Rabu, November 16, 2011


Sasaran kami kali ini adalah Kampung Arab. Sebuah kampung kuno yang unik di pesisir Musi.



Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Arnaud Abbel—kami biasa panggil Arno. Kawan lama. Seorang sosialis Perancis. Kami bertemu di Museum Sultan Mahmud Badarudin II(12/11/2011). Arno tidak berubah. Tetap lusuh. Tetap bohemian. Padahal saya sudah agak borjuis sekarang. Arno tetap seperti dulu. Kami biasa dikusi dan sesekali mantau demo di Jogja.





Setelah berkenalan dengan Fara, Emak Yuniar dan Atira, Arno saya ajak menyusuri kampong kuno sekitar Ampera. Tujuan pertama adalah kampong Kapitan. Sebuah perkampungan Tionghoa dimasa lalu. Masih banyak peranakan di kampong itu. Kami tidak lama disini. Kami hanya bisa melihat rumah dan kantor kapitan Tionghoa. Sementara Fara, Emak dan Atira mengamati rumah ala peneliti, saya dan Arno sibuk ngobrol soal apa saja, dari Museum sampai Kampung Kapitan dengan melintasi Ampera.



Ini Tempat Setan

Kami sempat singgah sebentar di tepian dan sekedar diskusi. Soal jilbab dan pemerintah Perancis—yang dimata Arno sangat konyol. Bukan Arno jika tidak kritis dan ngece pemerintah mana pun di muka bumi ini. Dasar sosialis.

Beruntung, sebelum sampai Kampung Arab yang sebenarnya, kami banyak temukan rumah-rumah tua yang masih tegak berdiri meski seperti kurang terawat. Selanjutnya kami bergerak lagi. Tidak jauh dari masjid, kami temukan rumah besar. Paling besar di dusun itu.



Selanjutnya, kami bergerak lagi menysuri jalan aspal. Dimana seorang Bapak berbaju koko dan berpeci memberi tahu kami soal kampong Arab di daerah 13 Ulu. Kami segera berjalan kesana. Tepat menjelang matahari di atas kepala kami. Kami terus berjalan. Semua tampak semangat.



Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Kami melewati banyak rumah orang, jalan sempit dan juga pesta perkawinan. Makanannya cukup menggiurkan. Apalagi di siang bolong yang terik. Perjalanan menguras cairan tubuh. Air saja yang saya butuhkan.veldvest saya nyaris kosong sepanjang jalan.



Begitu saya melihat sebuah Toserba, saya langsung masuk ke dalam. Sekedar ngadem. Dan berharap membeli minuman dingin. Arno mengintip dari kaca. Lalu dia menuju pintu dengan terburu-buru. Minuman dingin yang saya cari belum saya temukan. Arno memanggil saya dari luar dan saya mendekati pintu.



Ketika kepalanya sampai di pintu, Arno bilang ke saya, “Ini tempat setan,”katanya. Saya segera ketawa dalam hati. Saya ajak semua pergi. Sebelum penjaga toserba itu marah-marah. Niat mencari minuman pun saya lupakan. Bagi Arno, seperti yang saya amini, toserba itu juga ikut matikan perekonomian rakyat kecil. Saya juga salah satu pembunuh rakyat kecil karena sering belanja di toserba macam itu. Dunia memang rumit. Wajar Arno punya pikiran toserba macam itu tempat setan.



Soal Kampung Arab



Kami teruskan perjalanan. Setelah bertanya-tanya—tanpa memakai gaya Ayu Ting Ting “dimana…dimana…dimana..” yang rajin ditiru anak-anak—kami temukan dimana lorong masuk kampong itu. Kami masuki sebuah lorong. Dengan rumah-rumah tua. Di pinggir jalan adalah rumah batu. Di dalam lorong adalah rumah-rumah kayu yang cukup besar. Agak lebih besar daripada rumah besar di kampong Kapitan.



Kami amati pelan-pelan rumah-rumah di lorong. Bangunannya unik. Atira memperhatikan anak-anak kecil yang bermain. Menurut Atira, diantara mereka masih keturunan Arab jika dilihat dari wajahnya. Kami sepakat dengan Atira.



Warga keturunan asing bukan hal baru bagi Palembang. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Arab juga, Orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1] Di zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]



Komunitas Arab memang sudah ada di nusantara sejak lama. Mereka berdagang. Mereka juga membawa ajaran Islam dari tanah leluhur mereka. Mereka hidup turun-temurun di Palembang. Mereka juga mempertahankan darah Arab mereka. Tidak heran jika masih banyak orang-orang berwajah peranakan Arab di sekitar Kampung Arab. Karena warga kominitas Arab cukup banyak di Palembang, maka akan ada seorang pemimpin Arab dengan gelar letnan atau kapitan. Sebuah gelar yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.



Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin. Jika komunitas tidak terlalu banyak mungkin hanya dipimpin seorang letnan saja. Di Palembang memang terdapat beberapa lorong di Palembang.[3]



Kami singgah agak lama. Beristirahat di mushala tepi sungai yang teduh. Merendam kaki begitu menyenangkan. Sambil ngobrol lagi dengan Arno. Dari Kampung Arab kami cari makan lalu kembali ke Museum. Dan ketika menjelang sore kami melihat lomba perahu bidar. Setelah itu kami berpisah dengan Arno yang akan menuju Jakarta. Ala backpacker tentunya. Begitulah perjalanan kami ke kampong Arab.



NB:



[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.



[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen danSitus Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144



[3] Aryandini Novita & Sondang Siregar, Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe (Dari Sriwijaya hingga Kolonial), Balai Arkeologi Palembang, 2010, hlm. 36.

Dengan Arnaud Abbel, Mei 2008

Mencari Kampung Arab

Tidak ada komentar: