Senin, Februari 15, 2010

Thomas Nayoan Tak Pernah Lelah Untuk Kabur


Kabur adalah tindakan pengecut, kata banyak orang. Tapi Nayoan kabur sebagai seorang pemberani. Ini adalah perlawana gigihnya terhadap politik kolonial.

Digul, banyak yang bilang Boven Digul (pedalaman Digul). Tempat ini begitu terkutuk. Ganas malarianya. Tidak ada yang bisa lolos darinya. Nyamuk disini tidak kenal kelas. Siapa saja dia gigit. Tempat ini makin terkutuk lagi dengan manusianya. Dulu, mereka manusia penuh semangat melawan Gobernemen. Mereka tampak mulia kala itu. Sekarang, mereka saling mangsa antar sesama, yang dulu sama-sama lawan Gubernemen. Waktu dan kamp terkutuk ini menggilas semangat mereka.
Pemerintah Gubernemen menyebut mereka kaum merah. Kaum yang dihabisi setelah mengamuk di tahun 1926-1927. Dengan mesin perangnya, Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL), pemerintah Gubernemen berhasil menyikat pemberontakan itu.
Banyak yang bilang, orang Menado adalah antek Belanda. Nyatanya tidak juga. Di Digul pun ada orang Menado juga. Tidak kalah merahnya dengan orang Jawa. Thomas Nayoan namanya. Tidak banyak cerita tentangnya. Apalagi dibuku sejarah. Nayoan seperti tidak dianggap penting. Dia memang bukan ketua partai oposisi terhadap pemerintah Gubernemen. Dia bagian dari pemberontakan PKI 1926. Tidak ada cerita detail tentang dirinya, juga bagaimana ceritanya hingga dia bisa menjadi seorang komunis.
Nayoan, yang dari Menado itu berada di Surabaya menjelang pemberontakan PKI 1926. Tidak ada catatan bagaimana posisi dia di partai. Rasanya dia seperti tokoh penting dan terpelajar. Hari itu, 7 Oktober 1926, Thomas Nayoan, ditangkap di Surabaya oleh oppas kolonial. Kemudian Najoan dikirim lagi ke Manado dan harus menjalani hukuman 3 bulan penjara lamanya. (Pandji Poestaka, 12 Oktober 1926)
Hukumannya tidak berhenti disitu. Akhirnya dia harus dikirim juga ke Digul. Sebuah pembuangan bagi kaum merah di Papua Barat. Banyak yang bilang jauh dari peradaban. Orang-orang merah itu, akan dibuat gila ditempat itu. Berharap orang merah itu kapok untuk melawan. Dan benar, orang-orang di pembuangan itu makin menggila. Entah karena malaria atau perpecahan antar mereka. Luar dalam, Digul pun semakin mengerikan saja.
Mereka yang menyerah dan tidak kuat pada tekanan alam Digul maupun politik kolonial tentu jadi gila. Yang menyerah pada Gubernemen, tentu bisa sedikit labih nyaman disana. Tapi alam Digul tetap tak kenal ampun.
Tekanan dan perpecahan diantara orang-orang merah terus mendera penghuni Digul. Ditengah kegilaan ini, tinggal Nayoan yang punya kegilaan sendiri. Dia selalu punya rencana kabur dari kamp Digul terkutuk itu. Dia mencoba kabur tiga kali, dan tiga kali pula gagal. Itulah yang ditulis oleh Sejarawan John Ingleson dalam bukunya "Jalan Ke Pengasingan".
Dalam pelarian keduanya, Nayoan sukses mencapai Australia dengan berperahu. Meski sukses melewati sungai-sungai Digul, yang katanya buaya sering berkeliaran, namun malangnya Nayoan tidak bisa menerabas hukum Australia—yang punya perjanjian Ekstradisi dengan Hindia Belanda. Tidak lama menikmati bebas dari politik kolonial, Nayoan dikapalkan lagi ke Digul.
Kembali ke Digul tentu bukan hal menyenangkan. Artinya harus kembali lagi menikmati tekanan politik kolonial seperti penghuni kamp lainnya. Mungkin saja ada ejekan bernada pujian dari sesama penghuni karena sukses kabur mencapai Australia walau kemudian tertangkap lagi.
Sebagai tukang kabur yang sering gagal namun hebat, Nayoan tentu tidak terlibat perbedaan paham antar penghuni kamp. Dia terhindar kegilaan tanpa arti penghuni kamp. Kabur lebih punya arti bagi Nayoan. Kabur lebih baik daripada berselisih seperti kawan-kawan merahnya di Digul. Kabur sering diidentikan sebagai tindakan pengecut dan bodoh oleh banyak orang. Nayoan rasanya tahu bahwa aparat kolonial akan terus mengejarnya. Namun, kebebasan adalah hal penting bagi Nayoan. Karenanya dia menjadi tukang kabur legendaries di kamp Digul. Ada impian menuju bebas ketika dia bergabung dengan PKI dan terlibat dalam pemberontakan. Impian menuju bebas itu terus walau dia semakin ditekan.
Dalam pelarian terakhirnya Nayoan mengambil jalan berbeda. Dalam palarian sebelumnya, yang kearah selatan, maka pelarian terakhir Nayoan ini menuju arah utara. Nayoan belajar bagaimana negeri di selatan bernama Australia tidak akan menerimanya, karena ada perjanjian ekstradisi. Karenanya Nayoan kabur ke arah utara. Dimana alam Papua yang ganas harus dinikmatinya.
Aparat kolonial, yang pasti memburunya, lalu tidak menemukan jejak Nayoan sama sekali. Setelah itu tidak ada lagi kabar tentang Thomas Nayoan. Berbagai spekulasi muncul. Ada yang bilang dia jadi korban kanibal suku asli yang masih liar pedalaman Papua. Hal ini tentu saja menakuiti penghuni kamp jika mereka berani kabur seperti Nayoan. Tapi kali ini Nayoan tidak tertangkap aparat kolonial lagi. Bagaimanapun nasibnya, Nayoan benar-benar bebas lagi dari tekanan Gubernemen. Perlawanan Nayoan terhadap politik kolonial pun sukses bagi dirinya.




Tidak ada komentar: