Kamis, Agustus 05, 2010

Isu Kudeta Dewan Jenderal

Tidak ada yang bernama Dewan Jenderal. Hanya saja, ada sekelompok jenderal yang agak bersebrangan dengan Sukarno menjelang Oktober 1965. Nyatanya kudeta Dewan Jenderal tidak pernah terjadi, namun hanya ada satu Jenderal pemenang.


Senjata Anti Komunis

Perang Ideologi juga melahirkan perang teknologi, termasuk teknologi persenjataaan. Ketika Uni Sovyet merilis AK-47 yang melegenda itu, maka Amerika Serikat kemudian menciptakan M-16. Kedua sejata itu adalah symbol perang dingin juga. [1]

RPKAD muncul dalam sebuah perayaan HUT ABRI penuh duka. Bukan parade militer yang diadakan tapi iringan jenazah 6 perwira tinggi AD dan seorang perwira pertama. Kala itu M-16 belum sepenuhnya digunakan AS. Anggota militer AS di Vietnam saja masih menggunakan senjata M-14 maupun M-1 Garand. Ketika itu senjata standar AD bukanlah M-16 atau semacamnya. AK-47 adalah yang paling banyak diandalkan oleh para prajurit TNI yang kala itu sudah disebut ABRI.

Bisa jadi senjata buatan Amerika itu pesanan resmi, namun memesan senjata baru yang belum jelas kemampuannya juga hal jangal. Apalagi senjata itu berasal dari Negara yang jelas menjadi musuh kepala Negara. Pesanan M-16 itu, tentu tidak akan terjadi tanpa ada hubungan antara jenderal AD dengan AD Amerika Serikat.

Hubungan Sukarno dengan AS kala itu cukup buruk. Sangat mustahil jika AS memberikan senjata andalan mereka ke Indonesia—yang mereka anggap komunis. Apalagi, seluruh dunia tahu jika Sukarno selaku Presiden RI cenderung bersikap pro pada Negara Sosialis yang baru merdeka dan tidak menyukai imperialisme gaya barunya Inggris dan Amerika Serikat. Petinggi AD tampak berhubungan dengan AS menjelang PRRI/Permesta meletus. AS awalnya hanya mau membantu BRIMOB saja. Dimana pasukan para militer kepolisian ini pernah mendapat latihan ranger dari AD AS. Latihan ranger biasanya hanya diberikan kepada AD, bukan paramiliter polisi.



Tenatara Amerika menggemgam senapan M-16. (http://www.fxha.com/Gallery01.htm)


AD RI baru dilirik AS ketika PRRI/Permesta dianggap tidak mampu melawan pemerintahan komunis Sukarno. Kebetulan Nasution, panglima AD yang cukup berpengaruh cukup bersebrangan dengan Sukarno. AD kemudian tampil sebagai kelompok anti komunis, hingga sering bersebrangan dengan politik Sukarno.

Angkatan Darat ditahun 1960an, dipimpin oleh orang-orang yang di zaman revolusi sudah menjadi perwira militer—dengan pangkat antara Kapten hingga Letnan Kolonel. Mereka biasanya perwira kelahiran 1917-1925. Beberapa diantara perwira tinggi AD itu diantaranya berasal dari KODAM Diponegoro, Jawa Tengah, setidaknya pernah berhubungan dengan Jawa Tengah semasa revolusi.

Ahmad Yani berhasil menjadi orang nomor satu di AD menggantikan Nasution sejak tahun 1962. Seperti Nasution, Yani juga kemudian bersebrangan dengan Sukarno soal politik yang dijalankan Sukarno. Perbedaan paham antara Presiden dengan petinggi Angkatan Darat itu tentu menjadi peluang bagi CIA AS yang begitu ingin menggulingkan Presiden Sukarno. CIA-AS percaya bahwa AD adalah sekutu terbaik untuk menggulingkan Sukarno. Petinggi AD yang terkesan tidak loyal terhadap Sukarno.

CIA mulai merangkul AD setelah Pemberontakan PRRI/Permesta. Dimana CIA-AS merasa memiliki sekutu baru untuk menggulingkan Sukarno yang cenderung ke kiri. Sebelumnya, AS lebih percaya pada polisi sebagai elemen anti komunis potensial di tubuh militer Indonesia. Peristiwa Madiun yang melibatkan sebagian AD di Jawa Tengah, membuat AS yakin bahwa AD adalah sarang komunis yang sulit dipercaya. Apalagi Panglima Sudirman merangkul Tan Malaka yang kiri dalam Persatuan Perjuangan di zaman revolusi.

Tidak heran jika pasukan Brimob dari kepolisian pernah mendapat latihan ranger. Latihan yang seharusnya diberikan kepada pasukan Angkatan Darat. Tujuan tidak lain agar Polisi bisa bertempur melawan komunis. Perkembangan Brigade Mobil itu tentunya diperhatikan oleh Amerika Serikat—yang sedang giat-giatnya melakukan propaganda anti komunis. Tentu ada maksud dalam memperkuat Brimob. Tentu demi menghancurkan kaum komunis. Kala itu AD—yang kemudian dekat dengan AS—belum dilirik AS—sebaga kekuatan anti komunis.[2] AD yang terlibat dalam peristiwa Madiun dan sudah terkena anasir PKI. AS begitu menjaga jarak dengan AD sebelum kasus PRRI/Permesta.

Banyak yang sepakat bahwa keterlibatan AS melatih polisi karena Terbongkarnya konspirasi CIA untuk menggulingkan pemerintah Indonesia membuat panik pemerintah Amerika Serikat. Amerika Serikat dan CIA kemudian membuat manuver untuk ”mengambil hati” Bung Karno. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah AS adalah memberikan bantuan militer bagi Indonesia dengan mendidik para perwira militer Indonesia di AS.

Brigade Mobil juga kemudian mendapatkan ”berkah” dari aksi permintaan maaf oleh pemerintah Amerika Serikat ini. Pada bulan Januari 1959, pemerintah AS memberikan bantuan pelatihan militer dan senjata kepada Brigade Mobil dari Kepolisian Republik Indonesia. Ada 8 perwira polisi yang dididik di Okinawa (pangkalan marinir AS) sebagai kontingen pertama. Selanjutnya pada bulan September 1959 kompi pertama Brimob Ranger telah dibentuk. Pada pertengahan 1960 kontingen kedua perwira polisi Indonesia kembali dididik menjadi Ranger.

Selain mendapatkan pelatihan, pada pertengahan 1960, Ranger Brigade Mobil (saat itu namanya berubah menjadi Pelopor) mendapatkan bantuan senjata senapan serbu AR 15 yang merupakan versi awal atau versi non-militer dari M 16 A1. Pasukan Menpor adalah salah satu pengguna pertama senjata ini, bahkan pada saat itu pasukan reguler batalyon Infanteri AS yang ditugaskan di Vietnam sebagai observer (pengamat) militer AS saja masih menggunakan senjata M 1 Garrand sebagai perlengakapan tempur di Vietnam.[3]

Setidaknya, ditahun 1965, tepatnya pada 5 Oktober 1965, ada anggota RPKAD yang menyandang senapan M-16, yang menjadi senapan standar militer Amerika Serikat.[4] Tidak diketahui bagaimana senjata tersebut bisa masuk ke Indonesia. Hanya bisa dipastikan senjata itu berasal dari Amerika Serikat.

Senjata-senjata itu bahkan digunakan RPKAD untuk membersihkan orang-orang Komunis. Senjata asal Amerika Serikat itu macet ketika digunakan. Sebenarnya senjata ini baru tahap uji coba. RPKAD sendiri lebih suka memakai AK 47 yang jelas terbukti garang dalam pertempuran meski akurasinya kalah dengan M 16.[5]

Keamanan Sukarno yang terancam, membuat petinggi militer membentuk sebuah pasukan yang lebih kuat lagi untuk menjaga keselamatan Pemimpin Besar revolusi.

Ketika Cakrabirawa berdiri, pada Juni 1962, setiap Angkatan memberikan pasukan khususnya. Hanya AD yang tampaknya enggan memberikan pasukan khususnya. Cakrabirawa yang begitu loyal pada Sukarno kemudian tampak seperti SS-Nazi yang loyal pada Hitler. Tidak hanya loyal tapi juga tangguh.

Petinggi AD kemungkinan tidak ingin sebagian pasukan RPKAD masuk Cakrabirawa. Dalam kondisi AD bersebrangan dengan Sukarno, sangat tidak mungkin AD memberikan pasukan terbaiknya untuk Sukarno.

Alasan Nasution dan petinggi AD lain yang menyatakan RPKAD hanya memfokuskan diri menjadi pasukan khusus, adalah alasan masuk akal dan bisa diterima banyak pihak termasuk Sukarno sendiri. RPKAD pun bebas dari jeratan masuk kandang Sukarno. Sementara RPKAD terus menempa diri menjadi pasukan khusus, semua anggota RPKAD masih bisa dikendalikan pimpinan AD tentunya.

AD merasa RPKAD adalah elemen potensial meski jumlahnya kecil. Sementara itu Kostrad kurang begitu diperhitungkan karena kebanyakan pasukannya tersebar. Sementara RPKAD berada disekitar Jakarta dan bisa digerakan sewaktu-waktu. Bagaimanapun RPKAD adalah kekuatan penting AD, karena merupakan pasukan terlatih dan siap tempur. Meski begitu, Kostrad sendiri dimasa Sukarno sebenarnya bisa menjadi pasukan pemukul yang baik karena memiliki pasukan lintas udara (airborne), yang tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kostrad adalah pasukan cadangan yang memiliki daya pukul. Pasukan ini ada setelah Trikora selesai.


RPKAD berfose denganorang sipil ditahun 1966. (http://psik.multiply.com/photos/photo/11/5)


Keberadaan AD, dengan pasukan Kostrad dan RPKAD tentu menakutkan banyak pihak. Artinya jenderal-jenderal yang tidak loyal terhadap Sukarno itu tentunya memiliki kekuatan, yang layak ditakuti lawannya. Bukan tidak mungkin Sukarno juga khawatir. Jenderal-jenderal AD yang tidak loyal tentu cukup punya taring untuk adu kekuatan dengan musuh-musuhnya yaitu, kaum komunis. Di belakang jenderal-jenderal AD itu, ada Amerika Serikat. Dimana seorang atase militer-nya, Kolonel George Benson, yang tidak lain adalah kawan baik Yani selama sekolah staf dan komando di Fort Benning, Amerika Serikat.

RPKAD adalah unit kecil dan penting ditahun 1965. Beberapa petinggi militer Indonesia yang menjadi perwira pertama RPKAD kala itu adalah Sintong Panjaitan dan Faizal Tanjung (yang kemudian menjadi orang penting di AD pada akhir kejayaan orde baru).

Unit ini sukses menggulung beberapa pemberontakan pasca 30 September 1965. kondisi pasukan RPKAD yang tidak masuk RPKAD tentu mudah menggerakannya. Meski jumlah pasukan RPKAD di Jawa hanya tinggal separuh karena sebagaian dikirim ke perbatasan Malaysia dalam rangka konfrontasi Dwikora. Bukan hal sulit menggulung kelompok gerakan 30 September yang dipimpin oleh Untung. Pasukan yang terlibat sendiri, setelah penculikan selesai sebenarnya tidak ingin bertempur dengan siapapun. Mereka bahkan memilih kembali ke kesatuanya.

Isu sakitnya Sukarno, yang begitu parah tentu membuat banyak pihak khawatir. Banyak yang sepakat, jika dimasa itu hanya ada dua pilihan mendahului atau didahului. Beberapa orang bahkan mengatakan jika banyak pihak bersiap untuk menjaga kemungkinan jika sewaktu-waktu Sukarno meninggal karena sakitnya.

AD selaku musuh besar PKI tentu bersiap. Begitu juga PKI juga menjaga kemungkinan agar tidak didahului AD. Hanya orang atau pihak bodoh yang tidak bersiap dalam kondisi “Ibu Pertiwi Hamil Tua” itu. RPKAD jelas menjadi andalan jajaran petinggi AD jika pecah perang saudara.

Tidak ada RPKAD dalam Cakrabirawa? Hanya ada Banteng Raiders dari batalyon 454/Diponegoro saja pimpinan Letkol Untung. Ketiadaan RPKAD dalam Cakrabirawa bisa mengesankan bahwa AD tidak loyal pada Sukarno. Jenderal SUAD, dalam hal ini Yani, kerap berhubungan dengan Amerika. Setidaknya Yani pernah belajar di Fort Benning, AS. Dimana dia berkawan dengan Kolonel George Benson.

Mengapa RPKAD tdak masuk Cakrabirawa adalah agar petinggi AD punya pasukan andalan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.. Entah untuk kudeta maupun mengcounter kudeta sewaktu-waktu.

Ketika Konfrontasi Dwikora pun prajurit RPKAD hanya sebagian saja yang dikirim ke Kaliantan. KKO lah penyumbang terbanyak Sukarelawan Dwikora dalam konfrontasi dengan Malaysia.



4. Soal Ada Tidaknya Dewan Jenderal?

Pertentangan petinggi AD dengan Sukarno begitu kentara. Nasution, selaku perwira senior AD, yang sudah menjabat Menteri Pertahanan. Sebuah jabatan tak bergigi bagi seorang perwira tinggi militer sepertinya. Artinya Nasution tidak punya pasukan, meski tingkat jabatannya diatas Panglima yang memegang puluhan ribu pasukan yang diantaranya mahir bertempur.

Jenderal pemegang pasukan di AD adalah Suharto, Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jakarta), Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi di Jawa Barat). Di KKO ada Mayor Jenderal Hartono. Di AD, lebih kebawah lagi ada Kolonel Sarwo Edhi Wibowo komandan RPKAD, kawan lama Yani dan sama-sama berasal dari Purworejo.[6]

Petinggi AD di SUAD umumnya adalah orang-orang anti-komunis. Banyak dari para perwira ini merasa bahwa Konfrontasi melawan Malaysia di perbatasan adalah sesuatu yang tidak perlu didukung. AD tampak setengah hati saja dalam menghadapi Dwikora. Padahal Sukarno jelas begitu antusias.

Tidak heran jika Konfrontasi Dwikora juga dianggap sepi oleh sebagaian pucuk perwira Angkatan darat. Hanya ada sedikit pasukan komando Angkatan darat yang diterjunkan semasa Dwikora. Sementara, KKO yang terkenal loyal terhadap Presiden Sukarno, beserta sukarelawan lainnya sajalah yang berada di sekitar perbatasan Malaysia berperang. Sementara kebanyakan pasukan AD hanya sibuk dengan perang saudara di Jawa. Dan KKO adalah prajurit yang tidak melibatkan diri dari perang saudara—yang dibanggakan orde baru sebagai penumpasan kaum komunis.



Jenderal Abdul Haris Nasution, Wakil Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan yang gagal diculik pasukan Untung. (http://mahasurya-46.blogspot.com/p/sekilas-mahasurya.html)


Nasution tidak loyal pada Sukarno. Nasution sudah berbeda pendapat dengan Sukarno sejak Peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution terkenal sebagai Jenderal yang cerdas dan kuat ketika menjadi KSAD. Dalam sejarah, Nasution adalah KSAD terlama. Dia sempat diskor dari posisinya sebagai KSAD selama tiga tahun. Meski banyak musuh, terutama dalam kasus PRRI/Permesta, posisi Nasution tetap kuat. Karena kuatnya posisi Nasution di AD, maka posisi Nasution kemudian dilemahkan. Tahun 1962, Nasution tidak lagi menjadi KSAD. Hingga Nasution menjadi Jenderal tanpa pasukan.

Meski tanpa pasukan, Nasution tidak sendiri dalam berbeda pendapat dengan Sukarno. Yani, pengganti Nasution, yang semula dianggap loyal kepada Sukarno juga kemudian bersebrangan dengan Sukarno. Jumlah musuh Sukarno pun bertambah dan Sukarno tidak bisa merangkul AD. Padahal AD adalah kekuatan militer terbesar di Indonesia.

Isu Dewan Jenderal semakin sensitive di zaman orde baru. Kontraversi keberadaan Dewan Jenderal tentu menjadi masalah. Seorang perwira tinggi pernah terkena masalah karena menyatakan Dewan Jenderal itu ada. Ahmad Sukandro, nama Jenderal itu, kemudian dijauhkan dari pusat kekuasaan. Mayjen Achmad Sukendro - Ditahan selama 9 bulan di RTM Nirbaya karena pernah mengakui keberadaan Dewan Jenderal dalam sebuah seminar Angkatan Darat.[7]

Ditakutkan pengakuan Sukendro itu dipercaya banyak pihak. Apalagi Sukendro juga menjadi sasaran penculikan pasukan Letkol Untung pada malam 30 September 1965. Selain itu Sukendro adalah orang kepercayaan Nasution. Nasution sendiri tidak banyak bicara soal Dewan Jenderal. Pemerintah Orde Baru adalah yang paling berkeras bahwa-sanya Dewan Jenderal itu tidak pernah ada. Hal ini dimaksudkan untuk menyudutkan kaum komunis sebagai pelaku utama kudeta 30 September agar aksi pembunuhan besar-besar yang dijalankan RPKAD dan sekutu anti komunisnya tidak tercium.

Istilah Dewan Jenderal konon diciptakan oleh petinggi partai komunis untuk menjatuhkan Jenderal Angkatan Darat. Dimana Dewan Jenderal ini berniat untuk melakukan kudeta terhadap Sukarno. Tentu saja hal ini diangap fitnah oleh kelompok perwira itu.

Ada yang menyebut bahwa kudeta akan dilakukan pada tanggal 5 Oktober 1965. Hal ini nampaknya sulit dipercaya. Tidak pernah ada terlihat bahwa para petinggi AD di SUAD melakukan persiapan kudeta terhadap Sukarno. Petinggi AD tidak melakukan manauver apapun menjelang akhir September. Artinya tidak ada bukt kuat jika AD akan melakukan kudeta pada tangga 5 Oktober 1965. Hanya ada persiapan pasukan RPKAD dalam jumlah kecil di Jakarta untuk diberangkatkan ke Kalimantan dalam rangka memperkuat pasukan dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Soal Dewan Jenderal sediri, tidak ada sebuah komunitas pun yang menyatakan diri sebagai Dewan Jenderal menjelang Peristiwa 30 September. Hanya ada sekelompok Jenderal AD saja yang bersebrangan dengan Sukarno. Mereka juga tidak menyatakan diri sebagai Dewan Jenderal. Jika pun ada yang dsebut Dewan Jenderal, tentunya bukan sebagai institusi resmi. Tidak lebih hanya sekelompok kecil Jenderal SUAD, yang tidak sadar bahwa mereka adalah sebuah komunitas. Mereka adalah orang-orang anti Sukarno.

Mereka punya potensi menjadi junta militer. Seperti yang terjadi di Negara-negara berkembang yang baru merdeka. Hal lumrah di negara seperti itu bagi AD untuk mendirikan junta militer. Jumlah AD berlebih tentu sebuah potensi demi terbentuknya junta militer. Hanya tinggal melakukan kudeta saja.




Letnan Jenderal Ahmad Yani. Orang yang dianggap Dewan Jenderal dan harus bernasib naas di Lubang Buaya karena penculikan bekas pasukan Banteng Raider yang pernah didirikannya.

(http://pahlawannasional-indonesia.blogspot.com/2008/11/jenderal-anumerta-achmad-yani.html)


Apalagi Yani adalah seorang yang ambisius dan kehilangan atas respeknya terhadap Sukarno. Dengan sakitnya Sukarno tentu pertanda akan adanya keekosongan kekuasaan di Indonesia. Jika ada pemilu, maka PKI sangat berpotensi menjadi pemenang. Sebuah hal yang sangat tidak disukai dan tidak boleh terjadi bagi petinggi AD yang anti komunis karena dekat dengan Sukarno.

Nasution, Yani dan kawan-kawan Jenderalnya adalah harimau bertaring menjelang Oktober 1965. Jika mau, mereka bisa melakukan kudeta menjelang Oktober 1965. Dukungan luar tidak perlu diragukan. AS yang anti komunis tentu akan mendukung Jenderal-jenderal AD tersebut untuk merebut kekuasaan dan menggulingkan Sukarno. Dukungan umum dari AD yang terpecah tentu masih mejadi masalah.

Harapan AS adalah menghancurkan kaum komunis Indonesia, yang bisa jadi akan bersekutu dengan Komunis Vietnam atau Republik Rakyat China. Teori Domino AS untuk menghambat komunis juga harus dilakukan di Indonesia. Duta Besar AS, Marshal Green konon tidak bisa berbuat banyak dalam mengontrol kegiatan intelejen AS di Indonesia untuk menghancurkan Sukarno.

Petinggi AD, para jenderal pembangkang itu tentu tidak akan sulit melakukan kudeta jika waktunya tepat. Cukup menggerakan RPKAD dan pasukan lain yang masih pro SUAD saja sebenarnya. Komandan RPKAD adalah Kolonel Sarwo Edhi Wibowo—ayah mertua dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—yang kawan lama Yani. Mereka sama-sama berasal dari Purworejo.

RPKAD bisa dijadikan pasukan utama kudeta. Namun memenuhi pasukan pendukung adalah hal mustahil. AD sendiri memang terpecah. Tidak semua perwira, terutama di daerah, mau dan bisa sepaham dengan perwira tinggi SUAD di Jakarta. Artinya kudeta bisa dilakukan namun dengan mudah bisa dicounter pasukan lain.

Seumpama, Sukarno meninggal tentu jenderal SUAD akan bergerak dengan kekuatan yang ada. Hal ini tentu untuk menghindari berkuasanya kaum komunis. Kekosongan kekuasaan ditengah kekacauan jika Sukarno meninggal tentunya membuat jenderal tertinggi AD, entah Nasution maupun Yani, akan naik sebagai penguasa. Kondisi keamanan sendiri bisa menjadi alasan bagi petinggi AD tadi untuk menjalankan status Negara dalam bahaya. Yang tentunya akan mempermudah tindakan refresif mereka pada kelompok yang akan menentang mereka atas nama menegakan ketertiban dan keamanan.


5. Para Jenderal AD Dimata Kelompok Untung

Bagi kelompok Untung, para Jenderal SUAD itu ditambah Menteri Pertahanan, adalah orang-orang yang tidak loyal pada presiden dan kontrarevolusioner. Anggota kelompok Untung yang membangun komplotan anti Jenderal AD di SUAD, jelas beranggapan bahwa akan ada usaha dari kelompok Jenderal yang mereka cap sebagai Dewan Jenderal itu.

Kelompok Untung tentu begitu yakin jika apa yang mereka lakukan adalah menyelamatkan Presiden dan juga menyelamatkan Revolusi Indonesia yang berusaha dihalangi Dewan Jenderal itu. Dewan Jenderal, dalam hal ini adalah Jenderal-Jenderal AD, yang diantaranya adalah atasan Untung juga, adalah musuh berbahaya dan layak untuk disingkirkan.

Tidak ada alasan lagi bagi Untung sebagai prajurit revolusioner untuk taat pada Jenderal macam Yani dan kawan-kawan SUAD-nya. Sebagai prajurit revolusioner, Untung tentunya hanya tunduk pada Pemimpin Besar Revolusi yang jelas konsisten pada Revolusi Indonesia. Sementara itu, Yani selaku Pemimpin AD dan juga atasan Untung karena Untung sejatinya adalah prajurit AD juga, tidak perlu lagi dianggap pemimpin AD dari sebuah Negara yang menjalankan revolusi. Yani dan kawan-kawannya jelas dianggap sebagai duri dalam daging bagi Presiden dan revolusi.





[1] Angkasa Edisi Koleksi, no 65, Kisah hebat AK-47 & Lima Senapan Legendaris, Jakarta, Gramedia, tanpa-tahun, hlm. 107.



[2] Harold Crouch, Army and Politics In Indonesia, ab. T.H. Sumarthana, Militer & Politik Di Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan, 1999. hlm. 107.



[3] Commando, edisi No 1 th IV, 2010. hlm. 72-73.



[4] Angkasa Edisi Koleksi, no 65, Kisah hebat AK-47 & Lima Senapan Legendaris, Jakarta, Gramedia, tanpa-tahun, hlm. 107.



[5] Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Komando, Jakarta Kompas, 2009. hlm. 141-143.



[6] Amelia Yani, Ahmad Yani Profil Sang Prajurit, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990, hlm. 240.


[7] Teguh Budi Santoso, Pembersihan Jenderal, Dalam http://anusapati.com/?p=45 (Diakses November 2009, pukul 22.00)



Tidak ada komentar: