Nama Jalan Jenderal Sudirman dimana-mana. Jadi tak apa jika Jalan Jenderal Sudirman di kota ini diganti menjadi Jalan Andi Djemma.
Saya orang baru di kota ini. Kota yang sebelumnya hanya saya tahu dari buku, juga beberapa kawan yang memang berasal dari kota ini. Kota ini tidak semrawut, selama saya lihat. Berjalan kaki ala backpacker cukup menyenangkan di pagi hari. Banyak toko berdiri di sepanjang jalan yang saya lewati. Masjid Jamitua dan bekas istana Datau Luwu--yang bangunannya ala Eropa itu.
Perut lapar pagi ini, membuat saya singgah di sebuah warung kecil di tepi Jalan Andi Djemma. Demi sepiring nasi kuning lauk telur, untuk mengganjal si perut. Untuk ini saya hanya keluar uang Rp 5.000 saja. Sepertinya biaya hidup di kota ini tidaklah besar. Penjual nasi kuning mengatakan kalau dulu nama jalan ini adalah Jalan Jenderal Sudirman.
Pikiran saya lalu melayang pada kota-kota lain yang pernah saya kunjungi. Jakarta, Palembang, Makassar, Yogyakarta dan kota lainnya—termasuk kota asal saya Balikpapan, dimana bisa ditemukan Jalan Jenderal Sudirman. Di Balikpapan, Jalan Jenderal Sudirman cukup panjang dan besar. Tapi tidak di Yogyakarta. Orang-orang yang saya kenal disana tak familier dengan nama jalan itu, meski itu adalah jalan ramai.
Saya agak terkejut dan tertarik dengan fenomena pergantian nama itu. Sudah lazim kita temukan banyak jalan dengan mengambil nama jenderal-jenderal di Indonesia. Orang-orang asing akan berpikir bahwa Indonesia adalah Negara militeristik. Bagi yang belajar sejarah akan berpikir, ini warisan orde baru.
Kota ini punya pilihannya sendiri. Mengganti nama Jenderal Sudirman menjadi Andi Djemma menjadi hal penting. Jangan dikira mereka tak hargai Jenderal Sudirman yang pimpin gerilya dengan ‘satu paru-paru’ untuk melawan tentara Belanda yang ingin mengusai kembali Indonesia. Juga bukan berarti kota ini tidak hargai Tentara Nasional Indonesia.
Merubahnya menjadi Andi Djemma adalah keharusan rasanya. Saya pun barusaja tahu, ternyata Andi Djemma adalah Datu Luwu yang dihormati. Andi Djemma bukan sekedar Bangsawan, Andi Djemma punya jasa besar pada Luwu dan juga Indonesia. Andi Djemma punya sikap yang hampir sama dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta, mendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Sayang, Luwu tak bernasib seperti Yogyakarta yang menjadi Daerah Istimewa.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Andi Djemma membangun dan memimpin Gerakan Sukarno Muda. Gerakan ini sangat pro RI dan sekuat tenaga mereka menentang masuknya tentara Belanda. Perang Semesta rakyat Luwu, 23 Januari 1945, juga dipimpin olehnya. Walau akhirnya beliau harus tertangkap dan dibuang.
Tak perlu lagi membandingkan jasa-jasa antara Andi Djemma dan Jenderal Sudirman—yang berdarah Banyumas, Jawa Tengah itu.
Seperti Sudirman, Andi Djemma pun layak jadi Pahlawan dan dihargai sebagai nama jalan juga. Nama jalan adalah memori rakyat kota ini bahwa dulunya pernah ada Raja pemberani dan punya jiwa merdeka bernama Andi Djemma. Seharusnya, semua orang berjasa dari pusat maupun daerah tetap harus dihargai. Bukan melulu yang nasional tapi juga yang lokal. Bukan tidak nasionalis, tapi ini perkara identitas dan memori daerah ini. Jadi nasionalis boleh tapi jangan jadi amnesia akan akar lokalnya.
Tak apa tidak bernama Jalan Jenderal Sudirman, karena nama Jalan Jenderal Sudirman ada dimana-mana, tapi menamakannya Andi Djemma sangatlah perlu bagi kota. Bersama Jalan Andi Djemma kota ini tidak menjadi amnesia akan akar historisnya. Agar semua orang tahu kalau pernah ada Pahlawan bernama Andi Djemma—dan tak lupa menjadi pemberani dan penuh semangat perubahan sepertinya.
Sebagai orang asing di kota ini, saya acungi jempol untuk Jalan Andi Djemma. Nama jalan ini membuat nasi kuning yang saya makan begitu lezat. Begitulah pandangan saya sebagai orang asing di kota ini. Salut untuk kota Palopo!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar