karena mereka mematah perlawanan lokal di nusantara untuk kerajaan Belanda. Serdadu bawahan KNIL secara turun-temurun telah dijadikan kelas terhina dalam masyarakat kolonial.
Kehinaan dimasa kolonial jelas mereka rasakan, apalagi setelah revolusi kemerdekaan RI, dimana banyak hal kehinaan yang mereka terima. Rakyat Indonesia, setelah revolusi pasti begitu membenci hal-hal berbau kolonial, apalagi tentara kolonial yang menjadi alat penjajah di nusantara. Bekas KNIL pasca revolusi pasti meramalkan akan adanya kehinaan yang mereka terima dimasa-masa Indonesia merdeka. Kehinaan itu tentu diikuti dengan rasa permusuhan orang-orang opurtunis kini pro Republik pasti merasa bisa berbuat semaunya karena republik tampil sebagai pemenang. KNIL, dalam sejarahnya tidak mau menjadi pecundang, mereka telah patahkan banyak perlawanan rakyat lokal. Sangat tidak mungkin bagi mereka menerima penghinaan dari orang-orang pasca revolusi yang pro republik. Penghinaan yang akan diterima pasti lebih menyakitkan. Bukan lagi dianggap hina namun lebih dihinakan lagi. Dendam historis pasti banyak terjadi pasca revolusi.



Tidak ada komentar: