Minggu, Mei 19, 2013

Negeri Terjajah Yang Menipu Diri

Enak mana, dijajah Belanda, Perancis, Inggris atau Jepang?  Apapun jawabannya, sangat tak pantas jika dijajah Bangsa sendiri.

Menunggu kereta di stasiun Senen sangat membosankan. Kereta senja ke Jogja yang terjadwal pukul 07.00 hampir selalu ngaret. Banyak orang Indonesia pasrah dengan tradisi ngaret penyedia jasa. Tapi, bagi mahluk yang sudah kangen setengah hidup pada Jogja, ini tak bisa dimaafkan. Sebaiknya Menteri Perhubungan digantung saja di Lapangan Banteng. Penantian kereta senja itu membuat saya merenungi banyak hal.
Ketika kereta datang, saya naik kereta, cari kursi saya dan duduk. Lalu saya merenung lagi. Pikiran saya melayang lagi. Ditengah perenungan saya mengantuk karena sebelum ke Senen, saya harus ke perpustakaan Salemba cari bahan untuk menulis. Itu melelahkan sekaligus menyenangkan.
Saya baru terbangun ketika menjelang kereta menginjak Tanah Tegalrejo, dekat rumahnya Pangeran Diponegoro. Gara-gara Belanda mau bikin jalan, keributan dimulai dan berubah jadi Perang Jawa. Harus saya akui, apa yang saya rasakan itu hasil penderitaan orang-orang Indonesia yang diperas darah dan keringatnya, sekaligus kreatifitas teknisi Belanda yang memperlancar kolonialisasi. Karena mereka, saya bisa naik kereta api. Kerena mereka saya bisa pulang ke Jogja sebagai rumah sejati sekaligus menyambangi pacar saya waktu itu, yang sudah jadi mantan.

Jawa: Pulau Yang Paling Lama Dijajah
Selanjutnya, muncul pertanyaan. Siapa yang membangun jaringan kereta ini? Lalu kenapa rel-rel kereta api itu dibangun? Karena kuliah sejarah hamper tujuh tahun, tak sulit bagi saya menjawabnya. Rel kereta-api beserta keretanya itu dibangun Belanda, dengan tujuan memperlancar eksploitasi hasil perkebunan pasca tanam paksa demi menggendutkan kantong Ratu Singa (di Negeri Belanda).  
Lukisan stasiun kereta api dan relnya.
Beruntunglah Pulau Jawa sebagai pulau yang paling lama dijajah Belanda. Jaringan rel jauh lebih banyak daripada di pulau lain. Belanda memang baru betul-betul fokus di pulau besar paling lama dijajah dahulu, pulau lain masih belum dan rencananya menyusul.
Sayang, Indonesia keburu merdeka dan jaringan rel di luar Jawa masih ala kadarnya saja. Jaringan rel yang tak begitu panjang  pernah dibangun juga di Sumatra Selatan-Lampung (1914), Sumatra barat (1886) Sumatra utara (1891); Aceh (1874); Makassar Takalar (1922). Selama pendudukan Jepang, banyak rel dibongkar balatentara Pendudukan Jepang.
Lalu saya teringat Jalan Deandels. Jenderal Perancis yang loyal pada Napoleon ini, kesohor karena mega-proyeknya Anyer –Panarukan yang menelan banyak korban. Jalan itu dibangun sekitar satu tahun, dengan panjang sekitar 1.000 KM. Deandels yang tangan besi itu jelas jauh lebih hebat daripada kontraktor pembuat jalan raya masa kini. Keberadaan Deandels adalah jejak penjajahan tak langsung Perancis sekaligus efek revolusi Perancis di Indonesia. 

Potret Herman Deandels sang Marsekal napoleon di Jawa
Maha karya Deandels itu, nampaknya berkembang menjadi jalan raya yang hingga saat ini masih dipakai. Jalan Raya Pos yang membentang di utara pulau Jawa. Jalur yang selalu ramai di kala mudik lebaran. Jadi, berhentilah mengutuk Deandels jika masih memakai jalan itu!!!

Kalau ada yang bertanya, “kenapa di Jawa ada kereta api dan jalan rayanya bagus?” Selain karena uang banyak berputar di Jawa, yang terpenting adalah Jawa adalah pulau yang paling lama dijajah. Sejarawan Jawasentris percaya Indonesia dijajah 350 tahun. Mitos ini ditentang oleh sejarawan Belanda, kalau tidak salah namanya Van Resink.
Mitos ini mengundang disintegrasi, karena Aceh, Bali, Tanah Batak baru dikuasai Belanda tak lebih dari 40 tahun—karena baru sekitar tahun 1905-1908 baru dikalahkan KNIL. Mengakui pendapat sejarawan Jawasentris tadi berarti memecah-belah NKRI yang mereka banggakan karena tak menafikan orang Aceh, Batak dan Bali juga. Sejatinya, bukan Indonesia yang dijajah 350 tahun tapi Jawa.

Enak Jamanku to?
Kira-kira, paling enak itu dijajah siapa ya? Banyak yang sering bertanya pada saya seperti itu, karena mereka mengira saya sejarawan yang bisa dipercaya—walau saya ragukan itu hehehe. Saya pun tak bisa jawab pertanyaan itu.
Kalau saya bekas pegawai terpelajar kolonial Belanda saya akan bilang dengan jujur, “enak ikut Ratu Wilhelmina. Pegawai yang bisa baca-tulis hidupnya enak tanpa harus korupsi.”  Tapi bagi sebagian bekas serdadu buatan Jepang macam PETA, dijajah Jepang itu keren. Nyatanya kebiasaan Jepang di Indonesia macam taiso dan sistem tentara pendudukan jelas-jelas dilestarikan Suharto cs.
si Smiling General Suharto yang inocen
Saya agak geli sekaligus kesal dengan gambar Suharto tersenyum bertuliskan: “Piye kabarmu? Enak jamanku to?.” Bagi mereka yang merasa nyaman di jaman itu jelas bilang enak jaman Suharto. Bagi saya yang pernah merasakan kelaparan bersama adik saya, maka dalam hati yang paling dalam akan bilang, “matamu kae, Su!!!” Pendukung Suharto tentu tak rasakan lapar yang saya rasakan.
 Tanpa Suharto saya bisa melakukan apa yang saya mau, itu alas an kalau Suharto itu penipu ulung dalam sejarah Indonesia. Saya pernah ditipu antek-antek Suharto, beruntung ada gerakan Mahasiswa reformasi 1998 yang menyadarkan saya.  Itu alasan tambahan untuk tidak suka dan melawan Suhartoisme.
Suharto, bagi saya adalah penerus raja Jawa. Selicik Ken Arok dalam merebut kekuasaan. Sekaligus selemah Amangkurat dari Mataram. Kalau Amangkurat kasih Semarang ke VOC, maka Suharto kasih Papua ke Freeport.  Rela jual apa saja untuk berkuasa. Hal ini diteladani banyak orang Indonesia yang membeli jabatan. Suharto adalah pemelihara bibit korupsi dalam sejarah Indonesia yang berakar dari feodalisme. 

Menipu diri dengan mitos-mitos
Mahasiswa sejarah sering membandingkan jika Negara yang dijajah Inggris itu lebih maju daripada dijajah Belanda.  Mereka melihat perkembangan India dan Malaysia yang jauh diatas Indonesia. Adik kelas saya pernah menyanggah opini macam itu yang didukung Profesor Killer kami di kelas. Gara-gara dijajah Inggris kultur masyarakat Melayu di Malaysia jadi rusak.
Katanya, kalau dijajah Inggris kita akan bisa berbahasa Inggris. Bisa bahasa Inggris itu keren karena itu bahasa Internasional. Itu sangat diagung-agungkan. Sebuah keterpaksaan kultural tidak mereka sadari.  Kalau saya memakai bahasa Inggris, itu karena saya terpaksa sebagai  bagian dari rakyat terjajah, sama saja seperti yang tidaknya menyadarinya. Bedanya saya sadar secara bahasa saya terjajah.
Coba lihat serial anak Ipin dan Upin, terlihat betapa bahasa Melayu mereka sudah terkontaminasi dengan Inggris. Meski saya suka serial ini karena dua karakter lucu itu, saya merasa bahasa Melayu Indonesia lebih terpelihara daripada Melayu Malaysia. Sementara itu, selama kolonialisasi Belanda di Indonesia, hukum adat lebih terpelihara daripada setelah Indonesia merdeka, begitu pula agama lokal—yang makin punah setelah Belanda pergi.
Ipin dan Upin, jejak penjajahan INggris ada disana. Baguskah bahasa leluhur hilang dan berganti bahasa penjajah
Sebetulnya, terjebak dalam opini kalau perkembangan suatu Negara dipengaruhi siapa Negara penjajahnya, adalah agak menyesatkan. Opini ini pun sudah menjadi mitos menghambat kemajuan Indonesia.  Mereka lupa kalau kemajuan itu diperjuangkan. Mereka lupa kalau Jepang tak pernah dijajah untuk jadi Negara maju, mereka hanya perlu kerja keras.
Ada banyak mitos menyesatkan yang berbahaya di Indonesia. Saya hanya bisa sebutkan empat: Pertama, mitos Indonesia dijajah 350 tahun yang berpotensi disintegrasi. Kedua, korupsi itu ada sejak jaman VOC  hingga orang Indonesia lupa kalau korupsi itu ada karena feodalisme yang terpelihara kuat hingga sekarang hingga korupsi pun merajalela. Ketiga, Indonesia tidak maju karena lama dijajah Belanda dan tidak dijajah Inggris. Ini menyesatkan karena sejatinya kemajuan itu dicapai karena kerja keras dan mitos ini hanya untuk menyembunyikan sifat malas orang Indonesia.  Keempat, katanya Pancasila nyatanya keadilan hukum dan kesejahteraan tidak terjamin. Artinya pancasila hanya symbol Negara dan juga mitos. Kelima, di jaman Suharto semua enak, kata siapa? Lah saya kelaparan, bukan cuma saya. Percaya mitos bodoh ini berarti menafikan penderitaan orang lain dan hanya peduli pada perut sendiri. Mitos-mitos lain mungkin bisa anda-anda temukan di ruang dan waktu yang lain. Jika Anda percaya pada mitos-mitos tadi, saya ucapkan selamat menipu diri sendiri...

Itulah yang saya renungi dari penantian di stasiun dan gerbong kereta api. Menanti kereta pukul tujuh itu membuat saya menulis lirik pendek sebuah lagu absurd yang tak pernah selesai. Dimanapun, Indonesia adalah renungan dan kegelisahan. 

1 komentar:

vicong mengatakan...

Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang Indo kelahiran Yogyakarta yang kemudian menjadi WNI dan Guru Besar Hukum di UI. Kurang tepat juga bila disebut sebagai sejarawan Belanda.

https://id.wikipedia.org/wiki/G.J._Resink