Jumat, Januari 07, 2011

Djokja, 19 Desember 1948


“Good Luck,” ucap Spoor si legercommant KNIL yang membawahi tentara Belanda dan tentara Hindia belanda di Indonesia. Spoor menucapkannya pasukan payungnya. Ujung tombak serangan ke jantung Republik musuhnya itu. Dua puluh menit kemudian, pasukan-pasukan itu duduk dalam pesawat untuk berangkat ke Yogyakarta.



Spoor tampaknya optimis akan serangannya kali ini. Setelah tertunda operasi impiannya itu terlaksana juga. Tidak tanggung-tanggung, Spoor mengerahkan pasukan baret merah (penerjun) dan baret hijau (komando) yang pernah dipimpin Westerling. Kedua pasukan itu cukup terlatih.



Pasukan payung terjun dari udara. Mereka berangkat dari Andir. Sementara itu pasukan baret hijau berangkat dari Semarang. Naik pesawat juga namun mereka mendarat bersama pesawat. Berbeda dengan pasukan payung sebagai pasukan pendahulu yang membersihkan area pendaratan.



Sementara itu pasukan pendukung lain, seperti pasukan brigade T pimpinan Kolonel van Langen akan memasuki Jogja setelah pasukan merah dan hijau memasuki kota Jogja. . Operasi bersandi "Gagak," alias Kraai Operatie itu pun sukses.



Jantung Republik



Mengapa Jogja? Kota ini begitu penting karena disinilah pusat pemerintahan Republik yang telah menyingkir dari Jakarta yang kacau oleh kebrutalan tentara Belanda. Salah satu sumber kerusuhan itu adalah Batalyon X KNIL, yang markasnya kini menjadi Hotel Borobudur. Batalyon ini cukup sering adu fisik dengan orang-oran pro Republikdi Senen.



Mengapa Jogja? Kota ini relatif tenang. Selama Gunung Merapi tidak sedang erupsi tentunya. Selain itu, Bangunan fisik untuk perkantoran di Jogja bisa diandalkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Malioboro terdapat gedung yang bisa dijadikan perpustakaan umum. Dan ada bekas benteng Vredeberg dan istana bekas gubernur Jawa Bagian Selatan yang kini disebut Istana gedung Agung itu. Sultan Jogja, Hamengkubuwono IX, yang berkuasa atas Jogja juga dengan rela menerima Jogja sebagai Ibukota.



Menjadikan Joja sebagai ibukota tentu hal yang tepat bagi kaum Republik. Hingga sebagai ujud terimakasih pada Jogja, selama puluhan tahun Jogja menjadi daerah istimewa. Dimana Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam yang memerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Rakyat Jogja pada umumnya menerima dua bangsawan itu sebagai pemimpin. Dan ketenangan pun tercipta.



Jakarta, selaku pusat Republik selama puluhan tahun menerima kondisi Yogyakarta. Meski terkesan feodal, Keistimewaan Jogja itu seolah menjadi identitas daerah Jogja pada umumnya. Dimana sisa kejayaan Mataram masih tersisa. Di kota yang katanya feodal inilah, banyak orang dari luar Jogja yang sedah sekolah atau kuliah belajar apa itu demokrasi. Termasuk saya sendiri.







“Good Luck”



Republik Indonesia memang beruntung punya Jogja. Yang membantu Republik berdiri tegak dari kehebatan militer Belanda. Beruntung sekali bisa ke Jogja. Apalagi menguasainya. Hingga untuk merebutnya, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor pun harus berucap “Good Luck” (semoga beruntung) pada pasukannya yang akan terjun ke Jogja. Spoor nampak berdoa dalam ucapannya itu.



Singkat kata, penerjunan pasukan pun sukses. Tidak sampai sehari kota Jogja dikuasai pasukan Spoor. Tentara Belanda memang beruntung. Dengan susah payah Joja sebagai jantung republik Indonesia akhir mereka kuasai.



Dari foto-foto yang saya lihat, tentara Belanda, baik KNIL maupun KL, tampak gembira memasuki Jogja—walau mereka juga takut kena peluru nyasar tentara republik yang kapan saja akan menyerbu mereka di Jogja.

“Good Luck,”



“Good Luck,” tentara Belanda, atau bandit-bandit VOC kata Romo Mangun dalam novel Burung Burung Manyar-nya, sangat beruntung. Doa Spoor terkabul lewat kerja keras pasukannya yang hebat itu. Jogja mereka kuasai. Namun mereka tidak berani macam-macam pada Sultan Jogja. Sungguh musuh yang beradab.



Beruntunglah tentara Belanda itu. Namun Republik lebih beruntung lagi karena Jogja kemudian kembali ke tangan Republik pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Atas dedikasinya Jogja lalu menjadi daerah istimewa selama pemerintahan beberapa Presiden. Bahkan Presiden suharto yang paling dikator pun tidak berani mengusiknya.



Dan sungguh tidak tahu diuntung, orang yang mencabut keistimewaan Jogja! Apalagi dengan menjual nama demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi bukan sekedar memilih dan dipilih, atau juga ditetapkan. Demokrasi itu juga menghargai! Yang pasti juga, demokrasi tidak menjual nama demokrasi juga.



Beginilah Jogja! Tidak megistimewakannya mungkin sebuah pengkhianatan dalam perjuangan republik ini. Meski terkesan feodal, banyak orang belajar demokrasi disini.

Tidak ada komentar: