Sosok Preman ideal. Dia seorang revolusioner yang punya jasa Republik, namun belakangan dia terlihat sebagai seorang kontrarevolusioner.
Berdasar pengakuan Vintje Sumual, Rapar adalah bagian dari kelompomk Senen. Dia bagian dari kelompok Preman pimpinan Imam Syafei alias bang Pie’i. Mereka tergolong sebagai bagian dari kelompok yang kemudian pro kemerdekaan Indonesia. Mereka dicap sebagai bagian dari dunia hitam yang menguasai kawasan Senen.[1]
Di Senen, rapar bukan satu-satunya orang Menado-Minahasa. Rapar adalah mantan KNIL. Di masa pendudukan Jepang, Rapar sudah menjadi preman di Senen. Rapar dikenal sebagai manusia bersosok tinggi besar. Dengan berat badan 100 Kg. Postur yang baik untuk seorang preman. Dia dikenal sosok tukang berkelahi. Dan seringkali terlibat perkelahian. Jika sudah begini, Mr AA Maramis, seorang tokoh pergerakan yang juga seorang advocate turun tangan. Dan orang Menado-Minahasa yang ribut dan ditahan polisi itu pun bebas.[2] Hubungan preman Indonesia dengan kaum pergerakan pun terjalin. Meski hanya dalam batas tertentu.
Preman Menado Minahasa, di masa pendudukan Jepang, biasa berhubungan dengan pemuda Menado-Minahasa di Asrama Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Gunung Sahari. Di Angkatan laut Jepang, Laksamana Maeda, duduk sebagai wakil Angkatan Laut di Jakarta. Jakarta sendiri adalah pusat Angkatan Darat ke-16 yang menguasai Jawa.
Selama pendudukan Jepang, Maeda pernah mendirikan Choku-eitai, semacam organisasi semi-militer dengan berbagai macam fungsi seperti kontraintelejen, sabotase, dan pengintaian. Guna menghadapi sekutu yang bisa mendarat kapan saja ke Hindia Belanda. Beberapa anggota dari kelompok ini adalah orang-orang Minahasa—yang direkrut di Jakarta karena tidak bisa pulang ke kampungnya ketika Jepang mendarat. Maeda diberi tugas oleh petinggi Angkatan Laut di Makassar untuk mengawasi orang-orang Minahasa itu. Sebagian diantaranya adalah mantan KNIL yang kehilangan pekerjaan dan terpisah dari keluarganya. Organisasi ini terkesan seperti pengawal Maeda.
Di Jawa, pusat Angkatan Laut adalah di Jakarta dan Surabaya, karenanya ketika KRIS berdiri, dua kota in menjadi basis KRIS yang terkuat. Di Surabaya, organisasi ini terkesan dikuasai orang-orang Menado saja dan memfokuskan diri sebagai unit militer. Di Jakarta, KRIS tidak hanya kegiatan militer saja dan tidak hanya terdiri dari orang Menado saja, tap banyak suku di Sulawesi. Di KRIS Jakarta, organisasi API Sulaawesi pimpinan Jan Rapar. Dimana KRIS kemudian membangun diri sebagai unit militer bersenjata yang berdisiplin baik seperti tentara resmi.[3]
Gejolak Revolusi
Sebagai bagian dari kelompok Senen, Rapar juga pendukung Republik di kala Republik baru lahir. Para pemuda Manado-Minahasa di Jakarta, baik yang biasanya bergiat sebagai Preman Senen maupun pemuda penghuni Asrama Kaigun Gunung Sahari, berada dibawah komando Rapar mengamankan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan cara mereka. Mengamankan area sekitar Pegangsaan, dengan berjaga. Menjaga kemungkinan gangguan Angkatan Darat yang bisa datang kapan saja. Angkatan darat dengan angkatan Laut Jepang punya kedekatan dan pemikiran berbeda tentang orang-orang Indonesia yang ingin merdeka.
Ketika Indonesia Merdeka, sebagian orang Menado-Minahasa resah. Mereka, karena selama Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, banyak orang Menado-Minahasa begitu dekat dengan pemerintah colonial. Banyak diantara mereka yang menjadi pegawai pemerintah Kolonial. Juga menjadi serdadu pemerintah Kolonial KNIL. Kedekatan itu berdampak buruk bagi orang-orang Menado-Minahasa di sekitar Jakarta. Mereka menjadi sasaran buta orang-orang Indonesia anti Belanda yang terjebak dalam euphoria kemerdekaan Indonesia. “Masa bersiap” juga menjadikan mereka terteror. Mereka bukan orang pro Belanda.
Karenanya, orang-orang Menado-Minahasa mendirikan organisasi yang berusaha melindungi orang Menado-Minahasa dari serangan buta orang Indonesia yang dendam pada Belanda. Image orang Menado-Minahasa sebagai Andjing NICA dalam pikiran orang awam yang dendam pada Belanda harus diubah. Dengan susah payah Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi pun terbentuk. Tidak hanya kelompok Menado-Minahasa asal Sulawesi utara saja. Orang Sulawesi Selatan juga bergabung. Salah satu yang kesohor adalah kahar Muzakar. KRIS terbentuk pada 9 Oktober 1945.[4]
Rapar dan kawan-kawan Menado-Minahasa-nya, yang biasa bentrok dengan orang-orang pro Belanda di sekitar Senen, juga dihubungi oleh Willy Pesik, seorang yang kemudian menjadi petinggi KRIS. KRIS sebenarnya sebuah organisasi sosial saja. Dalam perkembangannya, KRIS memiliki seksi pertahanannya sendiri. Seksi pertahanan ini lalu berkembang menjadi sayap militer yang kekuatannya satu Brigade. Rapar adalah salah satu pimpinannya. Bahkan yang paling berpengaruh selama revolusi.
Rapar adalah tipikal gerilyawan nekad. Bersama Lombogia dan Hermanus mereka sering menyerang markas batalyon X yang terkenal ganas di Senen. Bersama preman senen pimpinan Imam Syafei, preman Minahasa kerap melakukan penghadangan untuk memperoleh senjata.
Sebagai pemimpin militer KRIS, Rapar sering terlibat dalam pertempuran melawan pasukan NICA (Nederland Indies Civil Administration atau Pemerintah sipil Hindia Belanda)—yang membonceng pada sekutu. Karenanya Rapar menjadi orang yang begitu dihormati oleh orang-orangg KRIS. Rapar paling sering terlibat bentrokan dengan personil KNIL dari Batalyon X di Senen dan sekitarnya. Batalyon itu juga terkenal ganas di sekitar Jakarta. Namun sebagian orang dari Batalyon itu, mereka yang berasal dari suku Menado-Minahasa, diam-diam bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Kadang-kadang mereka memberi bantuan diam-diam pada Republik.[5]
Dalam perkembangannya, Rapar memimpin KRIS bersama Evert Lengkai. Orang yang pernah terlibat dalam Peristiwa 10 November 1945 dan kenal baik dengan Bung Tomo—pimpinan rakyat dalam Peristiwa 10 November itu. Dimana Rapar menjadi Wakil Lengkai selaku Komandan Brigade. Namun pengaruh rapar jauh lebih besar di pasaukan ketimbang Lengkai. Belakangan, Evert Lengkai mundur dan menyerahkan komando pasukan pada Rapar pada 1947.[6]
Selama kepemimpinannya, Rapar tergolong orang selalu peduli pada bawahannya. Namun bersikap tegas dan menghukum siapa saja bawahannya yang bersalah. Rapar juga selalu menempatkan orang pintar pada posisi yang tepat dalam komandonya.
Pasukan KRIS juga menjadi bagian dari pasukan militer Indonesia, yang kala itu bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang melawan tentara Belanda. Meski masuk dalam ketentaraan, struktur tidak banyak berubah. Dalam artian kepemimpinan masih dipegang oleh orang-orang Sulawesi yang sejak awal bergabung dengan KRIS. KRIS justru semakin besar. Bukan hanya orang Sulawesi tapi dari suku lain. Nama KRIS juga mash dipakai sebagai nama brigade. Ketika pemerintahan republik menyingkir ke Jogjakarta, pasukan Rapar juga ikut ke Jogja dan bertemu dengan pasukan KRIS lain. [7]
KRIS menjadi laskar tangguh karena banyak orang tua mantan serdadu KNIL sebelum jepang mendarat, juga masuk KRIS. Dimana orang tua itu akan berbagi ilmu dan pengalaman militernya.[8]
Tersingkir
Belakangan, Rapar tersingkir dalam ketentaraan. Dia kehilangan posisi penting yang biasa dia pegang dalam pasukan KRIS. Dimana kemudian dia keluar dari ketentaraan. Bersama beberapa pengikut setianya, Rapar kembali ke Jakarta yang berstatus sebaga daerah pendudukan Tentara Belanda. Rapar tetap menjadi orang berpengaruh di kalangan bekas pejuang yang pernah bertempur di sekitar Cikampek. Disini Rapar memiliki ratusan pengikut yang siap bertempur bersamanya.[9]
Rapar kemudian terlibat dalam gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) Westerling. Rapar nampak begitu kecewa pada tentara republik dalam gerakan Weserling itu, rapar bahakan tergolong begitu bersemangat. Tidak begitu jelas apa lasan Rapar ikut Westerling? Beberapa kawan seperjuangan Rapar semasa revolusi yakin jika Rapar hanya membayangi Westerling alias memata-matai Westerling. Seperti juga alasan frans Nayoan, seorang mantan polisi.
Rapar tewas dalam sebuah serbuan ke sebuah asrama polisi ketika akan merebut senjata dari para polisi itu. Rapar tertembak. Ketika itu pasukan APRA gagal memperoleh senjata untuk gerakannya pada 23 Januari 1950. Rapar lalu mengusulkan untuk merebut senjata dari asrama polisi, Westerling setuju. Rencana gagal dan Rapar bernasih naas dan tewas.[10]
Begitulah akhir nasib dari Jan Rapar. Bekas KNIL sangar yang ditakuti. Rapar yang selalu berlinang air mata ketika mengingat kampung halamannya di Sulawesi Selatan sana yang selalu dia rindukan. Perang Dunia II dan revolusi Indonesia menghalanginya pulang. Begitulah pengakuan Vintje Sumual, kawan seperjuangan Rapar dimasa revolusi.
[1]Lihat Laporan Djawatan Kepolisian Negara Bagian PAM kepada Presiden RI di Yogyakarta, tanggal 21 Februari 1950.No. Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50. (Koleksi Arsip Nasional)
[2] [2] Bert Supit & BE Matindas, Ventje Sumual: Menatap Hanya Ke Depan (Biografi Seorang Patriot, Gembong Pemberontak), Jakarta, Bina Insani, 1998, hlm. 40-100.
[3] Ben Anderson, Java in the Time of Revolution, Occupation and Resistence, 1944-1946, ab. Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 , Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 290-291.
[4] Jozef Warouw, KRIS 45 Berjuang Membela Negara: Sebuah Refleksi Perjuangan Revolusi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999, hlm. 37-46.
[5] Ibid., hlm. 51 & 86.
[6] Ibid., hlm. 95-100.
[7] Ibid., hlm. 160-163, 183, 283.
[8] Ibid., hlm. 68, 143 & 154.
[9] Persatuan Djaksa-djaksa Seluaruh Indonesia, Peristiwa Sultan Hamid II,Jakarta, Fasco Jakarta, 1955, hlm. 60-80: Lihat Laporan Djawatan Kepolisian Negara Bagian PAM kepada Presiden RI di Yogyakarta, tanggal 21 Februari 1950.No. Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50. (Koleksi Arsip Nasional)
[10] Dominique Venner, Westerling de Eenling, Amsterdam, Uitgeverij Spoor, 1983, hlm. 348-350.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar