Nitisemito hanya menjadi legenda saja dalam sejarah kretek di Kudus. Nitisemito tampil sebagai pengusaha kretek sukses diawal industrialisasi kretek. Setalah Bal Tiga menghilang, Nitisemito tenggelam. Penikmat kretek masa kini lebih kenal Dji Sam Soe dari pada Bal Tiga yang pernah Jaya itu.
Siapa yang tidak kenal rokok kretek, hampir semua perokok pasti tahu bahkan pernah menikmatinya. Para pendaki gunung sering membawanya, lalu menikmatinya dipuncak gunung. Rokok identik dengan penyakit pernafasan. Anehnya kretek justru diracik pertama kali oleh Djamhari yang sering sesak nafas. Setelah menikmati rokok ciptaannya itu, sesak nafas nafas Djamhari kian berkurang. [i]
Djamhari memang dicap sebagai penemu rokok kretek dalam sejarah rokok di Kudus, yang merupakan kota asal kretek. Dalam sejarah kretek, Djamhari bukanlah nama besar. Ada Nitisemito, juragan—kalau boleh dibilang dialah konglomerat kretek—diawal sejarah komersialisasi di Kudus bahkan di nusantara. Sebenarnya ada banyak legenda dalam sejarah rokok kretek, termasuk cerita penjual kretek bernama Roro Mendut, sosok wanita cantik yang memikat pelangganya bukan karena rasa kreteknya, melainkan ludah Roro Mendut untuk merekatkan gulungan kreteknya. [ii]
Pengusaha Kretek Bal Tiga
Di sebuah desa bernama Janggalan—kecamatan kota Kudus—ditahun 1863, ibu Markanah melahirkan anak keduanya. [iii] Anak itu diberi nama Rusdi. Ayah Rusdi adalah Haji Sulaiman, seorang kepala desa (lurah) didesanya, Janggalan. [iv]
Rusdi tidak pernah bersekolah kendati anak lurah, karenanya dia buta huruf. Diusia 17 tahun Rusdi mengganti namanya menjadi Nitisemito, nama Jawa yang terus disandangnya sampai akhir hidupnya, juga disandang oleh keturunannya. [v]
Nitisemito tidak meneruskan jejak ayahnya menjadi kepala desa, dia lebih memilih menjadi seorang wirausaha. Diusianya yang ke 17, dia merantau ke Malang (Jawa Timur) bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Perlahan Nitisemito menjadi pengusaha konfeksi yang sedang berkembang walau hanya sementara. Usaha konfeksinya ini bangkrut karena dililit hutang. Lepas menjadi pengusaha konfeksi, Nitisemito-pun pulang kampung dan berdagang kerbau dan memproduksi minyak kelapa, usaha ini juga gagal. Akhirnya dia kembali kebawah lagi, kali ini menjadi kusir dokar. Walau begitu, jiwa dagang-nya masih mengalir dalam tubuhnya, disamping mencari nafkah dengan menjadi kusir, Nitisemito juga menjajakan tembakau. [vi]
Ketika menjadi kusir, Nitisemito sering mangkal di warung Mbok Nasilah (kini toko kain Fahrida, di jalan Sunan Kudus). Mbok Nasilah, dianggap juga sebagai penemu kretek, penemuannya bermula dari usahanya untuk menghentikan kebiasaan nginang para kusir yang sering mangkal di warungnya ditahun 1870an. Ampas nginang yang diludah oleh pengingangnya, mengotori warungnya. Rokok yang dijual diwarungnya untuk menghentikan kebiasaan nginang itu ternyata sangat diminati para kusir maupun pedagang keliling yang sering singgah di warungnya, termasuk juga Nitisemito. Rokok racikan Mbok Nasilah adalah campuran tembakau dengan cengkeh, rokok itu lalu dibungkus dengan daun jagung kering (klobot) setelah itu diikat dengan benang. [vii]
Singkat kata, Nitisemito-pun menikahi Mbok Nasilah ditahun 1894. [viii] Pernikahan Nitisemito dengan Mbok Nasilah ini adalah titik awal sejarah pemasaran rokok kretek. Hasil racikan Mbok Nasilah, menejemen produksi dan pemasaran yang bukan hal baru bagi Nitisemito yang sering kali jatuh bangun dalam dunia wirausaha. Pasangan yang saling mengisi dan berpengaruh dalam sejarah rokok kretek Kudus. Awalnya warung Mbok Nasilah menjadikan rokok kretek buatannya menjadi barang dagangan utama.
Perlahan tapi pasti usaha rokok itupun maju pesat. Awalnya, Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Jawa: Rokok cap Kodok makan ular), karena lebel itu menjadi bahan tertawaan dan tidak membawa hoki, Nitisemito lalu menggantinya dengan nama Tjap Bulatan Tiga. Karena kotak pembungkus rokok ini bergambar bulatan mirip bola, merek ini lebih dikenal pasar sebagai Bal Tiga. Merek Bal Tiga ini akhirnya menjadi merek resmi rokok produksi Nitisemito, akhirnya rokok ini diberi nama: Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito. Secara resmi Bal Tiga lahir pada tahun 1914 di desa Jati, Kudus. [ix]
Setelah usaha rokoknya berjalan sepuluh tahun, Nitisemito berhasil mendirikan pabrik diatas lahan 6 hektar di desa jati. Saat itu, di Kudus sudah beroperasi 12 pabrik rokok yang terbilang besar untuk ukuran masa itu, diantaranya milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe)H.M. Muslich (merek Delima), Haji Ali Asikin (merek Djangkar) dan Tjoa kang Hay (merek Trio), M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Disamping yang besar, terdapat 6 pabrik rokok kelas-kelas gurem di Kudus waktu itu. Ditahun 1938, Nitisemito telah membawahi 10.000 buruh rokok dengan produksi rokok 10.000.000 batang perhari. Usaha Nitisemito semakin besar dan uang yang masuk semakin deras, untuk lebih mudah mengontrol keuangan, Nitisemito memperkerjakan tenaga pembukuan asal Belanda, orang kulit putih. Ironis untuk zaman itu, seorang pribumi mampu memperkerjakan orang Belanda. Biasanya orang pribumi bekerja pada orang-orang Belanda. [x]
Perusahaan Nitisemito pernah menyewa pesawat Fokker seharga f 200,- untuk mempromosikan rokoknya di Bandung dan Jakarta. Rokok produksi Nitisemito memiliki pangsa pasar ke kota-kota di Jawa, Kalimantan, Sumatra bahkan ke Negeri Belanda. [xi] Usaha pemasaran Nitisemito juga dilakukan memalui radio. Memerikan hadiah: sepeda, piring, jam, dinding dan lainnya kepada para pemebeli dengan menukar bungkus rokok Bal Tiga dalam jumlah yang ditentukan. Cara sampai sekarang masih sering dilakukan banyak produsen dalam pemasaran produknya kepada masyarakat konsumen Indonesia. [xii]
Nitisemito berusaha agar usaha rokoknya abadi untuk anak cucunya. Kaderisari pewaris usaha diadakan dengan mengambil salah satu pegawai terpandai-nya untuk masuk dalam keluarganya. Nitisemito melihat bakat wiraswasta pada diri M. Karmani. Putri kedua Nitisemito lalu dinikahkan dengan Karmani. Nitisemito yang akan pensiun pelan-pelan dari usahanya itu mengangkat Karmani sebagai Menejer pabrik rokok Bal Tiga-nya. Begitu semangatnya, Nitisemito juga menyertakan nama Karmani dalam rokok Bal Tiga-nya. [xiii]
Perjalanan usaha pribumi macam Bal Tiga Nitisemito tidak tanpa badai. Persaingan antar pengusaha, khususnya pengusaha pribumi dengan pengusaha Tionghoa dalam industri rokok berujung pada sebuah konflik dan huru-hara 31 Oktober 1918, yang berbentuk pada tindakan pengerusakan dan pembakaran pabrik rokok kretek, beberapa pengusaha rokok lalu diseret ke pengadilan dan dipenjara. Kerusuhan itu mengakibatkan kemunduran beberapa industri rokok kretek termasuk Bal Tiga. [xiv]
Musibah terparah adalah tuduhan penggelapan pajak oleh pemerintah kolonial. Nitisemito dituduh menggelapan pajak yang merugikan pemerintah kolonial sebesar f 160.000,- melalui pembukuan dobel. Perkara ini menyeret Nitisemito ke pengadilan. Awalnya pengadilan memutuskan akan menyita kekayaan Nitisemito serta menutup pabrik rokoknya. Rupanya pengadilan kolonial itu kecut melihat banyaknya buruh yang menggantungkan hidupnya pada usaha rokok Nitisemito itu. Diputuskan Nitisemito harus melunasi hutang pajak f 160.000 itu dengan menyicilnya. Oleh pemerintah, Nitisemito yang sudah tua saat pengadilan itu, dipandang sebagai manusia yang sangat berjasa dalam industri rokok kretek, industri yang juga memberikan masukan (berupa pajak) pada pemerintah kolonial masa itu. [xv]
Ada fitnah yang menyeret Karmani dalam kasus penggelapan pajak. Tuduhan penggelapan pajak tidak pernah terbukti dan Karmani terbebas dari tuduhan itu. kendati bebas dan tidak bersalah, hal ini telah membuat Karmani jatuh sakit lalu meninggal. Nitisemito dilanda kemalangan dalam hal ini karena tidak hanya kehilangan pegawai terbaiknya, menantunya saja, tetapi jugapewaris tahta industri kreteknya: Karmani. Padahal saat itu Nitisemito sudah separuh mundur dalam pengelolaan usaha yang dirintisnya dari bawah. [xvi] Sang perintis, Nitisemito, akhirnya kembali turun dalam industri kreteknya, disaat dia harus pensiun. Ini bukan hal mudah kendati Nitisemito sangat berpengalaman, kondisinya yang semakin tua nyaris tidak mungkin menjalankan usaha kreteknya yang telah banyak tersaingi kretek lainnya.
Kesuksesan Bal Tiga juga tidak berlangsung lama. Disinyalir muncul konflik internal keluarga; siapa yang akan menggantikan Nitisemito yang semakin tua dalam menjalankan perusahaan rokok itu. Munculnya merek baru masam Minak Djinggo milik Kho Djie Siong, disinyalir semakin mempercepat tenggelamnya Bal Tiga ditahun 1930. Sebelumnya Kho Djie Siong pernah bekerja pada industri rokok Nitisemito. [xvii] Rupanya masa kejayaan Bal Tiga hanya menjadi prolog dalam sejarah industri kretek saja. [xviii] Impian Nitisemito untuk meneruskan kejayaan Bal Tiga-nya telah gagal. Bal Tiga malah berakhir sebelum hidup Nitisemito sendiri berakhir diawal dekade 1950an.
Jiwa usaha Nitisemito tidak pernah termakan usianya yang semakin tua, kendati sulit bersaing dengan kretek merek-merek baru yang menjamur, Nitisemito terus bangkit. Sebelum kematiannya usahanya menghidupkan Bal Tiga beberapa gagal, Nitisemito tidak takut jatuh bangun dimasa seharusnya dia pensiun demi mengembalikan kejayaan Bal Tiga. [xix]
Borjuasi Pribumi dimasa Pergerakan
Kehadiran Notosemito dengan Bal Tiga menunjukan bahwa seorang pribumi dengan usaha dari bawahnya akan mampu menjadi golongan kelas menengah terpandang dimasa itu. Kejayaan Nitisemito sangat bersamaan dalam masa-masa pergerakan nasional. Seorang pengusaha besar macam Nitisemito setidaknya menyelamatkan banyak pribumi dengan mempekerjakan mereka dalam usaha rokoknya. Dengan begitu buruh pribumi itu tidak bekerja dibawah orang-orang Belanda maupun nonpribumi (seperti Cina). Walau dengan upah hampir sama, hal ini menghindarkan mereka diperbudak oleh tuan-tuan muka pucat Eropa.
Industri kretek Bal Tiga, telah membuat Nitisemito yang begitu tersohor diawal abad XX. Dalam sebuah almanak berbahasa Jawa, Volksalmanak Djawi, Nitisemito dan kisah sukses usaha kreteknya telah dimuat pada tahun 1936. Almanak tahunan bertiras seratus ribu eksemplar itu, juga pernah memuat pengusaha pribumi lain yang sukses, seperti Djohan Djohar ditahun 1937. Kisah sukses pengusaha pribumi yang dimuat oleh alamanak itu, bukanlah bermaksud mengiklankan lagi produk pengusaha pribumi macam Nitisemito atau Djohan Djohar. Almanak itu hanya berusaha memberikan contoh pada masyarakat pribumi, bahwasanya seorang pribumi, dengan usaha yang keras seorang pribumi bisa sukses dan mengalahkan orang Cina atau Belanda. “Awit sampoen keboektèn sanadjan bangsa Priboemi, poenika manawi poeroen kémawon boten badé kowan kalijan bangsa senès.” (Maksudnya: asal ada kemauan, mantap tekadnya dalam semua hal, selalu waspada dalam melaksanakan niatnya, lagi pula bersedia mandi keringat, akhirnya akan mulia). Bila seseorang mampu mencapai tingkat itu maka orang itu layak untuk dihormati karena orang itu memiliki mental yang kuat dan luhur jiwanya. [xx]
Persaingan dalam dunia usaha adalah hal biasa, ada pengusaha yang bermain curang dengan menyabot usaha lawan bisnisnya. Hal ini begitu jelas digambarkan dalam novel Ca Bau Kan karya Remy Silado dan digarap Nia Dinata menjadi sebuah film dengan judul sama dengan novelnya; dunia dagang diawal abad XX dipenuhi intrik saling menghancurkan satu dengan lainnya.
Di lapangan banyak pengusaha pribumi dikalahkan oleh pengusaha Cina bahkan Belanda yang bermodal besar. Hal ini melahirkan sebuah organisasi dagang pribumi bernama Sarekat Dagang Islam pimpinan Haji Samanhudi, yang kemudian menjadi Sarekat Islam. Organisasi Islam bernuansa dagang itu juga kemudia berdiri juga di Kudus. [xxi] Keberadaan Sarekat Islam, dikemudian hari hanyalah menjadi kendaraan politik semata dengan nama Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Sarekat Islam—meski kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam—tidak mampu memajukan dunia wirausaha pribumi.
Pada masa dunia wirausaha di Hindia hanya diisi sedikit orang pribumi. Sampai sekarangpun, dunia wirausaha di Indonesia masih di kuasai non pribumi seperti Cina. Feodalisme yang mengakar begitu kuat di Indonesia tidak memberi hidup pada rakyat kecil untuk berwirausaha atau dagang. Feodalisme di nusantara telah menutup pintu kewirausahaan rakyat yang hanya diarahkan menjadi budak-budak di tanah pertanian para priyayi. Hanya kromo yang gigih dan cerdas saja yang dapat keluar dari lubang jarum feodalisme itu.
Nitisemito adalah salah satunya, kendati akan hidup mapan bila mengikuti jejak ayahnya, Nitisemito memilih dunia yang lain. Nitisemito tidak mau terjebak dalam dunia birokrasi feodal tingkat desa dengan menggantikan ayahnya sebagai kepala desa, dia memilih keluar dari dunia birokrasi itu dan memulai perjuangannya sebagai buruh jahit lalu bergelut dalam dunia usaha sebelum akhirnya sukses.
Kendati ada Nitisemito dari kretek Kudus, sayangnya apa yang diharap Volksalmanak Djawi tidaklah melahirkan generasi wirausahawan baru, rakyat pribumi rupanya lebih banyak memilih menjadi buruh daripada menjadi majikan. Jarang ada pribumi yang mau membuka usaha sendiri,mereka memilih menjadi buruh di pabrik atau di perkebunan, dimana mereka dengan sabar menerima hinaan dari majikan kulit mereka putih. Pribumi nusantara memang berbeda dengan pendatang Cina yang mau menabung lalu membuka usaha sendiri, hingga tidak perlu jadi buruh seumur hidup.
Sarekat Islam dan pendahulunya Sarekat Dagang Islam juga tidak mampu mengangkat dunia usaha pribumi, lantaran terlalu tenggelama dalam berpolitik melawan pemerintah Belanda disaat landasan perekonomian pribumi lemah. Kehadiran Nitisemito dalam dunia usaha pribumi juga kurang dimanfaatkan oleh kaum pergerakan.
Bagaimanpun Nitisemito adalah inspirasi bagi dunia usaha di Indonesia. Dimasa pengusaha Eropa bertahta diperkebunan-perkebunan—yang tersebar di nusantara—seorang pribumi buta huruf, di Kudus tampil sebagai industrialis rokok kretek. Industri ini juga menjadi tempat sepuluh ribu buruh bergantung untuk bertahan hidup.
Bila saja ada seribu Nitisemito yang peduli pada pribumi miskin pada masa itu, maka perekonomian pribumi bisa sekaligus melepaskan ketergantungan pribumi dari belenggu pengusaha kulit putih. Kemapanan ekonomi pribumi akan membantu dunia pergerakan nasional secara finansial maupun politis menghadapi tekanan politik pemerintah kolonial.
Nitisemito patut dicatat sebagai salah satu pengusaha sukses disamping Djohan Djohar. Sebagai pengusaha kretek pribumi, Nitisemito pengusaha adalah yang pertama jaya di Kudus bahkan di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda sekalipun, perlu berpikir panjang untuk menutup pabriknya. Pemerintah Belanda pula menganggap Nitisemito berjasa dalam perkembangan industri kretek, kendati tidak catatan yang menyebutkan Nitisemito pernah dapat bintang jasa dari pemerintah kolonial atas usahanya itu.
[i] http://id.wikipedia.org/wiki/kretek. lihat juga: http://djokosantoso.blogspot.com/2007/02/menjawab -pertanyaan-jeng-lia-saya.html. Diakses:10-April-2007.15.40
[ii] Ibid.
[iii] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/24/jateng/578076.html . Diakses:10-April-2007.15.42.
[iv] http://id.wikipedia.org/wiki/kretek. lihat juga: http://djokosantoso.blogspot.com/2007/02/menjawab -pertanyaan-jeng-lia-saya.html. Diakses:10-April-2007.15.40
[v] Ibid.
[vi] Ibid.
[vii] Ibid.
[viii] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/24/jateng/578076.html . Diakses:10-April-2007.15.42.
[ix] http://id.wikipedia.org/wiki/kretek. lihat juga: http://djokosantoso.blogspot.com/2007/02/menjawab -pertanyaan-jeng-lia-saya.html. Diakses:10-April-2007.15.40
[x] Ibid.
[xi] Ibid
[xii] J.B. Kristanto, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h.607.
[xiii] Ibid.
[xiv] Ibid.
[xv] Ibid., h.607-608.
[xvi] Ibid., h. 608.
[xvii] http://id.wikipedia.org/wiki/kretek. lihat juga: http://djokosantoso.blogspot.com/2007/02/menjawab -pertanyaan-jeng-lia-saya.html. Diakses:10-April-2007.15.40
[xviii] http://id.wikipedia.org/wiki/kretek. lihat juga: http://djokosantoso.blogspot.com/2007/02/menjawab -pertanyaan-jeng-lia-saya.html. Diakses:10-April-2007.15.40
[xix] Ibid.
[xx] P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002. h. 52-53.
[xxi] Lance Castles, Religion, Politics and Economic Behavior in Java: the Kudus Cigarette Industry, ab. J. Sirait, Tingkah laku Agama, Politik Dan Ekonomi Di Jawa: Industri Rokok Kudus, Jakarta, Sinar Harapan, 1982. h. 103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar